Pada waktu-waktu tertentu, sudah sekitar setahunan saya memiliki kebiasaan untuk merenungkan dan menguncarkan dalam hati “doa” berikut ini:
Aku bersyukur karena terlahir sebagai manusia,
Bahwa Buddha bersedia hadir dan mengajarkan Dhamma di dunia,
Dan karena aku memiliki kesempatan untuk mengenal dan mempraktikkan Dhamma.
“Doa” itu meringkas hal-hal yang paling saya syukuri dalam hidup saya. Buddha dan ajaranNya telah mengubah cara pandang saya atas dunia, dan saya tak dapat membayangkan apa yang terjadi dengan hidup saya andaikata saya tak mengenal Buddhisme. Sebab dalam Buddhisme-lah saya menemukan apa yang tak ada dalam ajaran-ajaran lainnya: Buddhisme itu unik sendiri dalam banyak aspeknya.
Pertama, melalui Kalama Sutta dan semangat Ehipassiko, sejauh yang saya ketahui, Buddha adalah satu-satunya pendiri agama yang menyatakan dengan terus terang kepada para pengikutNya untuk tidak mempercayai bahkan sabda Buddha sendiri, sebelum para pengikut membuktikan sendiri kebenarannya. Di dunia di mana banyak manusia menjadi “budak” intelektual maupun spiritual dari para pemimpin agama, Buddha memberikan kebebasan berpikir dan memilih kepada para pengikutNya untuk menentukan sendiri apa yang akan mereka percayai dan yakini.
Kedua, dalam Buddhisme, tujuan tertinggi yang harus diraih oleh setiap Buddhis bukanlah kehidupan surgawi dengan segala kenikmatannya. Melainkan, Buddha mengajarkan sebuah jalan untuk mencapai kebahagiaan tertinggi yang disebut Nibbana. Di dunia di mana banyak ajaran mengiming-iming pahala surgawi kepada para pengikutnya yang taat dan saleh menurut kriteria tertentu, Buddhisme mengajarkan jalan untuk benar-benar terbebas dari segala macam hasrat, termasuk hasrat akan kenikmatan surgawi. Dalam Buddhisme, surga hanyalah semacam tempat persinggahan atau tempat berlibur untuk santai sejenak melepas “kepenatan” dalam mengarungi samsara, dan itu berarti surga tidaklah kekal dan dalam surga masih ada derita (karena di mana pun ada hasrat, di sana ada derita).
Ketiga, Buddhisme tidak mengenal konsep Ketuhanan apa pun, termasuk apa yang disebut dengan istilah Tuhan impersonal. Dengan begitu, Buddhisme menolak mempercayai adanya suatu makhluk adikodrati yang memiliki sifat-sifat serba maha: mahapencipta, mahakuasa, mahatahu, mahapengasih, dan seterusnya. Bagi Buddha, kepercayaan bahwa ada suatu makhluk adikodrati dengan sifat-sifat seperti itu adalah termasuk pandangan salah. Karena, jika memang makhluk adikodrati yang mahapencipta dan mahapengasih itu ada, lantas mengapa dia tidak menciptakan hal-hal yang baik-baik saja? Mengapa ada kejahatan, mengapa ada makhluk-makhluk yang harus memangsa makhluk lainnya untuk hidup, dan mengapa ada bayi-bayi yang terlahir dengan kondisi amat memilukan?
Di dunia yang dipenuhi oleh ajaran-ajaran tentang Tuhan sebagai pemberi wahyu, Tuhan sebagai kausa prima, Tuhan yang maha ini dan itu dan ketaatan terhadapnya menjadi tolok ukur utama kesalehan, dengan penuh percaya diri Buddhisme berdiri sendirian sebagai ajaran yang berasal dari pengalaman langsung seorang manusia dan berfokus hanya kepada manusia.
Dan ternyata, perkembangan terbaru dalam dunia ilmu pengetahuan memberi sebuah petunjuk yang menguatkan penolakan Buddhisme terhadap kepercayaan tentang adanya satu makhluk adikodrati mahapencipta dan mahakuasa yang mengatur dunia ini. Dalam bukunya “The Grand Design”, ilmuwan terkemuka Stephen Hawking menyatakan bahwa untuk menjelaskan proses terjadinya alam semesta tidak memerlukan campur tangan suatu Tuhan apa pun.
Dan tren yang terjadi adalah, semakin lama semakin terkuaklah kebenaran banyak sabda Buddha oleh para ilmuwan dunia, baik di bidang fisika, astronomi, maupun -dan terutama- di bidang psikologi yang telah lama mengakui keunggulan Buddhisme dalam menjelaskan tentang “jiwa” manusia. Tak salah jika Einstein dikatakan pernah menyebutkan bahwa “satu-satunya agama yang mampu memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan modern adalah Buddhisme”.
Terakhir, Buddha adalah pendiri agama yang dengan terang dan jelas menyatakan bahwa setiap pengikutNya memiliki potensi yang sama untuk meraih kedudukan yang setara denganNya. Menurut Buddha, dalam diri setiap makhluk terdapat benih ke-Buddha-an. Yang diperlukan adalah kemauan dan tekad yang kuat untuk melatih diri dalam jalan yang telah ditunjukkan Buddha agar benih itu bertumbuh dan pada akhirnya memberikan buah pencerahan sejati.
Sementara itu, dunia mengenal banyak ajaran dari banyak guru spiritual. Semua dari mereka umumnya digambarkan sebagai sosok yang terpilih oleh suatu makhluk adikodrati penguasa semesta, utusan yang mendapatkan wahyu dan otoritas untuk menyampaikan pesan-pesan dari makhluk adikodrati itu kepada para manusia. Karena itu, tak ada dari para pengikut mereka yang memiliki kesempatan istimewa untuk menjadi “yang terpilih” seperti halnya para utusan itu. Tetapi dalam Buddhisme, setiap Buddhis memiliki kesempatan yang sama besarnya untuk menjadi Buddha, sama seperti Buddha sendiri.
Itulah beberapa keunikan Buddhisme yang membuat saya amat bersyukur memiliki kesempatan untuk mengenal dan mempraktikkannya. Itulah juga kualitas-kualitas Buddhisme yang membuat saya bangga sebagai Buddhis, Meskipun bila dilihat dari segi kuantitas, pengikut Buddhisme di seluruh dunia bukan yang paling banyak dan Buddhisme bukanlah ajaran yang mendominasi dunia, bagi saya kenyataan bahwa Buddhisme itu lain dari yang lain tetap menjadikan saya bangga sebagai seorang Buddhis.
Tak bisa dipungkiri, Buddhisme memang top banget!
*) Artikel ini adalah juara kedua Lomba Menulis Artikel “Bangga Menjadi Umat Buddha”
yang diselenggarakan oleh BuddhaZine
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara