Peradaban manusia terus berkembang sejak masa pra sejarah hingga saat ini, segala bentuk “ketidakberadaban” secara sistematis dikikis dan diganti dengan “keberadaban”, bahkan 57 tahun yang lalu tepatnya 10 Desember 1948 sejarah manusia telah mencatat lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Sebagai salah satu perangkatnya disusun sebuah Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (PSBDR)-1965 dan telah disebarluaskan sejak 1969, namun hingga saat ini masih saja terjadi konflik antar kelompok dengan latar belakang perbedaan suku, agama, ras sebagai simbol permusuhan.
Berbagai kasus besar diskriminasi sempat menjadi perhatian dunia internasional, seperti kasus Afro-Amerika di Amerika, Yahudi di Eropa, Apartheid di Afrika Selatan, namun kasus diskriminasi di Asia seperti masalah Dalit di India misalnya, tidak mendapat perhatian yang cukup dari dunia internasional. Padahal lebih dari 100 negara telah menjadi peserta dan pendukung Konvensi Internasional tentang PSBDR, termasuk di dalamnya India.
Tulisan ini disarikan dari berbagai diskusi dengan kawan-kawan dari komunitas Dalit dari berbagai latar belakang pendidikan dan profesi, secara formal maupun informal pada saat penulis yang mewakili Hikmahbudhi mengikuti Konferensi INEB di Nagaloka, Nagpur, India dengan tema utama Konferensi INEB kali ini adalah “Buddhism and Social Equality”, sedangkan sub temanya adalah “Transcending Barriers: DR. Ambedkar and the Buddhist World” pada tanggal 9-16 Oktober 2005. Dalam tulisan ini, kata Hindu mengacu pada Hindu historis-institusional di India, bagaimanapun hal-hal yang diungkap di sini adalah realitas sosial di India hingga hari ini.
Diskriminasi di India
Sebagai negara yang telah menjadi peserta dan pendukung PSBDR seharusnya setiap negara tersebut wajib untuk peduli dan melakukan usaha untuk melenyapkan diskriminasi yang masih terjadi di negaranya sehingga praktek pembiaran (neglected) yang dilakukan pemerintah India adalah pelanggaran terhadap konvensi yang telah ditetapkan bersama dan merupakan tindakan yang tidak ksatria. Sangat jelas pada konvensi pasal 2 bab 1 menyebutkan bahwa negara-negara peserta mengutuk diskriminasi rasial, dan berusaha menggunakan semua cara yang memadai, secepatnya melakukan kebijakan penghapusan diskriminasi rasial dengan segala bentuknya, dan mengembangkan saling pengertian diantara semua ras dan demi lima tujuan yaitu:
Pertama, setiap negara peserta berusaha tidak akan terlibat dalam praktek diskriminasi rasial terhadap individu, kelompok orang, atau lembaga, dan menjamin bahwa aparatur pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintahan nasional maupun daerah, harus bertindak sesuai tanggung jawab ini;
Kedua, setiap negara peserta tidak membantu, membalas, atau mendukung diskriminasi ras yang dilakukan oleh siapa pun atau organisasi mana pun;
Ketiga, setiap negara peserta wajib melakukan tindakan-tindakan yang efektif untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah, nasional dan daerah, untuk memperbaharui, mencabut atau membatalkan undang-undang dan peraturan yang berpengaruh menciptakan atau mengembangkan diskriminasi rasial di mana pun;
Keempat, setiap negara peserta wajib, dengan segala cara yang tepat termasuk perundang-undangan apabila keadaan membutuhkan, melarang dan mengakhiri diskriminasi rasial yang dilakukan secara perorangan maupun secara berkelompok atau oleh suatu organisasi;
Kelima, setiap negara peserta berusaha mendorong, apabila perlu, organisasi atau gerakan multi-ras yang terpadu dan berbagai cara lainnya untuk menghilangkan hambatan-hambatan antar-ras, dan mencegah segala tindakan yang cenderung memperkuat pembagian ras.
Berdasarkan konvensi tersebut, diskriminasi rasial dideskripsikan sebagai segala bentuk perbedaan, pengecualian, pembatasan atau pilihan yang didasarkan pada ras, warna kulit, keturunan, atau asal negara atau bangsa yang memiliki tujuan atau pengaruh menghilangkan atau merusak pengakuan, kesenangan atau pelaksanaan, pada dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan yang hakiki di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang lain dari kehidupan masyarakat.
Di India modern saat ini ternyata masih terjadi diskriminasi atas nama kasta, salah satu yang paling fenomenal adalah diskriminasi terhadap kaum Dalit, sebuah golongan masyarakat India yang dianggap berada di luar sistem kasta yang ada (outcaste/untouchable/mahar). Bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami kaum ini sungguh tidak masuk akal dan di luar batas-batas kemanusiaan, namun tetap berlangsung hingga saat ini sebab memang dipelihara oleh kelompok kasta di atasnya yang diuntungkan oleh adanya sistem kasta ini yang menguasai India secara sosial politik dan ekonomi.
Praktek diskriminasi terhadap kaum Dalit ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-4, sering disebut juga sebagai “Apartheid terselubung India”, yang telah menyebabkan demikian banyak manusia mengalami segregasi dari manusia pada umumnya dan hanya menjadi kelompok manusia yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan paling kotor, rendah, dan tidak berarti. Mereka juga dimarginalisasi, disingkirkan dari pergaulan sehari-hari bahkan sekedar menginjak bayangannya pun sudah menjadi kesialan bagi kasta di atasnya.
Kaum Dalit dicap sebagai orang yang tercemar dan kotor sehingga tidak pantas hidup berdampingan dengan wajar dengan mereka yang merasa lebih tinggi dan bersih. Untouchability berakar pada sistem kasta Hindu-India yang merupakan hirarki sosial yang bertahan paling lama di muka bumi. Secara garis besar terdapat 4 kasta utama yakni Brahmana (pendeta dan guru), Ksatria (penguasa dan tentara), Waisya (pedagang/pengusaha), dan Sudra (pekerja). Di samping kasta utama ini terdapat ribuan sub-kasta yang dikenal sebagai “jati”, sistem kasta sebenarnya adalah pembagian berdasarkan pekerjaan, sekte, daerah, dan garis bahasa.
Dalit berada di luar keempat kasta utama di atas, digolongkan sebagai kelompok yang sangat nista untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sangat kotor dan rendah seperti membuang bangkai binatang, menguliti binatang, membersihkan tempat penampungan limbah, dan berbagai pekerjaan yang dianggap nista oleh kasta lainnya. Kata Harijan yang memiliki arti “anak Tuhan” sempat dikampanyekan Mahatma Gandhi untuk menyebut komunitas outcaste ini namun kata Dalit tampaknya lebih umum digunakan, berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti hancur, terdiskriminasi, atau orang yang dihancurkan. Ironisnya di dalam komunitas Dalit sendiri terbagi atas lebih dari 70 sub kasta.
Perjuangan DR. Ambedkar untuk Kaum Dalit
Secara legal formal sebenarnya untouchability sudah dihapuskan sejak disusunnya konstitusi India pada tahun 1950 pada pasal 16. DR. Bhimrao Ramji Ambedkar demikian nama lengkapnya, ia adalah seorang Dalit yang memegang peranan penting dalam penyusunan konstitusi India dan sampai saat ini tetap dipuja oleh para pengikutnya; komunitas Dalit dan telah menjadi ikon bagi gerakan Dalit. Ia adalah seorang tokoh besar yang dengan kesadaran dan penuh keberanian di tengah-tengah kontroversi mengubah agamanya menjadi Buddha, dan langkah ini menjadi begitu terkenal karena diikuti oleh jutaan pengikutnya.
Pengalaman masa kecilnya penuh dengan penindasan hanya karena ia seorang Dalit yang telah membentuk tekadnya untuk memerangi ketidakadilan itu. Sekadar contoh, saat kecil ia pernah didorong dari gerobak karena pemilik gerobak tahu dia seorang Dalit. Di lain waktu karena hausnya ia minum di sumur umum dan seseorang mengetahuinya, akhirnya massa datang dan memukulinya hingga babak belur. Demikian juga saat hendak mencukur rambutnya, Bhim kecil harus menerima penolakan karena si tukang cukur tidak mau menyentuh orang outcaste. Pernah saat hendak berangkat ke sekolah, karena hujan lebat Bhim berteduh di emperan rumah seseorang, saat penghuninya melihat serta merta dengan penuh marah ia mendorong Bhim sehingga jatuh di kubangan lumpur beserta semua bukunya.
Pengalaman-pengalaman pahit dan menyedihkan yang sangat melecehkan eksistensi kemanusiaan seperti inilah yang harus dihadapi bahkan oleh seorang anak kecil yang terlahir di komunitas Dalit di India, bahkan mungkin banyak yang lebih pahit dari pengalaman Bhim kecil. Namun semua hal inilah yang membentuk kesadaran dalam diri Bhim dan menjadi bara yang terus menyala dalam dadanya untuk memerangi ketidakadilan ini.
Perjuangan untuk menghapus ketidakadilan terhadap komunitas untouchable ini sebenarnya telah dimulai sejak lama. Sekedar contoh tahun 1883, Sayaji Rao Gaekwad, Maharaja dari Baroda sudah mendirikan sekolah untuk kaum Dalit sehingga dapat dinilai bahwa beberapa raja Hindu sebenarnya juga tidak setuju akan ketidakadilan yang terjadi terhadap kaum ini. Sejak sebelum merdeka hingga setelah merdeka di India terdapat banyak orang-orang besar yang mendedikasikan hidupnya untuk menegakkan kebenaran dan prinsip yang mereka yakini, Ambedkar adalah salah satunya.
Desa Ambavade di distrik Ratnagiri Propinsi Konkan yang terletak di negara bagian Maharashtra adalah tempat kelahiran Bhimrao anak ke-14 dari Ramji Sakpal. Ambedkar lahir pada tanggal 14 April 1891 dengan nama Bhimrao Ambavadekar. Salah seorang pamannya yang menjadi biarawan pernah menyatakan kepada ayah Bhimrao, bahwa ia akan mendapat seorang putera yang nantinya akan menjadi orang terkenal di dunia. Demikianlah kemudian Ambedkar lahir dan ibundanya meninggal lima tahun kemudian. Nama Ambavadekar akhirnya diubah menjadi Ambedkar oleh salah seorang gurunya pada masa sekolah menengah atas, gurunya adalah seorang brahmin dengan nama keluarga Ambedkar dan ia sangat kagum dan senang akan kecerdasan Bhimrao Ambavadekar sehingga kemudian mempersilakan Bhim untuk menggunakan nama keluarganya yaitu Ambedkar.
Sejak muda Ambedkar sangat suka membaca buku, meskipun miskin tapi ayahnya sangat mendukung kegemarannya membaca buku bahkan terkadang ayahnya sampai meminjam uang untuk membelikan Ambedkar buku. Keluarga ini tinggal di daerah termiskin, rumah mereka sangat sempit hanya terdiri dari satu ruangan dan segala aktivitas dilakukan di situ mulai memasak, tidur, belajar, dan untuk kambing peliharaan.
Sejak sekolah dasar, berbagai perlakuan diskriminasi dialaminya, salah satu yang paling menyakitkan baginya adalah larangan untuk membaca Veda karena ia seorang Mahar. Sebagai seorang India dia merasa sangat terhina karena anak-anak dari luar India saja diperbolehkan membacanya. Selain itu bila anak lain boleh duduk di kursi, anak-anak Dalit harus duduk di atas tikar dan itu pun harus membawa sendiri dari rumah, bahkan pernah saat Bhim disuruh menyelesaikan soal matematika di papan tulis, anak-anak lain berteriak bahwa kotak bekal mereka ada di belakang papan sehingga mereka takut tercemar karena Bhim akan menyentuh papan tulis. Sehingga setelah semua anak mengambil kotak bekalnya barulah Bhim dapat menggunakan papan tulis, sementara guru matematikanya tidak sedikit pun merasa terusik menyaksikan ketidakadilan ini.
Setelah lulus dari sekolah menengah, ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Tinggi Elphistone dan memperoleh gelar B.A. pada tahun 1912 dan kemudian ayahnya berkeinginan Ambedkar mencari kerja di Bombay, karena kondisi keuangannya sangat tidak memungkinkan untuk membiayai Ambedkar melanjutkan ke universitas. Adalah Keluskar, salah seorang guru Ambedkar di sekolah tinggi yang simpatik padanya dan kerap kali memberi buku-buku bermutu karena ia sangat menghargai kegemaran Ambedkar membaca buku, salah satu buku Buddhis pertama Ambedkar; Buddha-Charitra (Kisah Hidup Buddha) adalah pemberiannya.
Keluskar lah yang membantu Ambedkar untuk bertemu dengan Raja Sayaji Rao Gaekwad seorang raja di negara Baroda yang memiliki pandangan liberal yang akhirnya memberikan beasiswa kepada Ambedkar. Sebelum memberikan beasiswa, sang raja bertanya kepada Ambedkar karena ia menyatakan akan mempelajari banyak subyek. “Apa yang akan kamu lakukan setelah mempelajari semua itu?” Ambedkar menjawab, “Setelah mempelajari semua itu, saya akan menemukan penyebab dari keadaan komunitas saya sehingga saya dapat melakukan reformasi sosial.” Karena mengetahui potensi yang dimiliki Ambedkar, Raja Sayaji mengirim Ambedkar ke Universitas Colombia-Amerika untuk meneruskan pendidikannya.
Amerika yang liberal tidak mengenal untouchability, hal ini sangat berkesan bagi Ambedkar. Di sini Ambedkar merasa diberlakukan secara sama dan ia bebas untuk belajar apa pun, dan ia sempat mengutip Shakespeare pada salah satu surat ke sahabatnya untuk mengungkapkan kebahagiaannya dapat belajar di Amerika, “In the life of man now and again there is a swelling wave; if a man uses this opportunity, it will carry him towards his fortune.” Di negeri Paman Sam inilah ia menimba ilmu politik, etika, antropologi, ilmu sosial dan ekonomi, dan akhirnya memperoleh gelar gelar M.A. dan Ph.D., selanjutnya ia ingin menyelesaikan pendidikannya di bidang ekonomi di Inggris namun ditolak oleh pejabat pendidikan negara tapi di kemudian hari dikabulkan atas rekomendasi dari Raja Baroda.
Karena proposalnya tidak dikabulkan, Ambedkar harus kembali ke India untuk mengabdi di pemerintahan Baroda sesuai janjinya sebelum menerima beasiswa. Ia kembali ke India pada tahun 1917 sebagai seorang yang berpendidikan tertinggi di India masa itu. Namun India tetaplah India dengan sistem kastanya yang diskriminatif sebagaimana masa sebelum ia belajar ke Amerika. Jadi meski Ambedkar menduduki jabatan penting di pemerintahan kerajaan Baroda namun ia tetap merasakan ketidakadilan. Bahkan pesuruh di kantornya pun tidak mau mengantarkan dokumen-dokumen yang Ambedkar perlukan secara langsung, tapi dengan cara melemparkan ke arahnya, tidak ada yang membawakannya air minum, dan ia tidak diberi jatah tempat tinggal sebagaimana pegawai lain setingkatnya karena mereka tidak mau bertetangga dengan orang kasta rendahan.
Apalagi pegawai-pegawai lainnya semua memperlakukannya bagai biang penyakit, bahkan mereka yang non-Hindu pun memperlakukannya dengan tidak semestinya. Sementara Raja Baroda tidak dapat melakukan apa pun, karena tindakan diskriminatif ini bersumber dari agama, raja tidak bisa menentangnya secara langsung. Karena tidak mendapat tempat tinggal akhirnya Ambedkar menyewa sebuah wisma dengan menggunakan nama Persia, namun tidak bertahan lama karena orang-orang Persia pun tahu ia seorang Dalit dan mengusirnya dengan sangat tidak terhormat. Saat itu semua orang di Baroda tidak mau membantunya, sehingga akhirnya ia meninggalkan Baroda dan kembali ke Bombay dan berusaha mencari kerja namun tak satu pun perusahaan mau menerimanya karena ia seorang Dalit. Demikian juga saat ia membuka usaha hingga akhirnya Sekolah Tinggi Sydenham Bombay membutuhkan seorang Profesor Ekonomi.
Sydenham adalah nama seorang bangsawan mantan gubernur Bombay yang cukup kenal dengan Ambedkar, demikianlah akhirnya Ambedkar mendapatkan pekerjaan. Setelah dua tahun, kembali ia melanjutkan pendidikan ke London dan Jerman sehingga akhirnya ia memiliki gelar M.A., Ph.D., D.Sc., menguasai bidang hukum, siap untuk beraksi, memasuki dunia politik dengan persiapan yang komprehensif bukan untuk kepentingan pribadi tapi kepentingan komunitasnya; kaum Dalit. Langkah pertamanya adalah membentuk organisasi bernama Bahishkrit Hitkarini Sabha (Komunitas untuk Kesejahteraan Kaum Tersisih) pada awalnya di wilayah Bombay. Tujuannya adalah membangun asrama-asrama untuk mempromosikan dan menyebarkan pendidikan untuk kaum Dalit, membuat perpustakaan dan pusat pendidikan untuk pembangunan budaya dan mengkampanyekan penghapusanuntouchability.
Usaha penghapusan untouchability dari dalam pemerintahan telah diawali Raja Baroda yang telah memberikan beasiswa kepada kaum Dalit yang berpotensi, sementara dari masyarakat sendiri terdapat Mahatma Phule dan isterinya yang mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan kaum Dalit. Mahatma Phule adalah seorang Sudra, ia bahkan rela diusir dari rumahnya karena sang ayah menganggap puteranya ikut tercemar karena berkumpul dengan kaum Dalit. DR. Ambedkar mendedikasikan salah satu bukunya; Who Were The Shudras kepada orang yang ia anggap guru ini.
Usaha lain adalah dari anggota Dewan di Bombay, ia bernama Bole, seorang reformis sosial yang mengajukan resolusi yang pada intinya menyatakan bahwa semua fasilitas umum negara seperti pengadilan, sekolah, rumah sakit, kantor, penginapan, sumur, tangki air dan sebagainya dapat digunakan oleh kaum Dalit. Resolusi ini disetujui namun pada pelaksanaannya kembali tertabrak hegemoni kaum Brahmin yang diuntungkan oleh sistem kasta ini. Seperti di Kota Mahad di Maharashtra, meski resolusi ini sudah ditetapkan tapi tetap kaum Dalit tidak diperbolehkan mengambil air di tangki umum, padahal kaum Muslim dan bahkan ternak pun bebas minum di tangki tersebut.
Hal ini mengundang Ambedkar melakukan aksi di tangki air tersebut pada saat diadakannya Konferensi Kasta Tertindas di kota tersebut pada tahun 1927 yang diketuai oleh Ambedkar, sedangkan para peserta yang rata-rata aktivis dari kaum Dalit ini tidak hanya datang dari negara bagian Maharashtra tapi bahkan dari Gujarat. Di akhir konferensi diadakanlah aksi yang melibatkan tak kurang dari 10.000 orang, aksi damai yang dipimpin Ambedkar berjalan lancar hingga mereka mencapai tangki air Chowdar dan kemudian dipimpin Ambedkar mereka mengambil air dengan telapak tangan dan meminumnya.
Namun kemudian di kalangan masyarakat Hindu tersebar isu bahwa kaum Dalit akan menduduki salah satu kuil mereka sehingga terjadilah kerusuhan, peristiwa ini dikenal dalam sejarah India sebagai“Chowdar Tank Case”. Namun bagaimanapun, tangki tersebut telah “tercemar” lalu bagaimana mereka “mensucikan” kembali? Setelah aksi ini, dengan dipimpin kaum brahmin tangki dikosongkan, kemudian ditaburi berbagai produk sapi seperti susu, dadih, mentega murni, urin dan kotoran sapi sembari para brahmin membacakan mantra, dan kemudian tangki dianggap suci kembali. Ironis!
Pada tahun yang sama juga terjadi aksi pembakaran kitab Manusmrti (Hukum Manu), sebuahkitab yang merupakan sumber dari semua aturan menyangkut kasta. Kitab ini mengatur siapa boleh makan dengan siapa, siapa boleh mengawini siapa, siapa boleh menyentuh siapa. Juga memuat hukuman bagi yang melanggar, misal apabila seorang Sudra yang menganggap mengajar kaum Brahmana adalah tugasnya harus dihukum dengan cara memasukkan minyak panas ke dalam mulut dan telinganya. Pembakaran kitab ini membuat guncangan besar terhadap kaum ortodok Hindu seluruh India dan merupakan simbol penolakan kaum Dalit terhadap kekuasaan dan kitab-kitab Hindu.
Aksi di tangki air Chowdar di Mahad merupakan simbol perlawanan awal yang penting, karenanya setelah konferensi di Mahad tersebut, DR. Ambedkar mendirikan koran untuk memperkenalkan pemikiran-pemikirannya kepada masyarakat luas, namanya Excluded India dan isu pertama yang diangkat adalah “Chowdar Tank Case”. Kembali Ambedkar merencanakan untuk mengadakan aksi bersama-sama pengikutnya ke tangki air tersebut, namun karena alasan hukum dan keamanan para pengikutnya akhirnya dibatalkan, namun secara jalur hukum Ambedkar terus memperjuangkannya. Dan akhirnya tahun 1937 Pengadilan Tinggi Bombay memenangkan kaum Dalit untuk dapat menggunakan tangki air tersebut. Sebuah kemenangan kecil di tengah perjuangan untuk menghapus untouchability, menuntut persamaan, kebebasan dan keadilan bagi semua, namun penting sebagai titik pijak awal perjuangan.
Berbagai gerakan dilakukan Ambedkar dan jutaan pengikutnya untuk menuntuk hak-hak mereka, gerakan massa, politik, hukum, bahkan gerakan diplomasi internasional. Karena sistem kasta di India telah menyebabkan mereka tidak memiliki hak ekonomi dan politik. Tak jarang Ambedkar harus berhadapan dengan Mahatma Gandhi yang memiliki cara pandang yang berbeda dalam haluntouchability ini. Gandhi adalah seorang berkasta yang mengklaim berdiri di atas semua golongan, namun kaum Dalit menyangkal hal ini dan kenyataan pun tidak berkata demikian. Gandhi setuju pada saat kaum Muslim, Kristen dan Sikh memiliki sistem pemilihan terpisah, hal ini sejalan dengan demokratisasi namun pada saat Ambedkar menuntut sistem pemilihan terpisah untuk Dalit pada tahun 1932, Gandhi melakukan gerakan penolakan dengan gerakan “Mogok Makan Hingga Mati”-nya yang terkenal itu.
Ambedkar menjadi begitu dibenci di India kala itu karena Gandhi adalah seorang tokoh besar bagi India. Ambedkar dihadapkan pada pilihan membiarkan Gandhi mati sehingga dapat menimbulkan kerusuhan hebat di India antara penganut kasta Hindu dan kaum Dalit atau berkompromi, ia terpaksa memilih yang kedua karena tidak ingin terjadi pembantaian terhadap kaumnya. Hal ini semakin memperkuat keyakinan kaum Dalit bahwa yang dapat menjadi penyelamat mereka hanyalah seorang Dalit juga, sebab tanpa pernah merasakan betapa pahitnya kenyataan hidup sebagai kaum untouchable maka mereka tidak akan mungkin dapat memahami secara utuh permasalahan ini.
DR. Ambedkar Menjadi Buddhis Diikuti Pengikutnya
Pada tahun 1935 Ambedkar membuat pernyataannya yang terkenal bahwa ia boleh lahir sebagai seorang Hindu tapi tidak akan mati sebagai Hindu, 12 tahun kemudian ia menjadi Menteri Hukum pertama paska kemerdekaan India, namun setelah 4 tahun mengundurkan diri dari kabinet. Sisa hidupnya kemudian didedikasikan bagi pengembangan Buddhisme di India, hal ini diumumkannya pada tahun 1954. Dua tahun kemudian, tepatnya tanggal 14 Oktober 1956, pada sebuah upacara di Nagpur, Ambedkar menjadi seorang Buddhis yang diikuti oleh ratusan ribu pendukungnya saat.
Adalah U Chandramani, seorang bhikkhu senior yang menjadi pemimpin upacara saat Ambedkar menyatakan tiga perlindungan kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Peristiwa ini adalah sebuah peristiwa besar yang begitu mengejutkan semua orang di India, bahkan bagi Buddhisme di India ini sangat berarti bagi kebangkitan Buddhis setelah ratusan tahun berusaha ditenggelamkan. Dengan menjadi Buddhis, Ambedkar berharap kaum Dalit merasakan pembebasan secara sosial, psikologi dan spiritual. Disamping kesadarannya yang tinggi bahwa Buddhisme pernah nyaris punah dari India dan kemudian bangkit kembali, ia tidak ingin Buddhisme punah kembali sehingga setelah ia menyatakan tiga perlindungan dan memohon lima sila dari bhikkhu, selanjutnya Ambedkar membaca 22 sumpah yang ia buat bagi kaum Dalit, kemudian mentahbiskan para pengikutnya.
Prosesinya berlangsung sebagai berikut, pengikut Ambedkar pertama-tama mengikuti upacara pentahbisan dengan menyatakan Trisarana dan Pancasila, kemudian setelahnya mereka menyatakan 22 sumpah untuk memperjelas dan benar-benar memisahkan Buddhis dari Hindu. Perlu dipahami, pada saat itu tertanam anggapan bahwa seorang Buddhis adalah juga seorang Hindu dan hal ini telah begitu mengakar di India. Biasa dikatakan bahwa Hindu bagaikan samudera yang luas, Buddhisme hanyalah salah satu sungai kecilnya. Hal inilah yang berusaha dikikis oleh Ambedkar, sehingga para pengikutnya diharapkan benar-benar berusaha mempelajari ajaran Buddha bukan sekedar menyebut dirinya seorang Buddhis tapi tidak memahami ajaran yang sebenarnya. Akhirnya budaya pentahbisan ala Ambedkar ini menjadi upacara tahunan yang mereka sebut Dhammadiksa/Diksabumi.
Sampai saat ini acara ini terus berlangsung sebagai acara tahunan dimana komunitas Dalit dari berbagai daerah berkumpul di vihara dimana Ambedkar ditahbiskan menjadi seorang Buddhis. Di tengah-tengah Konferensi INEB, para peserta diajak ikut berpartisipasi dalam acara ini meski dengan pengawalan ekstra ketat, sebab di acara ini terlibat begitu banyak massa, ratusan ribu bahkan mungkin jutaan orang berkumpul dari seluruh India. Acara serupa juga diselenggarakan di wilayah-wilayah lain namun dengan jumlah massa yang tentunya tidak sebanyak di Maharashtra, sebab secara sosio-historis-politis memang merupakan wilayah Dalit.
Perjuangan Ambedkar bersama-sama komunitasnya adalah sebuah perjuangan yang panjang dan tidak mudah untuk merebut hak-hak mereka. Perjuangan ini masih terus berlanjut hingga hari ini, terutama perjuangan untuk mempertahankan eksistensi mereka sebagai Buddhis. Ironisnya di tanah Buddha, mereka bahkan baru mulai membangun vihara-vihara sederhana dan tidak ada bhikkhu yang dapat memberikan Dhamma pada mereka karena aturan manajemen vihara-vihara tua yang dikuasai kaum Brahmin.
Sebagaimana sub tema konferensi, salah satu tujuan dari Konferensi INEB kali ini adalah untuk menyingkirkan halangan antara perjuangan Ambedkar dan komunitas Buddhis internasional. Komunitas Buddhis di India membutuhkan dukungan yang cukup dari seluruh dunia untuk dapat berdiri tegak di India. Pengalaman historis mereka berjuang untuk membebaskan diri dari belenggu sistem kasta dan trauma panjang akibat tindakan-tindakan yang sangat merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan yang telah mereka alami sebagai kaum Dalit, tingkat pendidikan yang rendah, kemiskinan dan lain sebagainya telah membentuk karakter yang eksplosif dalam diri mereka.
Salah satu masalah mendasar yang dihadapi komunitas Dalit paska meninggalnya DR. Ambedkar 6 minggu setelah beliau menjadi Buddhis adalah kecenderungan penekanan yang salah pada perjuangan DR. Ambedkar. Yang lebih banyak ditransformasikan kepada komunitas Dalit yang sebagian besar telah menjadi Buddhis ini adalah kritik Ambedkar terhadap sistem kasta Hindu dan mereka anggap hal ini sebagai Buddhisme. Hal ini juga mungkin terjadi akibat minimnya jumlah bhikkhu, namun di akhir konferensi beberapa pimpinan organisasi Buddhis dari kaum Dalit menyatakan bahwa mereka siap bekerjasama dengan para Lama dari Tibet untuk memberikan Buddha Dhamma yang sebenarnya kepada komunitas Buddhis di India. Sebuah tesis sederhana mungkin dapat kita renungkan bahwa Tibet mungkin memang harus meninggalkan kenyamanan tanah kelahirannya yang begitu kental akan spiritualme untuk membangkitkan kembali Buddhisme di tanah Buddha, melanjutkan perjuangan Ambedkar bersama-sama jutaan pengikutnya.
*) Eddy Setiawan, Ketua Umum PP Hikmahbudhi periode 2005-2007
http://rekamlangkah.blogspot.com/2013/10/dr-br-ambedkar-perlawanan-terhadap.html?spref=fb
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara