• Tuesday, 18 August 2020
  • Hendry F. Jan
  • 0

“Ting … ting … ting…” suara notifikasi yang menandakan ada pesan WA masuk. Mata Livia masih ngantuk, tapi ia berusaha menjangkau smartphone-nya yang terletak di atas meja belajarnya. Livia melirik ke jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Memang sudah saatnya bangun, tapi matanya masih léngkét. Bantal, guling, dan selimut masih menahan dirinya untuk terus berada di kasur, apalagi di luar masih turun hujan.

Sekitar pukul 02.00 Livia baru tidur karena harus menyelesaikan tugas kantor. Sebenarnya belum deadline-nya tapi biasalah pimpinan cabang carmuk ini selalu ingin jadi yang terdepan dibanding cabang-cabang di seluruh Indonesia. Bawahannya yang terus ditekan, biar ia dapat nilai bagus di kantor pusat. Dasar penjilat!

Livia membuka smartphone-nya. “Ah… dari nomor tak dikenal. Isinya penawaran pinjaman, penawaran investasi, juga kredit kendaraan. Sialan,” Livia memaki dalam hati. Tadinya ia menduga pesan itu dari bos-nya yang rese.

*  *  *  *  *

Banyak perubahan yang terjadi sejak pandemi Covid-19. Kegiatan sekolah dan kerja dilakukan dari rumah. Aktivitas di luar rumah berkurang, jarang bertemu langsung secara fisik, lebih sering sosialisasi dengan teman melalui dunia maya.

“Ting …” tanda pesan WA masuk. Livia membuka smartphone-nya. Broadcast dari group WA Buddhis: Lokuttara Dhamma berisi Dhamma harian berupa gambar dengan penjelasan singkat. Pembabaran Dhamma sekarang ini lebih variatif. Praktis dan menarik. Di group WA Buddhis lain juga demikian. Dhamma disampaikan dengan lebih menarik, melalui komik, video singkat, dan pesan Dhamma dengan gambar yang menarik.

Livia membuka aplikasi ojek online, memesan makan siang. Praktis, tanpa harus keluar, pesanan makanan akan diantar. Beberapa bulan ini, Livia dan sebagian besar penghuni kost di tempat ini jarang keluar. Kalau bukan keperluan penting sekali, semua dilakukan secara online. Livia juga melakukan pujabakti secara online.

Teman-teman Livia sibuk ngomel tentang sulitnya kehidupan di mana pandemi Covid-19. Bagi Livia, positive thinking saja. Memang jauh lebih enak sebelum pandemi.  Kita bebas pergi ke mana saja tanpa harus ikuti protokol kesehatan, tapi ada “sisi positifnya” juga kok.

Pujabakti tak harus bangun pagi, tak perlu naik bus atau ojol, dan punya kesempatan dengar Dhammadesana dari penceramah yang tinggal nun jauh di sana. Sekali berceramah, Dhammaduta bisa didengar lebih banyak umat dari berbagai tempat. Sebenarnya, tak boleh ada alasan lagi tidak ikut pujabakti dengan alasan vihara jauh dari rumah, susah bangun pagi, atau alasan lain.

Bangun 15 menit sebelum pujabakti online pun masih sempat kok. Nggak harus nunggu order diambil driver ojol, nggak harus dandan, dan nggak bingung harus pakai baju apa. Habis pujabakti, kalau ngantuk, bisa langsung meneruskan tidur. Yups, berpikir positif sajalah, orang sedunia juga mengalami hal yang sama.

*  *  *  *  *

“Bersujudlah semua makhluk di hadapannya, karna cinta kasih Buddha …” smartphone Livia berbunyi. Kalau nada dering “Sang Guru” yang berbunyi, pertanda penelepon dari kalangan Buddhis.

Namo Buddhaya Ci Sofie, apa kabar?” sapa Livia.

Namo Buddhaya Via. Via, Cici mau tanya, Minggu ini ada info pujabakti online untuk anak SMB nggak?”

“Ada Ci, nanti Via kirimin deh broadcast-nya.”

Emangnya kenapa Ci, di sana nggak ada SMB online?”

“Iya, Minggu ini nggak ada. Biasanya sih ada. Nggak apa ‘kan ikut SMB kota lain?”

“Iya, nggak masalah sih. Malah bagus.”

“Cici nggak mau Celine dan Rio nggak ikut SMB. Kalau terbiasa nggak ikut pujabakti, nanti pas diajak ke vihara, anak-anak jadi males.”

“Cici memang ortu teladan. T O P B G T deh.”

“Fondasi Dhamma anak-anak harus kuat. Senin sampai Jumat, mereka belajar agama sesuai yayasan sekolah mereka, masa’ seminggu sekali saja mereka tidak belajar Dhamma?”

“Siiip Cici-ku. Kalau semua ortu seperti Ci Sofie, anak-anak tidak akan mudah dipengaruhi untuk pindah keyakinan.”

“Oke deh Via, jangan lupa kirim broadcast-nya ya?”

“Pasti Ci. Setelah tutup telepon, Via langsung kirim deh.”

“Terima kasih Via.”

“Sama-sama Ci Sofie.”

Setelah mengirim BC ke Ci Sofie, Livia tersenyum bahagia. Andai semua ortu Buddhis seperti Ci Sofie, SMB pasti rame setiap Minggunya. Bukan cuma rame pas Waisak atau saat ada kegiatan outing saja. Hampir tiap Minggu SMB sepi, tapi pas ada kegiatan outing, bukan cuma ortu anak SMB yang ikut, kakek nenek anak SMB itu pun ikut. Aji mumpung banget ikut tour murah meriah!


*  *  *  *  *

Namo Buddhaya Ci Via,” sapa Bella, lewat video call.

Namo Buddhaya Bella. Apa kabar?”

“Lagi bete nih,”

Lho kenapa?”

“Lagi berantem sama Bryan?”

Nggak. Hubungan kami baik-baik saja, bukan masalah itu. Masalah SMB Ci.”

Lho, ada apa dengan SMB. Bella masih ngajar di SMB?”

“Masih Ci. Cuma saat pandemi ini SMB-nya nggak rutin. Sempat vakum sekitar sebulan. Nah beberapa hari kemarin, kami denger selentingan. Ortu komplain, kok nggak ada SMB? Kami, para Pembina ‘kan juga punya kesibukan sendiri-sendiri. Lagi pula ada beberapa tempat yang mengadakan SMB online, dan itu kami share di group.”

“Ah … biarin aja mereka komplain. Ini ‘kan kerja sukarela? Kalau sempat, adain SMB online, kalau nggak, ya nggak usah. Cuekin aja,” Livia coba menghibur.

“Nah itu dia masalahnya. Kemarin kami adain SMB online. Tahu nggak berapa yang ikut?”

“Ya, mana Cici tau. ‘kan Cici nggak ikut SMB?” Livia coba mencairkan suasana.

“Iiih Cici, Bella lagi kesel nih.”

“Iya … iya … Emangnya berapa anak yang ikutan?”

“Kalau di bimbel, 1 guru ada belasan siswa. Kalau Bella ngajar les privat, Bella mengajar 1 sampai 2 siswa. Seringnya Bella hanya ngajar 1 siswa. Ini Pembina-nya ada 7 orang, siswanya hanya 3 orang. Padahal Bella sudah bela-belain bujuk beberapa Pembina agar mau isi SMB online, Bella juga sudah share infonya di group WA. Kesel ‘kan?”

“Mungkin mereka nggak punya kuota.”

“Ah kayaknya nggak mungkin. Sebagian besar dari kalangan berada kok.”

“Atau mungkin ortu-nya nggak aktif? Mereka jarang lihat HP.”

“Iya sih, sebagian besar memang nggak terlalu aktif soal Dhamma, tapi aktif banget broadcast barang dagangan mereka. Dari pakaian, alat kesehatan, camilan sampai makanan haram bagi vegan, di-share di group.”

“Bella, memang sifat orang bermacam-macam. Nggak usah terlalu dipikirin deh.”

Abis kesel sih. Mereka bener-bener tidak menghargai usaha orang lain.”

“Hmmm … nggak usah terlalu dipikirin, toh mereka sendiri yang akan merasakan akibatnya. Bella, mau makan pizza nggak?” tawar Livia.

“Mau dong. Cici traktir ya?” Bella bersemangat.

“Iya. Habis ini Cici transfer deh. Cici baru dapet honor dari menerjemahkan buku. Setelah masuk, langsung bisa pesan pizza via aplikasi ojol. Nikmati waktumu,” kata Livia.

“Terima kasih Ciciku, Emuuuaaah…”

Setelah transfer uang, Livia duduk termenung di kamarnya. Ia gembira dengan antusias Bella mengajar SMB. Livia yang mendidik Bella, adik kelasnya, agar mau jadi Pembina SMB.

Livia jadi teringat Sarah, anak Ii* Lily yang pindah keyakinan, ikut keyakinan suaminya meski ditentang kedua ortu-nya. Juga Jeffry, anak laki-laki Ii Poppy yang pindah keyakinan, lebih memilih dicoret dari daftar warisan daripada harus kehilangan calon istrinya. Dan banyak kisah sejenis yang terjadi.

Keyakinan pada Buddha Dhamma harus ditanam sejak dini. Salah satunya dengan rutin mengajak anak ikut SMB. Jangan kalah dari anak kecil yang malas ke vihara dengan berbagai alasan. Anda sebagai orangtua harusnya memegang kendali. Anak yang masih sepenuhnya bergantung hidup dari Anda, harus sepenuhnya di bawah kendali Anda. Tidak harus dengan cara kekerasan, Anda bisa bujuk dengan mainan, makanan, main ke mal, atau hal lain yang disukai, agar ia mau ikut SMB. Kalau sudah remaja, apalagi dewasa, semua sudah terlambat. Tapi, itu sepenuhnya adalah hak Anda. Jika Anda tak menganggap penting keyakinan anak Anda, ia pindah ke mana pun Anda tak peduli, ya tak masalah sih .…

Lagu Sang Guru kembali terdengar dari smartphone Livia, dan membawa Livia kembali ke alam nyata. Bella yang melakukan video call.

Namo Buddhaya Cici,” kali ini suara Bella terdengar penuh keceriaan.

Namo Buddhaya Bella. Wah … dari suara dan wajahnya lagi happy banget nih. Ada apa?”

“Cuma mau ucapin terima kasih sekali lagi. Ini pizza-nya sudah datang. Cici mau?” Bella tersenyum menggoda sambil menunjukkan sekotak pizza ukuran besar.

Dipaketin ke sini keburu basi, Bella. Kalau mau, Cici bisa beli sendiri. Sudah sana, makan pizza sepuasnya,” kata Livia.

“Oke deh Cici tersayang …. Emuuuaaah ….” kata Bella sambil mengirim ciuman jarak jauh.

* = saudara perempuan dari Mama (dari bahasa Mandarin), tante.

Catatan:

Terima kasih R di kota P dan N di kota S, curhat kalian saya jadiin satu cerpen. Ayo semangat terus mendidik anak-anak SMB (Sekolah Minggu Buddhis). Kalian salah satu penentu masa depan generasi penerus Buddha Dhamma. Buat Kakak Pembina SMB di mana pun berada, terima kasih atas kontribusi kalian selama ini.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *