• Thursday, 17 November 2016
  • Franky Alexander
  • 0

Setiap orang di dunia memiliki kepercayaan atau agama yang dianut sebagai penunjuk jalan menuju kehidupan yang lebih baik, entah itu kehidupan duniawi ataupun surgawi. Di setiap agama ini tentunya diajarkan atau ditulis dalam kitabnya ada yang disebut dengan surga dan neraka. Keduanya merupakan hasil dan jerih payah manusia dalam kehidupan untuk kehidupan selanjutnya. Cukup jelas makna yang ada di dalam konsep surga dan neraka. Jika pikiran, ucapan dan perbuatan manusia dalam hidup sesuai dengan kebaikan yang diajarkan agamanya, maka orang tersebut akan masuk surga, dan begitu pun sebaliknya.

Dalam memaknai konsep tersebut pula, setiap orang mempunyai perspektif yang berbeda-beda. Ada orang yang memaknai mati-matian konsep tersebut hingga lahir perang. Ada pula orang yang memaknai konsep tersebut malah menimbulkan benih-benih kedamaian dan kebahagiaan antar manusia.

Dalam Buddhisme, terdapat pada salah satu bagian Abhidamma Pitaka, menjelaskan bahwa terdapat dua jenis realitas, yaitu realitas konvensional (sammuti sacca) dan hakiki (paramatha sacca). Realitas konvensional menunjuk pada pemikiran-pemikiran konseptual sehari-hari serta penyampaian yang konvensional, contoh: makhluk hidup, orang, pria, wanita, binatang, maupun objek-objek yang seolah stabil abadi. Sebaliknya realitas hakiki adalah fenomena-fenomena yang eksis oleh sifat instrinsik (sabhava) mereka sendiri. Inilah Dhamma (komponen-komponen eksistensi yang sudah final, tidak bisa disederhanakan lebih lanjut: entitas hakiki yang diperoleh melalui metode analitik yang didasarkan pengalaman) yang tidak bisa dibahasakan maupun dikonsepkan, hanya bisa dirasakan melalui pengalaman langsung.

Kembali kepada konsep surga dan neraka, konsep ini merupakan konsep yang sahih hampir semua agama memilikinya. Tetapi menurut saya, konsep ini adalah suatu pembahasaan yang dilakukan dalam tataran realitas konvensional untuk mengerti dan merasakan ke tataran realitas hakiki. Seperti contohnya yang dijelaskan Thich Nhat Hanh melalui bukunya Going Home, bahwa untuk menuju tataran realitas hakiki satu-satunya cara ialah melalui realitas konvensional. Dianalogikan dengan ombak dan air. Ombak adalah realitas konvensional, sedangkan air adalah realitas hakiki. Jika ombak mampu menyentuh dirinya sendiri dan ombak-ombak lainnya secara mendalam, dia akan menyadari bahwa dia terbuat dari air. Menjadi sadar bahwa dia adalah air, dia akan melampaui semua diskriminasi, kesedihan, dan ketakutan.

Hal ini juga yang saya temukan dalam konteks surga dan neraka. Surga dan neraka adalah realitas konvensional yang dibahasakan oleh kitab kita dan pandangan agama. Tetapi realitas hakikinya adalah kita ketahui manusia terlahir dari unsur-unsur yang bukan manusia. Seperti air, sekitar 80% tubuh kita berisi air, udara yang kita butuhkan untuk bernapas, tanah yang kita butuhkan untuk mendapatkan makanan. Manusia terlahir akibat dari berbagai unsur yang diberikan oleh dunia ini, oleh semua makhluk hidup, oleh materi-materi atau partikel kecil yang tidak terlihat. Kita tidak bisa hidup pada saat ini kalau semua itu tidak ada. Semuanya sudah cukup dan utuh membuat kita berada di dunia ini. Inilah realitasnya bahwa kita terlahir karena pemberian, karena cinta yang ada dalam keterkaitan semesta ini.

Begitupun halnya dengan surga dan neraka ini yang merupakan pembahasaan realitas konvensional untuk manusia melakukan kebaikan dengan rasa cinta, pemberian yang utuh, tidak memirkan diri, tanpa adanya aku (anatta) memberi untuk memberi, bukan memberi untuk mendapat. Konsep ini pulalah yang harus kita lampaui seperti apa yang telah alam lakukan terhadap kita. Mereka hanya memberi untuk memberi, untuk melahirkan kehidupan, untuk membagi cinta yang telah mereka ajarkan yang menjadi alasan kita terlahir.

Akhirnya untuk memberikan pemberian penuh dan utuh dalam berpikir, berucap, maupun bertindak. Sebuah kebaikan tertinggi adalah melepaskan konsep mendapat jika berbuat baik. Seperti melepas konsep surga dan neraka ini yang mengajarkan berbuat baik akan masuk surga, lalu berbuat jahat akan masuk neraka. Ataupun konsep hukum karma, berbuat baik untuk mendapat karma baik, atau berbuat buruk akan menghasilkan karma buruk.

Pada akhirnya, untuk menuju realitas hakiki yang sebenarnya, semua konsep mendapat itu harus dilepas. Melampaui dualitas baik dan buruk atau salah dan benar. Berbuat baik berlandaskan cinta kasih, welas asih, empati atau bisa disebut dalam istilah Buddhisme sebagai metta, karuna, mudita dan upekkha. Memberi untuk melepas keterikatan dan kemelekatan. Dhamma yang diibaratkan sebuah perahu untuk menuju pencerahan, ketika sudah sampai pada tujuan juga akhirnya akan dilepaskan.

 Pertanyaan dari saya adalah apakah jika surga dan neraka tidak ada, kita masih tetap berbuat baik? Atau apakah ketika hukum kamma itu tidak ada, kita masih berbuat baik?

*) penulis merupakan anggota KMB Dharmavamsa Universitas Diponegoro, Semarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *