• Sunday, 4 November 2018
  • Haryanto T
  • 0

Why me? Mengapa (harus) saya? Sebuah pertanyaan yang sering terlontar dari seseorang yang sedang menghadapi suatu masalah atau mengalami musibah. Ketika seseorang mengalami kejadian buruk seperti tiba-tiba terserang penyakit kronis, atau mengalami kecelakaan, kebangkrutan, ditipu orang, dan kejadian buruk lainnya, maka banyak orang yang mempertanyakan kejadian atau ‘kesialan’ yang menimpanya dengan pertanyaan: Mengapa saya yang mengalami musibah ini? Mengapa harus saya yang menderita penyakit ini?

Pertanyaan itu kadang berlanjut menjadi protes tentang ketidakadilan yang diterimanya. “Saya selalu berdana di setiap kegiatan vihara, tapi kenapa saya masih tidak punya apa-apa? Sementara dia yang pelit dan tidak pernah beribadah ke vihara, tapi hidupnya senang berlimpah harta”. Atau protes seperti ini “Dia sudah menipu uang saya ratusan juta, tapi sampai sekarang hidupnya tetap makmur bahkan sering ke luar negeri. Tapi saya yang sudah ditipu uangnya, malah hidup susah sampai sekarang”. Itulah fenomena yang banyak kita jumpai yang pada akhirnya meragukan ajaran yang selama ini telah dianutnya.

Keakuan

Pertanyaan “Why me?” menunjukkan betapa tingginya ego seseorang. Kita tidak ingin hal-hal buruk menimpa kita, tapi kita tidak peduli hal buruk tersebut menimpa orang lain. Sewaktu orang lain memperoleh kegembiraan, pertanyaan kita pun berubah menjadi “Why not me?”, kenapa bukan saya yang mendapatkannya. Tingginya ego merupakan salah satu kotoran batin (kilesa) yang sering menghinggapi seseorang sehingga sulit melepaskan atau mengurangi keakuan yang ada dalam dirinya.

Sewaktu mendapatkan keberuntungan, kita tidak pernah bertanya, “Why me?”, mengapa saya yang beruntung? Kita tidak bertanya, “Mengapa bukan dia yang beruntung?” Ketika kita bahagia, kita asyik menikmati dan tidak pernah mempermasalahkan.

Keakuan yang begitu tinggi menimbulkan kemelekatan dalam diri setiap orang yang pada akhirnya mendatangkan penderitaan (dukkha). Karena itu dukkha dapat datang baik dalam keadaan suka maupun tidak suka, senang maupun tidak senang.

Kita bisa belajar melepas kemelekatan ini dengan senantiasa mendoakan orang lain bahagia. Contoh sederhana penerapan dalam kehidupan ini adalah ketika penarikan doorprice pada suatu kegiatan. Coba renungkan, sudahkah kita mendoakan orang lain mendapat undian tersebut atau kita sibuk berdoa agar kita yang memenangkan undian tersebut. Belajarlah melepas kemelekatan dengan berdoa semoga hadiah undian tersebut bermanfaat dan membawa kebahagiaan bagi orang lain yang mendapatkannya.

Ketidakkekalan

Ketidakkekalan merupakan hal yang berlaku bagi setiap orang, bersifat universal dan tak terhindarkan. Segala sesuatunya mengalami perubahan yang konstan dari waktu ke waktu (Anicca). Hanya perubahan yang kekal di dunia ini. Perubahan yang terjadi di alam semesta ini terus berproses tak henti-hentinya dari timbul (Uppada), berlangsung (Thiti), dan kemudian berakhir atau lenyap (Bhanga). Demikian pula perubahan yang terjadi dalam semua aspek kehidupan manusia berawal dari timbul, berlangsung, dan pada akhirnya akan berakhir.

Menyadari akan ketidakkekalan yang terjadi dalam kehidupan ini, maka kita perlu belajar atau tepatnya berlatih untuk menerima segala sesuatu apa adanya agar kita tidak terlarut dalam kesedihan atau terbuai dalam kesenangan.

Ada sebuah kisah tentang sebuah keluarga yang hidup bahagia dengan seorang anak muda yang tampan. Pemuda ini rajin membantu orang tuanya menggembalakan kuda di padang rumput. Suatu hari kuda tersebut hilang karena melarikan diri ke dalam hutan. Seluruh penduduk desa mengatakan betapa sialnya keluarga tersebut. Namun beberapa hari kemudian kuda tersebut pulang kembali ke rumah bahkan membawa dua ekor kuda liar dari hutan.

Seluruh penduduk desa mengatakan betapa beruntungnya keluarga tersebut. Pemuda tampan tersebut lalu berusaha melatih dua ekor kuda liar itu agar dapat ditunggangi. Karena kurang hati-hati, pemuda tersebut jatuh sampai kakinya patah karena terinjak kaki kuda.

Penduduk desa mengatakan sungguh sial nasib keluarga tersebut karena hanya mempunyai anak laki-laki satu-satunya tapi cacat pula. Sebulan kemudian Raja menyatakan negara darurat perang sehingga semua pemuda yang sehat dan bugar harus mengikuti latihan militer dan dikirim ke medan perang. Pemuda tampan tersebut tidak terpilih karena kakinya yang catat. Tetangga mengatakan sungguh beruntung nasib keluarga tersebut karena tidak kehilangan anak laki-laki satu-satunya.

Lihatlah, betapa tipisnya perbedaan keberuntungan dan kesialan karena ketidakkekalan. Maka sebagai murid Buddha, sudah sepatutnya kita menyadari keadaan menyenangkan dan tidak menyenangkan datang silih berganti (tidak kekal) disebabkan Anicca. Kita perlu berlatih untuk membekali diri kita dengan pikiran baik (kusala citta) sehingga kita mampu menyadari Anicca yang menyebabkan ketidakkekalan dalam kehidupan kita saat ini sehingga kita mampu menerima segala sesuatu apa adanya.

Bersyukur

Kita dapat menerima segala sesuatu apa adanya dengan senantiasa bersyukur baik dalam keadaan berkelebihan maupun kekurangan. Buddha mengingatkan, hendaknya kita tidak terlalu larut dalam kegembiraan saat mengalami hal-hal yang menyenangkan, sebaliknya hendaknya kita tidak terlalu larut dalam kesedihan atau kekecewaan saat mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Terlalu larut dalam kegembiraan dapat membuat kita lupa diri dan memberi kesempatan berkembangnya keserakahan.

Demikian pula apabila kita terlalu larut dalam kesedihan dan kekecewaan dapat membangkitkan amarah dalam diri yang berujung pada berkembangnya kebencian dalam diri yang pada akhirnya sangat merugikan diri sendiri. Kita patut berlatih mengendalikan diri saat menghadapi berbagai hal yang muncul dalam kehidupan saat ini. Orang yang dapat mengendalikan diri ketika mengalami hal-hal baik maupun buruk adalah orang yang memiliki kesabaran.

Kita harus tetap tenang dengan dilandasi pengertian yang benar  dalam menghadapi berbagai situasi dan kondisi yang tidak menyenangkan. Dalam Dhammapada 222, Buddha mengatakan bahwa seseorang yang mampu menahan amarah yang sedang memuncak, bagaikan seseorang yang menahan laju kereta kuda yang sedang melaju kencang, orang yang demikian itu patut disebut sebagai pengendali sejati.

Bersyukurlah dari hal yang sederhana, misalnya bernapas dan tersenyum. Bersyukurlah kita masih diberi kesempatan bernafas, menghirup oksigen dengan gratis. Bersyukurlah kita masih bisa tersenyum untuk memberi keceriaan dan kebahagiaan kepada siapapun yang menerima senyuman kita.

Perbuatan kita sendiri

Kita hidup bukan untuk bertanding dengan orang lain karena itu tidak perlu membanding-bandingkan kehidupan kita dengan kehidupan orang lain. Bersyukurlah pada apa yang telah kita miliki dalam perjalan hidup kita saat ini. Orang yang paling bahagia adalah mereka yang mampu mensyukuri apapun yang telah dimilikinya saat ini, tidak menyesali segala yang terjadi di masa lalu, dan tidak merisaukan yang belum terjadi di masa depan. Namun dengan kesadaran diri penuh, kita bisa sepenuhnya berada di sini saat ini sehingga kita bisa merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Bila kita renungkan ke dalam diri kita sendiri, sesungguhnya semua peristiwa tidak menyenangkan yang kita alami adalah akibat hasil perbuatan kita sendiri. Kalau bukan akibat perbuatan kita, tidak mungkin peristiwa buruk menghinggapi kita.

Di dalam parita Brhamaviharaparanam sudah jelas dikatakan bahwa: aku adalah pemilik karmaku sendiri, pewaris karmaku sendiri, terlahir dari karmaku sendiri, behubungan dari karmaku sendiri, terlindungi oleh karmaku sendiri, apapun karma yang kuperbuat, baik atau buruk itulah yang akan kuwarisi. Jadi kita tidak perlu mengkambinghitamkan nasib atau karma masa lampau kita.

Semua peristiwa tidak menyenangkan yang menghinggapi kita bukan disebabkan nasib buruk kita. Kita tidak boleh pasrah hanya pada karma masa lampau kita. Justru kita harus memperbanyak kebajikan melalui pikiran, ucapan dan perbuatan sehingga berbuah karma baik yang dapat mengubah nasib atau jalan hidup kita.

Sebagai murid Buddha, kita telah dibekali empat keadaan batin luhur yang diajarkan Guru Agung kita dalam Pajjhatthana Sutta (AN 5.57) yaitu 1. Cinta kasih (metta), 2. Welas asih (karuna), 3. Turut berbahagia (mudita), dan 4. Keseimbangan batin (upekkha). Berbekal modal dalam batin ini disertai penghayatan nilai-nilai tersebut dan pebuatan kebajikan kita dalam kehidupan sehari-hari niscaya kita mampu tegar dalam menghadapi keadaan terburuk sekalipun.

So, sebagai murid Sang Buddha, kita tidak perlu bertanya “Why me?” lagi kan.

Sebagai murid yang baik, kita seharusnya mampu menghadapi berbagai kesulitan, peristiwa yang tidak menyenangkan maupun penderitaan yang muncul dengan lebih bijaksana. Ingat, penderitaan hanya datang kepada orang yang patut menerimanya sesuai dengan pikiran, ucapan dan perbuatan yang pernah dilakukannya.

Kita harus berusaha menerima bahwa semua kejadian buruk tersebut terjadi karena kita sedang memetik hasil dari perbuatan buruk kita di kehidupan masa lampau. Namun kita menyadari adanya ketidak-kekalan sehingga penderitaan tidaklah kekal. Untuk itu kita perlu memperbanyak kebajikan kita agar berbuah karma baik sehingga ketika waktunya tiba maka penderitaan kita pun akan berlalu. Isilah kehidupan kita yang singkat ini dengan memperbanyak perbuatan baik sebelum ajal kematian datang menjemput kita.

Dr. Haryanto Tanuwijaya, S.Kom., M.MT.

Wakil Ketua Majelis Buddhayana Indonesia Jawa Timur. Dewan Pembina situs berita BuddhaZine. Dosen S1 Manajemen Institut Bisnis dan Informatika Stikom Surabaya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *