Penulis : Andreian (An)
Malam ini aku merasa gelisah. Meski rembulan terang muncul bersama kepak sayap anai-anai yang rapuh, ketenangan tidak kunjung meretas hatiku yang sedari tadi mencoba menepis kelu. Barangkali karena gema suara burung kedasih terus memenuhi rongga langit seakan ingin menyampaikan kabar buruk, atau mungkin karena nurani ini tidak lagi dapat menipu kenyataan pada diri yang mulai terpuruk? Aku tidak tahu pasti, hanya saja kecantikan dan kepalsuan yang kutawarkan kini mulai menunjukan pertanda akan menjelma menjadi dosa dan penderitaaan.
“Tina, berhentilah memakai kosmetik itu!” Aku teringat percakapan dengan Aldi tadi sore.
“Mengapa?” kataku dengan nada tinggi. “Kau ingin bilang kosmetik membuatku terlihat tidak natural? Kau ingin bilang jika lebih suka aku tampil alami? Mengertilah! Kosmetik juga soal estetika dan seni.” Aku masih bicara, “Atau kau pikir aku memakai kosmetik untuk cari perhatian dengan lelaki? Kau salah, nyatanya kemampuan memakai kosmetik membuatku mendapat penghasilan. Ini keahlianku Al, dan aku merasa bangga, apalagi sejak bisa membiayai sekolah dan uang kos dari pendapatan sendiri.”
“Aku tahu, tapi apa kau tidak takut dengan resiko dari apa yang kau lakukan? Sungguh, aku tidak masalah soal memakai riasan. Aku juga paham wanita berhak tampil cantik dan kosmetik adalah salah satu solusi yang bisa dipilih. Namun jika demi ambisi kau melakukan ini semua, aku tidak suka Tin.”
Aldi pergi meninggalkanku setelah menyelesaikan kalimat kekesalannya itu. Sedangkan aku yang tidak menyangka lelaki itu akan berkata demikian pulang ke kos dengan pikiran yang tidak tenang. Bahkan ketika paket kosmetik yang kupesan beberapa hari lalu datang, hati ini justru merasa bimbang.
“Apakah yang selama ini kulakukan salah?” Aku bertanya sembari melihat wajah di cermin kamar. Saat itu burung kedasih masih berkicau meski malam sudah semakin larut. Orang dulu bilang burung kedasih yang berkicau di malam hari menandakan hal buruk.
“Tina, nanti kutunggu di tempat biasa. Ada yang harus kita bicarakan.” sebuah pesan dari patner kerjaku.
“Bukankah ini hari Kamis?” pikirku sembari melihat ponsel.
“Ini Kamis, Rudi. Aku ingin menikmati libur.”
“Ini penting Tin. Kau harus datang, aku tunggu sekarang juga!”
“Lelaki memang egois,” keluhku sembari memakai gincu dan bersiap untuk berangkat. Beruntung tempat pertemuan tidak jauh, aku hanya perlu naik angkutan ke arah alun-alun lalu berjalan kaki beberapa menit.
“Ada apa, Rud?” Aku duduk di kursi, di atas meja sudah tersedia dua cangkir kopi dan kentang goreng. “Awas jika kau hanya membicarakan hal tidak penting, apalagi jika ini modus kencanmu.”
Rudi tetap memasang wajah serius, “Kau memakai kosmetik yang kamu endorse atau tidak?”
Aku jadi terbawa suasana serius. “Tidak, memang kenapa?”
“Hari ini media sosial sedang ramai mengenai produk itu. Banyak yang mengaku wajahnya jadi rusak setelah memakainya. Beberapa ada yang sudah melapor pada polisi perihal penipuan.”
“Apa!” Aku terperanjat, segera kuminum kopi demi menenangkan diri. “Kau serius?”
“Serius!” Rudi juga meminum kopi, terlihat tangannya bergetar. “Kau tidak memakainya, kan?”
“Tidak Rud, sebenarnya aku juga ragu dengan produk itu. Karenanya aku membeli produk yang lain. Paling-paling aku memakainya saat membuat video tutorial.”
“Kalo begitu setidaknya kulitmu akan aman dari-”
“Dari apa, Rud?” Aku meyela.
“Breakout! Jerawat yang timbul di seluruh permukaaan kulit.”
Aku tercengang dengan kenyataan itu. “Kau yakin itu bukan purging?”
Rudi mengangguk mantap. “Yakin, dari foto wajah dan bukti pemeriksaan beberapa orang menunjukan gejala breakout. Mungkin komposisi paraben terlalu banyak dalam produk itu. Lagi pula purging muncul sebagai bentuk pembaharuan kulit, jadi jerawat yang muncul hanya akan memenuhi bagian kulit yang bermasalah.”
“Ah beruntung-”
“Kau tidak beruntung Tina!” Kali ini Rudi yang menyela. “Kita akan berurusan dengan polisi. Aku sebagai penjual dan kau sebagai bintang iklan.”
“Hari ini juga aku pulang ke kampung!” Aku berdiri mencoba meninggalkan tempat itu.
“Tunggu!” Rudi mencoba menahanku.
“Lepaskan!” Aku menarik tangan kuat-kuat, memukul lelaki itu dengan tas lalu berlari ke luar ruangan. Jalan raya segera menyambutku dengan keramaian. Kulihat Rudi berdiri pasrah ketika sebuah angkot membawa sosokku pergi. Aku pun segera berlari ketika turun dari angkutan itu. Masuk ke rumah dengan air mata menetes tanpa kata, mengambil beberapa barang, lalu mengemasnya dalam tas. Aku tidak sempat mengabari orang rumah ketika beberapa menit berikutnya aku sudah keluar lagi dari kamar kosku.
Tanganku bergetar, tubuhku menggigil. Bukan karena laju bus membuat angin menerpa tubuhku dengan kencang. Ketakutan nyatanya telah membekuk tubuhku bersama gelora rasa bersalah yang menghantui nalar. Burung kedasih memang pembawa kabar yang buruk, sebab perkataan Aldi yang sebelumnya menyebalkan kini menjadi sebuah kenyataan yang menyakitkan. Aku jadi ingat betapa besar ambisiku untuk membuktikan pada lelaki itu bahwa kemampuanku mempercantik diri dengan kosmetik akan berguna. Memang pada akhirnya berguna, tetapi ketika ambisi bertemu jalan yang salah aku tidak sempat berpikir jauh. Tawaran mengendorse sebuah produk kuambil tanpa perhitungan dan ketelitian. Aku menggunakan popularitasku di sosial media karena kemampuanku merias wajah dengan cara yang salah. Segala pujian dari pengikutku di instagram kini terasa menjadi sebuah luka dalam ingatanku.
“Kau cantik Kak.”
“Wih teknik make-up yang sempurna.”
“Ajari dong kak!”
“Pakai maskara merek apa?”
Ah, tidak berguna! Kini aku hanya bisa menyesal karena keserakahan membuatku enggan mengakui bahwa selama ini aku menipu. Ya, aku menipu banyak orang dengan mempromosikan sebuah produk, mengaku memakainya dan menjadi lebih cantik. Sementara aku sendiri membeli produk terbaik dengan uang yang kudapat dari pekerjaan itu.
“Seandainya aku bisa mengulang waktu!” pemikiran bodoh itu muncul. Aku tidak mungkin mengulang waktu, kini yang bisa kulakukan hanya menunggu. Beberapa jam ke depan aku bisa sampai ke rumah. Apapun yang terjadi biar kupikir lain kali. Aku ingin rebah di pangkuan ibu, aku sungguh rindu. Lagi pula aku merasa begitu lelah, jiwaku maupun ragaku ….
“Sudah sampai terminal Mbak!”
Aku terperanjat, kondektur itu membuatku terbangun dengan suaranya yang berat (seperti suara polisi). Kepanikan yang singgah dalam hatiku membuat jiwaku yang baru saja mengembara di ruang mimpi segera terkumpul. Aku bangun dan bergegas, memilih ojek untuk melanjutkan mungkin lebih bijak, setidaknya aku bisa sampai lebih cepat.
Motor butut yang akhirnya kupilih. Pengendara segera menyalakan motor dan berjalan menembus kerumunan kendaraan. Lima belas menit berlalu tanpa kata, pikiranku terlalu kacau untuk sekadar menanyakan lama waktu perjalanan yang tersisa. Aku juga tidak perduli ketika supir itu nyaris menabrak, bahkan aku tidak sadar ketika motor itu telah berhenti di depan rumah.
“Sudah sampai, Mbak!”
Lagi, aku terperanjat meski kali ini lebih cepat memenangkan diri. Aku turun dan membayar ongkos, dengan langkah panjang aku bergegas masuk.
“Ibu!” teriakku sembari mengetuk pintu.
“Tina!” Suara meneduhkan itu terdengar dari dalam.
Aku masih mengetuk pintu dengan gugup. Saat itu pagi sudah semakin menjadi, suara kutilang hanya sesekali terdengar di perkebunan pisang tidak jauh dari tempatku berdiri. Sebagaimana sebuah kampung, jalanan sudah sepi karena para pemilik rumah sudah berpeluh di sawah dan ladang. “Iya Bu!” Suaraku bergetar merasakan sepersekian detik menjadi berjam-jam.
Dan saat pintu itu terbuka, “Ibu! Wajahmu mengapa?”
“Purging Nak, seperti yang kau jelaskan di video. Tetangga kita juga banyak yang gini.”
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara