Dua puluhan tahun yang lampau, telepon genggam masih jadi barang mewah. Hanya mereka yang berada yang mampu memilikinya. Belum lagi biaya pulsa yang luar biasa mahal. Telepon 10 menit saja sudah menguras ratusan ribu rupiah.
Telepon genggam pertama
Sebagai mahasiswa miskin, saya harus mampu menahan frustrasi ketika kiriman uang dari orangtua terlambat beberapa hari. Mau bagaimana lagi, untuk bertanya via sambungan interlokal di wartel artinya harus rela kehilangan sisa uang saku yang tinggal 5 digit. Bisa lenyap harapan untuk bisa menikmati makanan selain mie instan dan saus botolan.
Sampai suatu ketika, orangtua saya (akhirnya) membelikan telepon genggam. Meskipun cuma bekas yang layarnya hanya punya satu warna mirip kalkulator warung padang, setidaknya saya sudah bisa kirim SMS kalau-kalau saldo bulanan sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Walaupun belum tentu masalahnya teratasi, minimal bisa menumpahkan kegalauan lewat pesan singkat yang harus disingkat-singkat sedemikian rupa supaya irit pulsa.
Teknologi dan Dhamma
Saya bayangkan anak-anak dan remaja zaman sekarang tak akan mampu memahami betapa luar biasanya ponsel pintar dan ragam aplikasi pesan instan mempermudah hidup kita. Saat butuh izin tak masuk kelas, tinggal kirim WhatsApp. Ingin tahu tugas dari guru, tinggal tanya di Facebook Messenger. Mau tahu peristiwa lucu di sekolah, tinggal buka Line. Sedangkan dulu, semua itu hanya bisa diperoleh melalui tatap muka secara langsung dengan teman-teman, yang bagi kaum introvert konon sangat melelahkan.
Kemudian saya membayangkan, bagaimana kehidupan orang-orang zaman dahulu yang tak pernah mengenal Dhamma? Ah, tak perlu jauh-jauh. Bagaimana rasanya jadi orang-orang di sekitar kita saat ini yang sepanjang usianya tak pernah sekalipun mendengarkan sebaris sutta? Bagaimana mereka mengatasi derita? Bagaimana cara mereka bertahan di tengah hari-hari yang dihujani duka nestapa?
Bahkan hingga saat ini – setelah sekian lama mengenal Dhamma – saya pun masih merasa tak mudah melepaskan belenggu nafsu, dengki, dan kekacauan pikiran. Tapi setidaknya, saya tahu bahwa semua itu ada sebab-sebabnya, ada cara-cara untuk mengatasinya, yang sekali lagi, tak sesederhana curhat lewat pesan instan.
Baca juga: 10 Pesan 10 Inspirasi dari Tribute to Buddha’s Legacy 2017
Tentu pertanyaan-pertanyaan tersebut lebih tepat ditujukan langsung pada mereka. Sedangkan pembaca situs ini, mestinya bukan bagian dari orang-orang yang kurang beruntung semacam itu. Semua pembaca situs ini pastinya sudah akrab dengan Dhamma. Sebagian bahkan sudah mendengarkan sutta sejak dalam kandungan. Betapa beruntungnya!
Bagaimana dengan Anda? Sudah berapa lama Anda mengenal Dhamma?
Pernahkah Anda melalui suatu masa tak kenal Dhamma? Jika pernah, apakah Anda merasakan keberuntungan luar biasa seperti saya?
Yang lebih ingin saya tanyakan lagi: adakah keinginan Anda untuk membagikan berlian pengetahuan ini – meskipun setitik saja – bagi orang-orang di sekitar Anda?
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara