Tingginya barangkali dua meter, dan dengan berat 100 kg lebih dia terlihat amat raksasa untuk ukuran umum di masyarakat kita. Kepalanya ditutupi bandana yang mengesankan bahwa dia mungkin pernah menjadi anggota sebuah komunitas pengendara motor besar. Kulit wajahnya sudah berkeriput dan tangannya yang gemetar saat membayar barang-barang belanjaannya semakin menegaskan si bule besar sudah berusia lanjut dan sangat mungkin pernah menderita serangan stroke.
Saya membayangkan di masa mudanya dulu si bule besar pastinya sosok yang sangat gagah dan perkasa. Berkelana dengan motor besarnya, serasa dunia berada dalam genggaman. Semua kekuatan, kemudaan, kenikmatan dan kebebasan berada dalam jangkauannya.
Namun kini di usia tuanya, tangan yang terulur menyerahkan uang gemetar tanpa dapat ditahan, langkah kaki yang dulu mantap penuh kepastian kini menjadi lamban dan sulit bahkan untuk sekadar memindahkan satu telapak di depan telapak lainnya. Ke mana perginya semua kekuatan, kemudaan, kenikmatan dan kebebasan yang dulu berada dalam genggamannya?
Memandangnya, saya teringat pada kisah tentang Bhikkhu Ratthapala, salah satu siswa suciwan Buddha.
Ratthapala adalah anak dari keluarga kaya raya, dan ia menjadi bhikkhu pada usia muda, saat mana orang-orang berada di puncak kejayaan dari kekuatan, kemudaan, kenikmatan dan kebebasan. Setelah menjadi bhikkhu, pada suatu kejadian Ratthapala pergi ke taman kerajaan untuk duduk melewatkan waktu di sana. Raja kerajaan itu, yang mengetahui kedatangannya, memutuskan untuk menemui Bhikkhu Ratthapala untuk mengajukan pertanyaan mengapa orang dari keluarga kaya dan terpandang sepertinya rela melepaskan keduniawian untuk hidup amat bersahaja sebagai seorang petapa tanpa rumah? Karena bagi sang raja, orang-orang yang meninggalkan keduniawian biasanya disebabkan telah mengalami empat macam kehilangan: kehilangan karena penuaan, kehilangan karena sakit, kehilangan kekayaan, dan kehilangan sanak saudara. Menurut sang raja, adalah janggal bagi orang seperti Ratthapala yang masih muda dan kuat, keluarganya kaya raya, dicintai oleh keluarganya, yang pendek kata tak mengalami empat macam kehilangan itu tetapi justru meninggalkan keduniawian untuk menjadi seorang samana. Raja sangat ingin tahu apa yang begitu menariknya dari Dhamma sehingga seorang Ratthapala bersedia meninggalkan segala-gala miliknya?
Bhikkhu Ratthapala lalu menceritakan kepada raja tentang sebuah ceramah Dhamma dari Buddha yang sangat mengilhaminya sehingga membuatnya memutuskan untuk menjalani kehidupan suci sebagai seorang bhikkhu, meninggalkan keluarga, kekayaan, kecintaan yang mana bagi sebagian besar manusia adalah segala-galanya dalam hidup ini.
Ceramah tersebut adalah tentang empat ringkasan Dhamma: (1) Kehidupan di alam mana pun tidaklah mapan, kehidupan ini akan lenyap, (2) Kehidupan di alam mana pun tak memiliki pernaungan atau pelindung apa pun, (3) Kehidupan di alam mana pun tidak memiliki sesuatu pun sendiri, kita harus meninggalkan segalanya dan berlalu, dan (4) Kehidupan di alam mana pun tak sempurna, tak memuaskan, diperbudak oleh nafsu keinginan.
Teringat kisah Bhikkhu Ratthapala dan merenungkan pertemuan saya dengan si bule besar, getaran kesadaran akan hidup yang fana menyengat saya. Hidup di alam mana pun tak mapan, hidup ini akan lenyap. Siapa yang bisa membantah hal itu? Kefanaan, perubahan, kita adalah sasaran bagi kelapukan semenjak kelahiran kita. Tak ada yang mampu lari dari kejaran usia tua, tak ada yang mampu menjamin dirinya selalu sehat dan kuat. Si bule besar yang bagai raksasa pun tidak, yang ketika muda dulu pasti sangat kuat dan perkasa namun kini menjadi lemah dan sakit nyaris tak berdaya.
Dan selain fana, hidup ini pun getas, mudah sekali hancur karena tak ada pernaungan atau pelindung apa pun. Mungkin saja dalam kehidupan kita dikelilingi oleh sanak saudara dan kerabat yang amat mengasihi kita, yang dalam banyak hal sangat bisa kita andalkan bantuannya. Tetapi manakala kita sakit, kita harus menanggung rasa sakit itu sendirian karena kita tak bisa meminta pernaungan atau bantuan kepada sanak saudara kita untuk menanggungkan sakit itu demi kita. Kita harus menua dan merasakan sakit kita sendiri.
Fana, getas tanpa pernaungan, lalu kita pun tak mungkin memiliki apa pun dalam hidup ini karena semua yang kita anggap milik sesungguhnya hanyalah hak guna yang kelak —cepat atau lambat— akan mengalami masa kedaluwarsa. Segala kekayaan, segala pencapaian, semua yang kita cintai, saatnya hilang mereka akan hilang, tak ada yang dapat kita pertahankan sebagai “ini milikku dan pasti jadi milikku selamanya”.
Dan pernahkah dalam hidup ini ada kepuasan sempurna? Kita mungkin menggilai makanan enak, namun setiap kalinya mengapa kita selalu mencari lagi dan lagi makanan itu? Jika makanan itu sungguh memuaskan, seharusnya kita tak perlu lagi mencarinya lagi dan lagi, bukan? Atau pernahkah kita mengenal seseorang yang tampan atau cantik, yang bagi kita fisik mereka sungguh sempurna, namun tatkala kita tanyai mereka akan mengeluhkan bagian tubuhnya yang ini atau itu seharusnya begini atau begitu? Begitulah hidup, sesempurna apa pun yang kita kira, selalu ada yang terasa kurang, selalu ada TAPI.
Sebagai pemuda gagah kuat, dicintai dan dari keluarga kaya yang terpandang, Ratthapala mampu memahami empat ringkasan Dhamma yang dibabarkan Buddha dan menyadari betapa getasnya kehidupan, betapa tak ada yang layak dilekati dalam hidup ini, dan betapa mendesaknya untuk segera melarikan diri dari perangkap derita lahir-mati yang sinambung ini. Lalu bagaimana dengan kita? Setelah menyadari diri dan hidup ini adalah sasaran bagi kelapukan, rasa sakit, dan kematian, mengapa kita terus mencari hal-hal yang juga menjadi sasaran bagi kelapukan, rasa sakit dan kematian? Mengapa tidak mencari KEBEBASAN SEJATI, bahagia TANPA TAPI?
Chuang 160116
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara