• Friday, 28 August 2020
  • Metto Sarono
  • 0

Tepat setahun yang lalu saya mendapat tugas negara untuk mengabdikan diri di Kota Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Akhir Agustus 2109 saya mendarat di Sukadana, sebuah kota kecil di Selat Karimata yang eksotis, dikelilingi bukit, hutan tropis khas Pulau Borneo dan pantai yang membentang sepanjang wilayahnya yang sebagian besar masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Palung. Kayong Utara merupakan kabupaten termuda di Kalimantan Barat dan merupakan wilayah yang sedang berkembang.

Menurut catatan sejarah, Sukadana adalah ibukota Kerajaan Tanjungpura, sebuah kerajaan tertua di Kalimantan Barat dan leluhurnya berkerabat dekat dengan Kesultanan Brunei. Kerajaan yang terletak di Kabupaten Kayong Utara ini pada abad ke-14 menjadi bukti bahwa peradaban negeri “Tanah Kayong” sudah cukup maju pada masa lampau.

Tanjungpura pernah menjadi provinsi dari Kerajaan Singhasari sebagai Bakulapura. Nama Bakula berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tumbuhan tanjung, sehingga setelah dimelayukan menjadi Tanjungpura.

Pada masa kekuasaan Raja Hayam Wuruk dengan Gajah Mada sebagai mahapatihnya, seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama, negeri Tanjungpura menjadi ibu kota bagi daerah-daerah yang diklaim sebagai taklukan Majapahit di Nusa Tanjungnagara (Kalimantan).

Majapahit mengklaim bekas daerah-daerah taklukan Sriwijaya di pulau Kalimantan dan sekitarnya. Nama Tanjungpura sering kali dipakai untuk sebutan pulau Kalimantan pada masa itu. Pendapat lain beranggapan Tanjungpura berada di Kalimantan Selatan sebagai pangkalan yang lebih strategis untuk menguasai wilayah yang lebih luas lagi.

Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura adalah anak Bhre Tumapel II (abangnya Suhita). Bhre Tanjungpura bernama Manggalawardhani Dyah Suragharini yang berkuasa 1429-1464, dia menantu Bhre Tumapel III Kertawijaya.

Kemudian dalam Prasasti Trailokyapuri disebutkan Manggalawardhani Dyah Suragharini menjabat Bhre Daha VI (1464-1474). Dalam mandala (lingkaran) Majapahit, Ratu Majapahit merupakan prasada, sedangkan Mahapatih Gajahmada sebagai pranala, sedangkan Madura dan Tanjungpura sebagai ansa (pegangan atau naungan)-nya.

Menurut catatan Gusti Iswadi dalam buku Pesona Tanah Kayong, disebutkan bahwa, dari negeri baru kerajaan Tanjungpura terjadi perpindahan wilayah ke Sukadana sehingga penyebutannya pun berubah menjadi Kerajaan Sukadana. Beberapa tahun kemudian berpindah lagi ke Sungai Matan (sekarang Kec. Simpang Hilir) yang masuk wilayah Kabupaten Kayong Utara.

Fakta historis adanya pengaruh kekuasaan Majapahit dan bukti sisa kerajaan tersebut dapat dilihat dari adanya temuan makam-makam tua di kota-kota tersebut, yang merupakan saksi bisu sisa Kerajaan Tanjungpura dahulu. Dari berbagai temuan, peninggalan dan catatan sejarah tersebut tidak mengherankan apabila Bumi Tanjungpura memiliki koneksi yang kuat dengan ajaran Siwa-Buddha di masa lalu.

Menjadi Dhammaduta

Tugas pokok pertama sebagai seorang Dhammaduta (penyuluh agama Buddha) adalah melakukan identifikasi potesi wilayah binaan. Langkah tersebut sebagai upaya mengetahui kondisi wilayah binaan, menemukan masalah yang ada, menganalisa faktor-faktor penyebabnya, membuat alternatif solusi dan menentukan langkah penyelesaian yang harus dilakukan. Prosedur demikian sangat sejalan dengan prinsip Empat Kebenaran Para Arya (cattari ariya saccani) yang diajarkan Buddha.

Melalui identifikasi potensi wilayah, ditemukan ada beberapa masalah yang ada di wilayah binaan. Berdasarkan masalah yang sudah di klasifikasikan kemudian dibuat skala prioritas agar lebih jelas masalah mana yang perlu segera dicarikan solusi dan diselesaikan.

Sesuai dengan skala prioritas tersebut, masalah pendidikan menjadi prioritas utama untuk segera mendapat solusi dan menentukan langkah-langkah penyelesaian. Faktor penyebab utama di bidang pendidikan agama Buddha di Kayong Utara adalah tidak adanya guru agama Buddha, sehingga siswa yang beragama Buddha tidak mendapat haknya untuk belajar agama Buddha di sekolah.

Solusi terhadap masalah pendidikan agama Buddha di Kayong Utara yang dilakukan adalah melalui dua cara. Pertama membentuk Sekolah Minggu Buddha (SMB) sebagai jalur pendidikan non formal dan kedua mengupayakan untuk mendatangkan guru agama Buddha untuk mengisi jalur pendidikan formal.

Tepat sebulan saya bertugas, yaitu pada tanggal 29 September 2020 terbentuklah dua SMB di dua kecamatan yaitu Kecamatan Simpang Hilir dan Teluk Batang. Kegiatan SMB menumpang di aula terbuka milik Kelenteng dengan fasilitas serba darurat, namun tetap dapat berjalan dengan baik.

Saya seorang diri membentuk, mengajar dan mengelola dua SMB di dua lokasi berbeda dengan jarak tempuh sekitar 60 km dari tempat tinggal. Setiap hari minggu mengajar dua SMB dengan jadwal bergantian. Semakin lama semakin banyak siswa yang bergabung ke SMB.

Kegiatan tersebut berjalan lancar selama tujuh bulan sampai Maret 2020, hingga kemudian negara api meyerang dengan pasukan Corona (pandemi Covid-19). Segera seluruh kegiatan SMB pun harus terhenti selama tiga bulan. Namun mulai awal Juni 2020, SMB di Kecamatan Simpang Hilir kembali aktif sedangkan SMB di Teluk Batang masih belum aktif kembali.

Solusi kedua terkait masalah pendidikan adalah upaya mendatangkan guru agama Buddha untuk mengajar di sekolah-sekolah negeri yang ada di Kabupaten Kayong Utara. Langkah pertama yang dilakukan adalah pendataan siswa Buddhis di sekolah-sekolah negeri di Kabupaten Kayong Utara.

Langkah kedua, melakukan komunikasi dengan tokoh-tokoh dan umat Buddha selaku orang tua siswa untuk berdiskusi tentang problematika pendidikan agama Buddha yang mereka hadapi. Melalui dialog komunal tersebut, terungkap bahwa intinya semua umat berharap ada guru Agama Buddha agar dapat mengajar anak-anak mereka di sekolah.

Selama ini siswa beragama Buddha terpaksa ikut pelajaran agama lain karena tidak ada guru agama Buddha. Akan tetapi yang menjadi kendala untuk mendatangkan guru agama Buddha perlu penyediaan fasilitas, seperti gaji, tempat tinggal dan transportasi. Hal tersebut tidak mungkin dibebankan kepada umat. Sedangkan untuk berharap pada pemerintah, kami merasa pesimis, seolah sedang berhalusinasi tingkat tinggi.

Langkah ketiga adalah upaya solutif selanjutnya atas permasalahan fasilitas tenaga guru yaitu menjalin komunikasi dengan organisasi keagamaan Buddha yang ada. Karena di Kayong Utara belum ada organisasi Buddhis berupa majelis atau yang lain, kami pun berusaha menjalin komunikasi dengan majelis agama Buddha yang ada di Kabupaten Ketapang, di mana sudah ada Magabudhi Kabupaten Ketapang.

Melalui komunikasi dengan Magabudhi, mempertemukan kami dengan Yayasan Abhikanta, sebuah yayasan yang bergerak untuk mendatangkan dan memfasilitasi guru-guru Agama Buddha yang bersedia ditugaskan mengajar di berbagai wilayah di Kalimantan Barat. Melalui Yayasan Abhikanta mulai ada titik terang untuk mendatangkan Guru Agama Buddha ke Kayong Utara karena Yayasan Abhikanta bersedia memberi fasilitas untuk guru agama Buddha yang akan bertugas di Kayong Utara.

Jalinan komunikasi dengan Yayasan Abhikanta membuka jalur perkenalan kami dengan Yayasan Be Good, Lembaga sosial yang aktif untuk memberi fasilitas bagi guru-guru agama Buddha di berbagai daerah. Melalui Yayasan Be Good, harapan itu semakin terang karena Yayasan Be Good bersedia memfasilitasi guru agama Buddha di Kayong Utara.

Langkah pamungkasnya adalah memberi informasi kepada lulusan PTAB untuk dapat berjuang dan berkarya bagi Buddha Dhamma di Kayong Utara sebagai Guru Agama Buddha.

Pelita Dharma mulai menyala

Kini harapan besar secara perlahan mulai menemukan titik terang. Kedatangan guru agama Buddha menjadi secercah nyala pelita untuk pelestarian Buddha Dharma di Bumi Tanjungpura. Setahun perjuangan dan penantian untuk mendatangkan guru agama Buddha yang bersedia berjuang di Kayong Utara kini terwujud.

Mungkin masih banyak lulusan PTAB yang cukup alergi jika harus mengajar ke Kalimantan. Anggapan sebagai daerah terpecil, hidup susah dan tidak bergengsi bagi generasi kekinian menjadi tantangan untuk mendatangkan guru agama Buddha ke Kalimantan, khususnya Kayong Utara. Padahal kenyataannya tidak seperti yang mereka bayangkan. Tidak semua wilayah diluar Jawa itu tertinggal bahkan faktanya lebih maju dari beberapa wilayah yang ada di pulau Jawa.

Untuk mewujudkan harapan umat Buddha di Kayong Utara cara yang ditempuh adalah fokus melaui jalur swadaya bukan melalui jalur pemerintah karena akan berurusan dengan birokrasi yang biasanya lambat, rumit, berbelit-belit dan menghabiskan energi.

Bila berbicara terkait pendidikan sebagaimana perintah UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 12 ayat (1) huruf a, tentu sangat jelas perintahnya, “bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.

Ketentuan tersebut bukan hanya di sekolah negeri tapi juga di sekolah swasta, sebagai konsekuensinya pemerintah wajib menyediakan/mengangkat tenaga pengajar agama untuk semua siswa sesuai dengan agamanya. Namun pada tataran penerapan, pemerintah seolah tak mampu berbuat banyak, apalagi bila berurusan kepentingan agama minoritas.

Hak-hak siswa untuk mendapat pendidikan agama jelas terlantar dan terabaikan. Ketika pemerintah terlalu lemah untuk melaksanakan perintah undang-undang maka masyarakat yang harus turun tangan, berjuang sendiri semampunya.

Pendidikan adalah pintu gerbang menuju pengetahuan dan guru adalah kuncinya. Hadirnya guru agama Buddha diharapkan mampu membawa cahaya pengetahuan kepada generasi muda Buddhis yang ada di Kayong Utara.

Tahun ini empat orang guru akan berjuang dan berkarya di Kayong Utara, harapan besarnya mereka mampu menjadi pejuang Dharma yang tangguh di Bumi Tanjungpura. Empat guru agama Buddha akan ditugaskan untuk mengajar di sekolah-sekolah negeri yang ada di tiga kecamatan di Kabupaten Kayong Utara. Keseluruhan ada 22 sekolah negeri (SD, SMP dan SMA/SMK) di Kayong Utara yang memiliki siswa beragama Buddha.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *