• Wednesday, 25 September 2024
  • Surahman Ana
  • 0

Penulis : Andreian (An)

Aku segera menarik tanganku dari atas ponsel itu ketika sadar ayah menatapku tajam dari kejauhan. Meski ia hanya diam, aku tahu apa yang berusaha ia sampaikan melalui binar yang menyeramkan itu. “Jangan sembarangan memegang barang milik orang lain!”

Ayah memang orang yang tegas. Sejak masih kecil ia mengajarkan untuk senantiasa menaati tata susila sebagai landasan dalam menjalani hidup. Tidak jarang aku dimarahi karena perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan norma sekalipun hanya hal sederhana seperti tata cara makan atau perihal tertawa yang terlalu keras. Bahkan hanya memakai ponsel kakak yang biasa kupakai tanpa izin, bisa menjadi sumber perdebatan yang panjang.

“Jangan sembarangan memegang barang milik orang, tidak baik dan tidak sopan.”

“Aku cuma pinjam buat main game kok, Yah. Nanti segera kukembalikan.”

“Nanti kalo kakakmu marah bagaimana? Belum lagi jika rusak.” Ayah menjelaskan.

Aku menghela napas. “Aku berhati-hati dalam memakainya, Yah. Kakak juga tidak akan marah.”

“Kau harus tahu, memindahkan barang milik orang tanpa izin termasuk mencuri.” Ayah bersikeras.

“Iya deh.” Aku mengalah, segera mengembalikan gawai kakak di atas meja sembari terus menggerutu.

Tentu aku kesal jika hal itu terjadi, kadang aku merasa ayah terlalu menuntut kesempurnaan dan kolot, segala sesuatunya jadi tidak sederhana. Aku pun jadi sedikit membangkang dan berpikir yang ayah ajarkan hanya soal formalitas yang tidak terlalu penting. Namun, ketika hari ini Meta menatapku dengan wajah getir, aku seperti ditampar.

“Ada apa, Met?” Aku bertanya mendapati anak itu berlari meninggalkan kamar kosku dengan tergesa. Meta memang sering bermain ke kos untuk sekedar menghabiskan waktu bersamaku atau Mirna teman satu kamarku. Meski memiliki kamar sendiri, tetapi ia merasa lebih nyaman berada di kamar ini. Akhirnya hubungan kami sangat dekat, bukan hanya sebagai teman kuliah atau teman curhat. Bagi kami hubungan ini sudah seperti saudara.

“Lah tidak menjawab,” pikirku keheranan sembari memasuki kamar.

“Meta kenapa Mir?”

“Ndak tahu, tadi ngerjain tugas kok, pusing kali,” jawab Mirna tetap dengan posisi duduk di kursi belajar sembari membaca buku. Mirna memang suka membaca, terutama cerita fiksi tentang kisah cinta puteri cantik dan pangeran tampan.

“Begitu, ya?” Aku menjawab asal karena ingin segera berganti baju dan istirahat. Perkuliahan hari ini cukup melelahkan. Banyak hal yang harus kukuerjakan di pelajaran pertama, belum lagi presentasi di dua pelajaran berikutnya secara berturut-turut. Masih beruntung semua mampu kulewati tanpa hambatan.

“Eh langsung tidur?”

“Iya Mir, capek.”

“Tadi kamu dapat Whatsapp tu, buka dulu siapa tahu penting.”

Aku menggeliat malas. “Sini ambilin gawaiku.”

“Hah, menganggu saja.” Mirna mengambil gawaiku di atas meja belajar. Ia memang sering berkata seolah tidak perduli. “Ini!” Melempar gawai di dekat kepalaku.

“Makasih cantik.”

“His, modus!”

“Hahaha!” Aku tertawa melihat bibir manyun Mirna.

“Baiklah, pesan dari siapa ini?” Aku membuka gawai, terlihat di layar terdapat tiga pesan masuk. Satu dari operator yang mengingatkan untuk segera mengisi ulang paketan, kedua dari Darma. “Ah, lelaki yang gigih memperjuangkan perhatianku.”

“Selamat pagi, semangat buat kuliah hari ini, jangan lupa makan biar pedagang kantin memperoleh penghasilan hehehe,” pesan singkat yang manis.

“Siap bos, hari ini semua lancar. Kau jangan lupa ngerjain skripsi, udah ditunggu dosen tu.” tulisku menjawab pesan Darma.

Dan pesan ketiga dari Ananda, teman sekelasku. “Mudita, kamu tidak lupa mengerjakan tugas makalah dari pak Gun kan?”

“Tenang, aku sudah jadi kok tinggal print.” Aku membalas pesan itu.

“Bagus, kalo gitu ajari aku.”

“Cepet amat balesnya hahaha,” candaku.

“Please, Dit.”

“Iya deh, aku buka laptop dulu.”

“Makasihhh.”

“Mir lihat laptopku?” Aku segera mencari laptop.

Mirna berhenti membaca. “Loh kamu tidak membawanya kuliah?” Aku menggeleng.

“Dasar pemalas, coba di bawah tumpukan pakaian, kau kan sering menaruhnya di situ,’’ kata Mirna.

“Oh iya benar.” Aku tertawa kecil dan kembali ke ranjang. Laptop kunyalakan lalu sembari menunggu kubuka gawaiku lagi. Darma mengirim pesan balasan, tetapi kuabaikan. Aku memilih membuka facebook, membaca beberapa status, melihat foto-foto, dan mulai bosan. Giliran instagram yang kujelajahi, di sana lebih banyak foto-foto bertebaran. Aku sedikit tertarik dengan gambar seekor gajah dengan tulisan “victory” di bawahnya, keren.

“Loh kok file di laptop ngak ada ya, Mir?”

“Eh apa iya?” Mirna menghampiriku. “Kok bisa ngak ada gitu sih, hilang kemana coba?”

“Aku juga ngak tahu, gimana ini? Tugas-tugasku ngak ada semua termasuk tugas makalah Pak Gun. Data-data penting juga ngak ada.” Aku terus mencoba mengecek dan merefresh dengan harapan file itu kembali.

“Kena virus kali ya?”

“Halah jangan, Mir.” Aku panik mendengar prediksi Mirna. “Memang apa bisa begitu?”

“Bisa, salah satunya bila terkena FAT virus. File akan banyak yang hilang, masuknya pun bisa melalui flasdisk.”

“Terus bagaimana ini?” Aku mulai merintikkan air mata.

“Kita bawa ke tempat service untuk mengatasi virus sekaligus memback-up filenya. Mungkin sekitar 20% filemu bisa diselamatkan.”

“Cuma 20%?”

“Itu aja kalo masih bisa, tapi setidaknya kau bisa memakai laptopmu lagi.”

Aku semakin mengisak. “Tapi aku harus mengumpulkan tugas Pak Gun besok. Aku mengerjakan itu selama satu minggu lebih.”

“Mau bagaimana lagi… Eh ada telephon, Dit.”

Aku segera mengangkat panggilan itu. “Gimana Nda?”

“Eh kamu menangis, Dit? Kenapa? Kapan bisa ngajari aku?”

“Maaf Nda fileku bermasalah, kamu kerjakan dulu, nanti kukabari. Udah dulu ya.” Aku menutup telepon.

“Ayo Mir temani aku.”

“Ayo!”

Kami segera berkemas. Beberapa menit kemudian kami sudah berada di pinggir jalan untuk mencari kendaraan umum. Kepanikan membuat waktu menunggu angkutan menjadi momen yang menyesakkan. Membayangkan sulitnya mengerjakan tugas membuatku merasa begitu bersedih dan khawatir semua tugas baik yang sudah lama maupun yang belum dikumpulkan hilang.

“Dit angkot!” Mirna membuatku kaget sekaligus senang.

Kami segera naik, tujan utama adalah pusat elektronik tidak jauh dari kampus. Di sana terdapat beberapa tempat service laptop yang terkenal. Ah, rasanya ingin segera sampai untuk memastikan semuanya aman, jika bisa aku pasti menggantikan supir dan mengijak gas dengan keras. Namun itu tidak mungkin, selain aku tidak bisa menyetir keadaan jalan sedang padat. Mendung yang mulai merintik jadi hujan membuat keadaan semakin tidak menyenangkan. Belum lagi barisan sepeda motor yang bersuara keras dan melaju kencang berseliweran di depan.

“Pak, awas!” seorang ibu memekik, di depan sebuah motor tiba tiba keluar dari persimpangan. Detik itu juga, kelakson menjerit mengumandangkan bahaya. Semua penumpang menjerit histeris merasakan goncangan angkot yang hilang keseimbangan. Supir itu mengerem secara mendadak hingga membuat mobil terpelanting. Sementara itu pengendara motor menjadi semakin panik mendengar suara klakson. Ia menarik gasnya secara tidak sadar hingga memacu motor maticnya melesat ke depan. Sial! Ia menabrak pengendara motor lain dan terpelanting jatuh tepat di depan angkot.

“Ahh!” semua orang berteriak. Setiap tangan berpegangan kuat pada apa pun yang bisa dipegang. Aku sendiri mendekap laptop sembari berpegangan pada bangku depan dengan satu tangan. Mirna memegang kursi depan dengan dua tangan. Beberapa detik hening, setelah itu semua orang berhamburan keluara dari angkot demi keamanan dan untuk melihat situasi. Aku dan Mirna saling menatap, tanpa kata kami sepakat untuk ikut keluar.

“Bagaimana, Mir?” Aku bertanya sembari mencoba melihat kerumunan.

“Ibu itu terluka cukup parah. Eh laptopmu mana?”

“Tadi kuletakkan di angkot, susah keluar sambil bawa barang.”

“Nanti diambil orang, lho.”

“Tidak akan, Mir.”

“Udah kita ambil aja.” Mirna segera kembali ke dalam angkot. Aku sendiri mengikutinya dengan malas.

“Mana Dit? Gak ada!”

“Jangan bercanda, Mir.” Perasaanku kembali tersentak. Kali ini keringat dingin mengucur, jemariku juga ikut bergetar.

“Astaga Dit, kamu ceroboh sekali!”

Kami pulang, hari ini hari yang panjang. Semua berjalan buruk karena kami juga harus ke kantor polisi untuk melapor sekaligus sebagai saksi kecelakaan. Kecil harapan laptop dan segala hal di dalamnya bisa kembali, yang pasti aku ingin segera mandi dan tidur. Aku tidak perduli dengan apa yang akan terjadi besok termasuk perihal tugas pak Gun.

“Kalian dari mana?” Meta menyambut kami di depan pintu, sepertinya ia sudah menunggu di luar sejak tadi.

“Ada sedikit masalah, Met.” Mirna menjawab singkat. “Ayo masuk dulu nanti kuceritakan di dalam.”

“Tunggu!” Meta menahan kami dan berkata, “Dit, aku harus minta maaf, aku memakai laptopmu tanpa izin untuk mengerjakan tugas. Awalnya semua baik saja, tetapi ketika aku ingin memindah datanya ke flashdisk, sepertinya ada yang aneh.”

“Met?” Aku tercengang, ingin rasanya berteriak, tetapi perasaanku sudah terlanjur kacau. Aku tidak mengatakan lebih lanjut dan segera membuka pintu kamar, lalu berbaring di tempat tidur sambil berusaha menampung air mata dengan bantal. Aku tidak perduli ketika mendengar Mirna berbicara dengan Meta di luar, yang muncul dipikiranku saat ini justru nasihat ayah.

“Jangan sembarangan memegang barang milik orang, tidak baik dan tidak sopan.” “Bagaimana jika kau merusakkannya?”

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *