Suara sepatu saat aku melangkah terdengar jelas dan bergema. Aku melangkahkan kaki lebih cepat melewati koridor rumah sakit sesuai dengan petunjuk suster agar segera bertemu dengan Mbak Purwati. Hari ini aku berjanji untuk ikut acara kunjungan ke rumah sakit jiwa.
Aku kenal Mbak Purwati dari group WA. Ia sangat aktif melakukan berbagai kegiatan sosial. Ia mengajar di rumah singgah, ia berkeliling membagikan nasi kepada pengemis, pemulung, dan orang-orang yang membutuhkan, mengajar keterampilan untuk penyandang disabilitas, dan masih banyak lagi.
Aku ingin waktu luangku di hari Minggu, sepulang dari pujabakti di wihara diisi dengan kegiatan sosial. Aku menyatakan keinginanku pada Mbak Pur dan hari Minggu ini jadwal Mbak Pur mengunjungi rumah sakit jiwa.
Mbak Pur menyambutku dengan senyum. Kami bersalaman dan berbincang sejenak, lalu kami menyusuri ruang-ruang di rumah sakit jiwa itu. Mbak Pur menceritakan secara singkat ruangan-ruangan di rumah sakit itu.
Aku melihat ada pasien yang terus berteriak-teriak, ada yang tertawa-tawa, ada yang berpidato layaknya seorang pejabat tinggi, ada yang duduk termenung dengan wajah muram, dan lain-lain.
Aku berhenti saat melihat seorang pasien wanita muda yang sedang duduk di lantai, wajahnya terlihat sangat murung. Mbak Pur yang sudah beberapa langkah di depanku ikut berhenti melangkah, lalu mendekatiku.
“Maafkan aku… maafkan aku… Fernita,” ucap wanita itu lirih.
“Mbak Pur, kasihan ya, masih muda, cantik, tapi kok jadi penghuni rumah sakit jiwa. Mbak Pur tau, kenapa dia bisa ada di sini?” tanyaku penasaran.
“Ceritanya panjang, ayo kita ke dapur. Hari ini kita bertugas memasak untuk makan malam pasien penghuni rumah sakit ini,” jawab Mbak Pur sambil melangkahkan kaki menuju dapur.
“Oke. Tapi nanti kalau ada waktu senggang, cerita ya pada saya…” aku memohon pada Mbak Pur.
“Oke…” jawab Mbak Pur.
* * * * *
“Duh… penasaran banget, sampai sempatkan main ke rumah. Memangnya ada apa sih?” tanya Mbak Pur.
“Penasaran saja,” jawabku singkat.
“Pasti ada apa-apanya nih…” goda Mbak Pur.
“Ia mirip sekali dengan teman kecilku dulu. Tapi pasti bukan dia, soalnya teman kecilku sudah meninggal karena sakit,” jawabku.
“Oh… gitu “ kata Mbak Pur. “Mau minum apa?” tawar Mbak Pur.
“Terima kasih. Nggak usah Mbak, saya ke sini cuma mau ngobrol aja. Penasaran dengan kisah wanita yang saya lihat di rumah sakit tiga hari lalu.
“Gini, Mbak Pur dapat cerita ini dari suster yang sudah lama kerja di sana. Wanita itu depresi akibat lelucon April Mop,” Mbak Pur berhenti sejenak. Aku hanya diam saja agar Mbak Pur segera melanjutkan ceritanya.
“Lenny, kamu tau April Mop ‘kan?” tanya Mbak Pur.
“”Tau. Tanggal 1 April, biasanya orang akan ngerjain teman-temannya. Membuat cerita bohong dan ketika tau temannya tertipu, mereka tertawa kegirangan,” jawabku.
Baca juga: Ketika Lidah Melukai Hati
“Ya… seperti itulah. Seorang wanita ngerjain temannya, wanita juga. Wanita ini bilang ke teman kuliahnya. Kamu ditunggu seorang pria di depan kampus pukul dua siang ini. Katanya penting, ini soal lowongan kerja partime. Temannya yang memang sedang cari kerja paruh waktu, tentu gembira mendapat kabar itu. Tapi ia agak bimbang. Seharusnya ia pulang ke rumah dan menyuapi ibunya makan siang. Ibunya terbaring sakit dan tak dapat bangun untuk mengambil makan sendiri,” Mbak Pur berhenti lagi.
“Tapi akhirnya ia putuskan untuk menunggu karena waktunya tanggung. Jika pulang ke rumah dulu, pukul dua ia pasti belum sampai ke kampus lagi. Peluang kerja mungkin akan hilang begitu saja, padahal ia sangat butuh kerja itu. Telepon ke tetangga dan minta bantuan? Nggak mungkin karena tetangga sebagian besar sedang kerja dan sekolah. Minta nomor telepon pria yang memintanya menunggu, kata temannya yang memberi info, ia tidak punya nomor telepon pria itu. Jadi terpaksa ia memilih untuk menunggu. Semoga saja ibunya bisa menunggu sejenak atau masih tertidur,” Mbak Pur menatap wajahku.
“Lenny tau apa yang terjadi? Pria yang akan menemui wanita itu hanyalah lelucon April Mop. Pria yang ditunggu tak kunjung datang, akhirnya wanita itu pulang. Saat pulang ke rumah, ia mendapati rumahnya dalam keadaan ramai. Ternyata ibunya terjatuh saat turun dari ranjang ketika hendak mengambil makan. Kepalanya terbentur sudut meja dan mengeluarkan banyak darah. Tetangganya sudah berusaha membawa ibunya ke rumah sakit, namun nyawanya tak tertolong,” Mbak Pur menghentikan ceritanya.
“Jadi wanita di rumah sakit itu adalah wanita korban lelucon April Mop temannya? Ia depresi dan terganggu jiwanya hingga akhirnya dimasukkan ke rumah sakit jiwa?” tanyaku.
“Bukan,” jawab Mbak Pur.
“Lho…” reaksiku, kaget karena dugaanku salah.
“Wanita korban April Mop itu meninggal bunuh diri tiga bulan setelah kepergian ibunya. Wanita yang Lenny lihat di rumah sakit adalah pembuat lelucon April Mop, lelucon yang sebenarnya tidak lucu,” lanjut Mbak Pur.
“Wanita itu terpukul karena ulah isengnya mengakibatkan dua orang meninggal dunia. Ia depresi hingga akhirnya menjadi penghuni rumah sakit jiwa,” Mbak Pur mengakhiri ceritanya.
Catatan:
Membuat lelucon untuk menjahili teman saat April Mop tampaknya menyenangkan. Tapi, tahukah kamu bahwa lelucon yang kita anggap lucu itu bisa berakibat fatal seperti cerita di atas?
Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara