Pada tanggal 28-30 Agustus 2015 lalu, Buddhist Fellowship Indonesia (BFI) Jakarta mengadakan “Family and Spiritual Camp” di Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat. Jumat, 28 Agustus, perjalanan ke Gunung Papandayan dimulai dengan perjalanan bus ke Garut yang memakan waktu 5-6 jam. Sesampainya di Garut pukul 11 malam, saya dan rombongan beristirahat sebelum berangkat menuju kaki Gunung Papandayan keesokan paginya. Kami berangkat pukul 8 pagi, tiba pukul 11, kemudian langsung makan siang.
Perjalanan sesungguhnya dimulai. Setelah makan, kami mendaki gunung dengan jalannya yang penuh rintangan. Kami melewati jalan berbatu, kawah belerang, juga pohon-pohon lebat yang menyerupai hutan. Yang menarik dari pendakian ini adalah banyak pengguna motor trail yang menjadi ojek untuk mengangkut barang-barang pendaki dari bawah hingga ke atas. Berjalan saja sudah sulit, apalagi naik motor di jalan yang sangat berisiko, dipenuhi pasir dan batu. Melihat fenomena ini, saya cuma bisa bilang, “Orang Indonesia memang hebat.”
Rombongan kami yang berjumlah 39 orang mendaki selama 2 setengah jam. Guide kami sampai kaget karena seharusnya pendakian berlangsung selama 3-4 jam. Sesampainya di tenda, kami membuat permainan, bermeditasi, makan malam, dan membuat api unggun. Sebelumnya, angin memang meniupkan hawa dingin, tapi cahaya dari matahari yang masih bersinar terik membuat suhu tidak jauh dari ambang normal. Tetapi, begitu malam tiba sekitar pukul 8, udara menjadi sangat dingin. Saya mengenakan tiga lapis celana, empat lapis baju, jaket, windbreaker, dua lapis kupluk, dan kaus kaki. Dengan pakaian sebanyak itu pun, saya masih kedinginan. Saya dan rombongan masuk ke tenda pukul 10 untuk tidur, tapi saya sama sekali tidak bisa tidur.
Dalam keadaan kedinginan, saya menyadari satu sisi tentang diri saya yang belum saya kenal. Ketika mendaki gunung, walaupun rasanya capek dan napas sesak, saya bisa mengontrol diri saya; emosi tidak terpicu, saya juga tetap bernapas dari hidung karena sudah terbiasa melakukan meditasi dan yoga. Tetapi, ketika menghadapi dingin yang menusuk, energi buruk dalam diri saya menunjukkan diri. Saya sampai merasa marah sekali dengan diri saya, air mata bahkan keluar tanpa diduga-duga. Akhirnya, saya menyerah untuk tidur dan keluar dari tenda saat tengah malam. Saya menghangatkan diri di depan api unggun bersama beberapa anggota rombongan sampai pagi.
Pukul setengah 5 pagi, kami mendaki lagi selama 20 menit untuk melihat matahari terbit di hutan mati. Indah sekali adalah frasa yang bisa menggambarkan pemandangan tak terlupakan itu. Kedinginan, capek, dan hal tidak menyenangkan lain terbayar sudah. Setelah menikmati pemandangan, kami bermeditasi di sana selama 15 menit. Udara masih dingin, tapi konsentrasi pikiran ketika bermeditasi sama sekali tidak terganggu.
Usai meditasi, kami kembali ke tenda untuk sarapan sebelum menuruni gunung selama 2 setengah jam. Di Garut, kami menyantap makan siang. Akhirnya pada pukul 2 siang, kami pulang kembali ke Jakarta dan tiba pukul setengah 10 malam.
Perjalanan ke Gunung Papandayan adalah perjalanan yang menyenangkan. Saya menjadi lebih mengenal diri saya setelah diterpa angin gunung yang dinginnya mencapai minus 3 derajat. Saya tidak menyangka saya tidak bisa bertahan dari udara dingin, padahal mendaki gunung di usia 41 tahun, dalam kondisi sudah lama tidak naik gunung, dan tanpa latihan terlebih dahulu bisa saya lakukan tanpa kesulitan. Yang tidak bisa dipercaya adalah saya marah sampai menangis. Ketika itu saya sadar, “Oh, seperti ini reaksi buruk yang muncul.” Ada sisi dari memori tertentu yang bereaksi dan membuat saya marah. Padahal, sepuluh tahun terakhir ini, sejak saya bermeditasi, saya tidak pernah merasakan marah sehebat itu. Tapi ternyata, dingin memicu emosi yang kuat dari diri saya.
Selama ini, meditasi menimbulkan banyak transformasi dalam diri saya, baik secara fisik maupun mental. Secara fisik, badan saya lebih sehat; imun tubuh meningkat, keluhan seperti alergi dan maag tidak pernah lagi saya alami. Secara mental, saya jadi bisa mengendalikan diri saya dalam keadaan tertekan, keadaan tersulit sekalipun. Dulu, sifat saya jelek, saya sangat galak dan tidak sabaran. Saya bisa mengendarai mobil dengan kecepatan 210 km/jam, perjalanan Jakarta-Banten saya tempuh dalam waktu 15 menit saja. Sekarang, saya lebih sabar dalam menyetir dan menyayangi nyawa saya.
Awalnya, saya mengenal meditasi karena ibu saya memiliki mium dan kista. Dokter mengatakan rahimnya harus dibuang. Saya tidak setuju karena hormon perempuan dikontrol di rahim, jika rahim ibu saya dibuang, akan terjadi ketidakseimbangan di dalam tubuhnya. Saya lalu meminta bantuan pada teman saya, seorang terapis. Ia menyarankan agar ibu saya bermeditasi. Saya menurut saja. Setelah enam bulan, hilang benjolan-benjolan di dalam tubuh ibu saya. Melihat ibu saya sembuh dan berubah menjadi lebih lemah lembut, saya tertarik dan mencoba mengikuti meditasi intensif selama seminggu. Saya jatuh cinta pada kali pertama. Sejak saat itu, saya rutin bermeditasi sampai-sampai saya dipercaya untuk menjadi instruktur meditasi Bali Usada hingga sekarang.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara