• Sunday, 1 March 2020
  • Devi Muslianty
  • 0

Setelah berabad-abad lamanya Tibet mendapat ‘pengaruh’ dari Tiongkok, khususnya secara politik, sejarah mencatat bahwa sisa kekuasaan Tiongkok di Tibet bertahan hingga akhir abad Kesembilan Belas. Perwakilan negara Tiongkok di Tibet masih bisa ditemui (semacam diplomat) hingga akhir abad Kesembilan Belas. Pemimpin Tibet waktu itu, Dalai Lama Ketiga Belas, melakukan moderenisasi salah satunya dengan memperluas hubungan internasional dengan beberapa negara tetangga.

Dalam upaya ini kewenangan Dalai Lama masih melibatkan perwakilan Tiongkok yang tersisa di Tibet. Akan tetapi lambat laun sistem panjang birokrasi ini tidak lagi efektif, seiring dengan kemampuan diplomasi pemimpin Tibet yang terus berkembang. Beberapa komentar dari para cendikiawan dan Dalai Lama Keempat Belas perihal hal ini menyimpulkan bahwa selama ini setelah berakhirnya masa konflik kekuasaan masa kerajaan-kerajaan Tiongkok dan Tibet, perwakilan Tiongkok di Tibet dianggap sebagai suatu yang lumrah dan tidak berdampak apapun pada sistem pemerintahan di Tibet (dari beberapa sumber).

Peristiwa penting dalam perjalanan kedulatan negeri Tibet terjadi sekitar tahun 1912. Revolusi di Tiongkok pada masa ini mengakibatkan kekuasaan negara ini di Tibet lepas sama sekali. Sisa perwakilan Tiongkok di Tibet berhasil diusir kembali ke negeranya. Rakyat Tibet mencatat bahwa dari tahun 1912 hingga invasi Tiongkok di tahun 1950 merupakan masa kemerdekaan penuh Tibet tanpa intervensi kekuasaan negara manapun di luar Tibet.

Beberapa sistem negara kemudian dibenahi oleh Dalai Lama Ketiga Belas termasuk penggunaan segel yang menjadi simbol kekuasaan negeri Tibet dengan menghapus penyebutan kekuasaan Tiongkok pada simbol segel. Sehingga secara de facto rakyat Tibet merdeka dari kekuasaan di luar negara Tibet.

Sistem ideologi komunis yang kemudian dianut oleh negeri Tiongkok berusaha untuk diterapkan ke seluruh wilayah yang termasuk dalam kekuasan negara Tiongkok. Tibet sebagai sebuah negara kecil sekali lagi mendapatkan ancaman dari Tiongkok yang masih menganggap Tibet sebagai bagian dari kekuasaan negara Tiongkok. Invasi negara Tiongkok mulai terjadi sekitar tahun 1950an.

Bermula dari ancaman kecil dengan dalih ingin melindungi Tibet, hingga menjadi sebuah invasi besar-besaran yang mengakibatkan pemerintahan di Tibet harus mengambil sikap mempercepat penobatan Dalai Lama Keempat Belas yang waktu itu belum genap berusia tujuh belas tahun. Hal ini dilakukan mengingat Dalai Lama adalah pemimpin yang memiliki kekuasaan dan kharismatik yang akan dipatuhi oleh rakyat dan dipercaya sebagai simbol dari negeri Tibet itu sendiri. Dalai Lama Keempat Belas kemudian terpaksa diungsikan ke luar Tibet untuk menghindari keadaan yang ditakutkan yaitu penangkapan berujung dibunuhnya Dalai Lama Keempat Belas (dari berbagai sumber).

Tahun 1950 tentara Tiongkok, yaitu Tentara Pembebasan Rakyat (People’s Liberation Army) menyerbu dan menduduki Tibet. Situasi menjadi lebih buruk di beberapa dekade berikutnya. Tentara Tiongkok bermaksud untuk mengendalikan Tibet dalam rangka mengatur sistem pemerintahan mereka yang baru. Mereka menganggap bahwa Tibet adalah bagian dari negara Tiongkok dan untuk itu rakyat Tibet harus tunduk pada regulasi dan sistem yang berlaku di negara itu.

Pemberontak rakyat Tibet terhadap Tiongkok yang paling terkenal terjadi pada 17 Maret 1959. Ketika pemberontakan mereda tentara Tiongkok kembali untuk menangkap Dalai Lama Keempat Belas, yang kemudian melarikan diri ke India bersama dua ratus lima puluh ribu rakyatnya, dan hanya seperempatnya yang dapat tiba dengan selamat di India dan beberapa lainnya di Nepal. Sekarang ini lebih dari seratus ribu rakyat Tibet hidup di pengasingan, sedang di wilayah Tibet sendiri, mereka terbagi di beberapa provinsi Tiongkok (Lopez. Religions of Tibet in Practice. 1997: 32).

Dalai Lama Keempat belas berhasil tiba di India sebagai tujuan pengasingannya. Melalui diplomasi dengan pemimpin India waktu itu, yaitu Perdana Menteri Jawaharlal Nehru, Dalai Lama beserta rakyatnya diberikan suaka perlindungan untuk menetap di India. Status India sebagai salah satu negara dalam kelompok persemakmuran Inggris membuat Tiongkok tidak mengganggu Dalai Lama beserta rakyatnya. Perlindungan India menyatakan bersedia menerima Dalai Lama beserta rakyatnya dalam jangka waktu selama hidup Dalai Lama. Wilayah Utara India menjadi area pemukiman rakyat Tibet dan Dalai Lama hingga saat ini.

Selama beberapa dekade rakyat Tibet terus mengalami penderitaan akibat pendudukan tentara Tiongkok di Tibet. Rakyat dipaksa untuk menyerap sistem yang diterapkan oleh negara Tiongkok baik dalam hal ideologi, yaitu komunis maupun kebudayaan yang berarti secara tidak langsung hendak mengikis sistem keagamaan yang telah dianut oleh rakyat Tibet sejak berabad-abad lamanya.

Penghancuran biara, pembunuhan perempuan dan penculikan terhadap anak-anak adalah contoh tindakan yang bertujuan untuk menciptakan Tibet ala Tiongkok. Para lelaki yang tidak tunduk menjalankan ideologi komunis mengalami penyiksaan yang luar biasa kejam. Sepuluh persen rakyat Tibet yang merupakan kelompok biarawan banyak yang memilih melakukan protes dengan jalan membakar diri sendiri (Dalai Lama otobiografi. Negeriku dan Rakyatku. 2011).

Dalai Lama Keempat Belas (dalam otobiografi Negeriku dan Rakyatku) menyebutkan bahwa setidaknya ada tiga hal yang menjadi alasan yang mendasari penyerangan dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh negara Tiongkok. Pertama, wilayah Tibet yang luas dengan jumlah populasi yang sedikit melahirkan pemikiran merebut Tibet untuk menampung populasi rakyat Tiongkok yang terus meningkat.

Kedua, untuk menguasai kekayaan sumber daya mineral Tibet. Ketiga, penguasaan Tibet adalah sebagai upaya awal untuk menguasai Asia bahkan dunia. Hal ini karena Tibet merupakan wilayah yang paling strategis sebagai benteng yang kuat untuk melancarkan serangan dan menguasai India, Burma, Pakistan, dan beberapa negara Asia Tenggara, serta menghancurkan keyakinan negara-negara tersebut untuk selanjutnya menanamkan ideologi atheisme (Dalai Lama. Negeriku dan Rakyatku. 2011: 171).

Peristiwa ini menjadi topik pembicaraan dunia hingga diperbincangkan dalam rapat Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Akan tetapi respon yang dilakukan masih dinilai kurang efektif dan cenderung tidak signifikan untuk menyelamatkan dan mengintervensi tindakan yang dilakukan oleh negara Tiongkok kepada rakyat Tibet.

Goldstein menyebut keinginan rakyat Tibet untuk menentukan hidupnya sendiri (self-determination) harusnya merupakan tanggungjawab PBB sebagai sebuah organisasi antar bangsa yang memiliki komitmen untuk memastikan keamanan hubungan antar bangsa berdasarkan pada persamaan hak dan penentuan nasib sendiri (self-determination) (Goldstein. The Snow Lion and The Dragon. 1997).

Konvenan International tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ ICCPR) (sebagai sebuah perjanjian kesepakatan beberapa negara yang tergabung dalam PBB) berdasarkan resolusi 200A (XXI) pada tanggal 16 Desember 1966 dan mulai berlaku pada tanggal 23 Maret 1976, pasal 1 ayat 1 dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self-determination), dan berdasarkan hal itu, setiap orang berhak untuk menentukan sendiri status politiknya dan juga bebas untuk mengembangkan kemajuan ekonomi, sosial dan budayanya.

Selanjutnya di pasal 18 ayat 1 menambahkan bahwa setiap orang memiliki hak dalam kebebasan berpikir, berkesadaran, dan beragama. Hak ini terkait kebebasan untuk memeluk sebuah agama atau keyakinan yang secara sadar telah dipilih, dan kebebasan untuk menjalankan segala hal yang terkait dengan kewajiban dalam keyakinan yang dianut atau dipeluknya itu termasuk untuk beribadah, mempraktekkan dan mempelajari keyakinan atau agama tersebut.

Berdasarkan piagam hak asasi manusia ini, Tiongkok secara de facto telah melanggar hak-hak sipil rakyat Tibet untuk menentukan nasib hidupnya sendiri. Tiongkok telah pula melanggar hak rakyat Tibet untuk menjalankan keyakinan yang telah dianut selama berabad-abad dengan menghancurkan biara-biara dan melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap rakyat Tibet dalam pelaksanaan ibadah dan kebudayaannya (sebagaimana termaktub dalam International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights/ ICESR yang merupakan kesepakatan negara-negara PBB untuk menjamin hak setiap orang untuk menjalankan dan mengembangkan kebudayaan yang dimiliki).

Tidak hanya itu, perempuan dan anak-anak sebagai subjek yang rentan menjadi sasaran kekerasan disetiap situasi seperti yang terjadi pada rakyat Tibet harusnya mampu menggerakkan organisasi-organisasi di bawah naungan PBB untuk melakukan intervensi terhadap Tiongkok. Untuk perlu diingat bahwa Tiongkok adalah salah satu negara yang telah menandatangani perjanjian/kovenan ini (ICCPR dan ICESR) dan telah pula meratifikasi kovenan ini (ICCPR ditandatangani Tiongkok pada tahun 1998, sedangkan ICESR ditandatangani tahun1997. Walaupun ratifikasi untuk ICCPR belum dilaksanakan, tapi Tiongkok telah meratifikasi ICESR pada tahun 2001.

Sumber: https://indicators.ohchr.org.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *