Apakah Anda suka naik pesawat? Saya sangat suka. Saya sangat menikmati saat lepas landas, ketika perlahan bangunan dan jalan mengecil, kapal-kapal menjadi titik, dan pesawat terbang ke atas menembus awan. Kondisi awan pun sangat menarik. Saat cuaca cerah, bentuknya seperti gula kapas berwarna putih dan tersebar setumpuk di sini, setumpuk di sana, dengan latar langit biru muda yang ceria. Saat mendung, awan tebal berwarna abu-abu berjejer rapat hingga berkilo-kilo meter, bagaikan tak berujung. Ketika hujan, awan begitu hitam menggulung besar, bergumpal-gumpal, dan terlihat mengancam.
Pesawat saya seringkali lepas landas di hari yang cerah. Tapi pernah satu kali, cuaca hujan deras, langit gelap, dan landasan basah kuyup. Di kabin, tak ada yang bicara selain para pramugari yang memberi instruksi. Semua orang tegang, ada yang sambil berdoa. Saat pesawat akhirnya lepas landas, air hujan berdetak di jendela. Tiba-tiba pesawat bergoncang keras, bagaikan dipukul-pukul dari semua arah. Kami sedang menerobos gulungan awan hitam. Pesawat melaju sekencang-kencangnya, tapi seperti tak maju-maju juga. Lalu, tiba-tiba pesawat melayang dengan tenang. Tiada hujan. Tiada badai. Mentari bersinar cerah. Rupanya awan-awan hitam itu sekarang ada di bawah kami. Kami telah terbang melampauinya. Wajah-wajah sekitar mulai tersenyum. Lega.
Sisa perjalanan kami lalui dengan tenang, damai dan cerah dengan melayang tepat di atas awan-awan hitam yang bergulung-gulung. Pesawat kami bebas dari cuaca buruk itu. Kadang saya melihat petir-petir menyala di awan-awan itu, terlihat sangat indah (tapi saya sangat bersyukur kami tak di dalam sana).
Saat itu terpikir, “Apakah hidup pun seperti itu? Kita bisa tidak terpengaruh oleh cuaca apa pun asalkan kita terbang di atasnya, melampauinya?”
Semua orang mengalami hari-hari baik dan hari-hari buruk, bagaikan awan putih dan hitam. Kadang jarak mereka berjauhan, kadang mereka bertubi-tubi dan berlangsung seakan-akan tak berujung. Seperti kondisi awan yang berubah-ubah dan melalui siklus cerah dan badai, kondisi hari kita pun berubah-ubah. Hari baik tak bisa terus berlangsung, selalu saja ada sesuatu yang kurang menyenangkan terjadi. Meskipun kita sudah berniat dan berbuat baik, hidup kita masih penuh goncangan. Suasana hati berubah dari senang, ke sedih, lalu senang, lalu sedih. Seperti siklus. Rasanya seperti tantangan yang tiada akhir. Kapan bisa keluar dari itu semua? Kapan akhirnya bisa bahagia sepenuhnya?
Pernahkah terpikir: jangan-jangan itu karena kita terbang di dalam awan, bahkan di bawah awan! Pikiran kita belum berada di atasnya, sehingga perubahan ‘cuaca’ kehidupan kita mempengaruhi pikiran kita. Jika hari cerah (pengalaman menyenangkan) kita bersorak, jika mendung kita khawatir, dan hari badai membuat kita nestapa. Kita selalu terkena dampak perubahan ‘awan’ kehidupan kita. Kita sangka itu normal dan tak bisa dihindari.
Tapi lihat pesawat yang terbang melampaui awan. Di atas sana selalu cerah! Tak pernah hujan. Perubahan cuaca ternyata dapat dihindari! Apakah kita pun bisa menghindari cuaca kehidupan?
Jawabannya tentu saja: Bisa.
Inilah yang disebut melampaui perasaan menyenangkan, menyakitkan, dan bukan-menyenangkan-pun-bukan-menyakitkan. Melihat pengalaman kita sebagai pengamat eksternal, bagaikan penumpang pesawat yang memandang perubahan kondisi awan; dan saat itu kita sadari kita tak harus ada di dalam sana, awan bukanlah milik kita. Kita bisa selalu dalam kondisi cerah. Betapa melegakannya. Lepas dari penderitaan. Mungkin itulah yang kita, sebagai Buddhis, ingin capai.
Maka sampailah pada pertanyaan selanjutnya: bagaimana melakukannya?
Untuk terbang melampaui awan, pesawat harus punya mesin yang kuat, dan material yang tahan tekanan, juga tidak membeku di suhu dingin udara tipis, menyediakan oksigen bagi penumpangnya, dan masih banyak kualitas lain.
Bagi pikiran kita untuk melampaui ‘awan’ dari pengalaman keseharian kita, pikiran harus punya tujuh faktor pencerahan: sati (kewaspadaan), dhammavicaya (investigasi), viriya (semangat), piti (kebahagiaan), passaddhi (ketenangan), samadhi (penyatuan pikiran), and upekkha (ketenang-seimbangan). Dan satu-satunya cara untuk membangun tujuh kualitas ‘pesawat’ pikiran kita adalah melalui latihan meditasi bersama dana dan sila.
Lalu meditasi yang mana? Jawabannya tentunya adalah meditasi yang diajarkan Buddha. Apa pun obyek meditasinya, latihan meditasi ajaran Buddha yang sesungguhnya pasti membawa kita melampaui awan, membuat kita mengalami ketenangan, kedamaian, dan kelegaan terbebas dari penderitaan kita. Jika hasilnya tidak begitu, maka kita perlu menganalisa latihan kita. Mungkin kita tidak mengikuti instruksi dengan cermat, atau mungkin instruksinya masih kurang tepat dan kita perlu mencari guru yang bisa mengajarkan dengan lebih tepat.
Saat ini banyak guru yang mengajarkan meditasi. Kita harus teliti mengecek apakah yang mereka ajarkan sudah sesuai dengan sutta-sutta dari zaman Buddha, dan apakah kita sendiri mengalami perubahan kepribadian kita –lebih damai, lebih tenang, lebih cerah– dalam waktu yang cukup singkat karena Buddha mengatakan, “Dhamma itu langsung efektif (ada hasil).”
Mungkin awalnya pengalaman itu sangat singkat, namun pengalaman singkat ini sangat penting. Bagaikan penumpang pesawat yang lega saat keluar dari goncangan awan hitam, kita mengalami sendiri kelegaan saat terbebas dari penderitaan. Dengan begitu, bahkan jika kita tak hati-hati dan jatuh kembali ke ‘cuaca kehidupan’, hati kita sudah tahu ada bahwa memang ada kebahagiaan sejati yang melegakan. Tak mungkin lagi bagi kita untuk puas berada di bawah awan. Tak mungkin lagi bagi kita untuk tak membangun pesawat Dhamma kita. Satu-satunya jalan kita adalah ke atas. Selamat terbang.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara