Sore hari itu, di pelataran Vihara Dwipaloka, Parakan, Temanggung, sore hari, suasana begitu syahdu dan tenang. Puluhan orang berkumpul, di antaranya adalah umat vihara, sebagian lagi adalah umat dari vihara-vihara yang tersebar di sekitar Kota Parakan dan Temanggung.
Pujabhakti dimulai dengan membacakan paritta suci seperti biasa, kemudian dilanjutkan dengan meditasi dan berdana. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang berusia diatas 45 tahun hingga berusia lanjut, baik laki-laki maupun perempuan.
Sebagian kecil di antaranya adalah remaja putra dan putri, dan duduk di antara umat-umat yang lainnya membentuk formasi huruf U. Setelah meditasi dan berdana selesai, saya diminta masuk ke dalam Dhammasala untuk memulai ceramah Dhamma Class di sore hari itu.
Saya menyampaikan kepada audiens, bahwa setelah mempelajari agama Buddha, kehidupan saya terasa lebih berwarna. Saya sangat senang dengan ajaran Buddha karena logikanya masuk di akal saya, dan jujur saya sangat termotivasi untuk terus belajar dan berlatih menjalankan ajaran-ajaran Dhamma yang sudah diberikan. Hal-hal tersebut mendorong saya menjadi manusia yang lebih bersemangat menjalani hari-hari dan lebih menghargai kehidupan saya sebagai manusia di muka bumi ini.
Kemudian saya membuka ceramah saya sore itu dengan memberikan sedikit penjelasan mengenai apa itu generasi millenial? Meskipun sebagian besar audiens berusia 45 tahun ke atas, yang berarti mereka adalah generasi baby boomer (generasi yang lahir sekitar tahun 1946-1965), namun saya tetap berminat untuk menjelaskan apa itu generasi millenial yang belakangan sering digembar-gemborkan di layar televisi, radio maupun media cetak. Paling tidak, itu akan membantu mereka untuk berkomunikasi secara lebih efektif dengan anak-anak generasi millenial.
Generasi millenial adalah generasi yang lahir pada sekitar tahun 1980 hingga 2000. Generasi ini memiliki ciri-ciri menyukai segala sesuatu yang instan, tidak ‘ribet’, serba cepat, praktis, mampu multitasking (mengerjakan beberapa hal dalam waktu bersamaan), mudah bosan, namun merupakan generasi yang kreatif, inovatif, dan selalu muncul dengan ide-ide baru yang segar dan tidak monoton.
Ternyata sebagian besar audiens pun mengakui hal tersebut, bahwa generasi millenial, seperti usia rata-rata putra putri mereka saat ini, merupakan generasi yang cepat bosan akan segala sesuatu, cenderung mudah berganti pekerjaan, dan terkesan kurang tekun di mata mereka.
Berbeda halnya dengan generasi sebelumnya, yaitu generasi ‘baby boomer’ seperti generasi orangtua saya, cenderung lebih tekun dalam mengerjakan sesuatu, tidak mudah bosan, tidak bermasalah dengan suatu rutinitas selama bertahun-tahun, sehingga banyak generasi teman-teman orangtua kami yang bekerja pada suatu perusahaan dari usianya muda hingga pensiun.
Baca juga: Rumus Kesuksesan Generasi Milenial Buddhis
Lalu di zaman yang serba instan dan cepat ini, masih mampukah para generasi millenial meneruskan ajaran-ajaran tradisional dan filosofi Buddhis dalam kehidupan sehari-hari mereka? Bangun pagi, rasanya ada yang kurang jika belum memegang HP dan membuka social media. Ketika mau makan, makanannya harus difoto dan di-posting terlebih dahulu. Ketika kumpul sama teman, sibuk selfie kemudian pegang gadget masing-masing, dan bukannya mengobrol satu sama lain.
Nah inilah yang dinamakan tantangan zaman, zaman yang serba canggih ini kita harus tetap dapat mengamalkan ajaran-ajaran Buddhis secara kreatif, inovatif, dan jauh lebih menarik dari zaman-zaman sebelumnya. Mungkinkah hal tersebut terjadi? Mungkinkah kami generasi millenial ini tetap bertahan dan menjadi semakin eksis di jalan Dhamma?
Tantangan zaman
Generasi millenial ini sering hanya mementingkan ‘container’ (bungkus luar), dibandingkan ‘content’ (kualitas, atau isi) dari sebuah ajaran. Content yang dimaksud di sini adalah ajaran murni Buddhadharma itu sendiri. Jika ditanya tentang isi ajaran Buddha yang sesungguhnya, mungkin kami akan kalah pengetahuannya jika dibandingkan dengan generasi-generasi sebelum kami. Tapi untuk membuat sebuah ‘bungkus’ menarik mengenai ajaran Buddha, kami dapat melakukannya secara lebih unggul.
Memang selalu akan ada plus dan minus dari setiap generasi. Namun hal ini tidak perlu diperdebatkan. Ambil saya sisi positif dari setiap generasi, untuk menutupi kelemahan generasi-generasi lainnya. Saya juga mengajak audiens untuk tetap mengamalkan semangat Boddhisattwa dalam menebarkan ajaran Dhamma, yang tanpa lelah dan pantang menyerah untuk mengajak semua makhluk menuju ‘pembebasan’ sejati.
Para Boddhisattwa ini menunda merealisasi Nibbana untuk meneruskan perjuangan tersebut hingga semua makhluk dapat terlepas dari lingkaran samsara. ‘Boddisattwa’ sendiri juga dapt diartikan sebagai manusia yang sedang menyempurnakan parami, dengan melakukan segala perbuatan baik demi semua makluk hidup.
Maksudnya di sini adalah, kita sebagai generasi millenial dapat meniru semangat perjuangan tanpa lelah ini, melalui organisasi, karya dan pekerjaan kita semua untuk membantu menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi, melalui semangat, pengorbanan, pikiran, tenaga dan pelayanan yang dapat kita lakukan untuk sesama, demi tercapainya kehidupan yang lebih baik untuk semua makluk. Baik dalam kehidupan pribadi, organisasi, maupun masyarakat.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara