• Thursday, 29 November 2018
  • Hendry F. Jan
  • 0

“Sherly, bulan depan kamu ditugaskan ke Bandung,” begitu kata pimpinanku via telepon. Aku hanya menatap kosong ke layar laptop. Sebenarnya aku sedih tiap kali mendapat kabar seperti ini. Sedih karena harus berpisah dari teman sekantor yang sudah mulai akrab dan masuk ke lingkungan baru di kota yang berbeda.

Ini adalah kali ketiga aku dimutasi. Aku dimutasi ke kantor cabang baru untuk memperbaiki pembukuannya. Biasanya hanya untuk setahun saja. Setelah sistem berjalan dengan baik, aku dimutasi ke kota lain lagi atau kembali ke kantor pusat di Jakarta.

Nggak sepenuhnya sedih sih, soalnya gajiku selalu naik tiap mutasi. Lumayan, dompet tambah tebel nih…

* * * * *

Suasana vihara masih sepi. Hanya ada beberapa orang pengurus vihara dan muda-mudi yang kelihatannya juga aktivis di vihara. Aku melangkah perlahan memasuki baktisala untuk ber-namaskara. Lalu aku duduk, bermeditasi sejenak, menantikan waktu pujabakti.

Selesai pujabakti, aku memandang sekelilingku. Tak satu pun wajah orang yang kukenal. Maklum saja, aku memang warga baru di kota ini. Aku baru dipindahtugaskan ke kota ini. Aku masih berharap ada seseorang yang dulu berasal dari kota yang sama denganku, entah karena pindah atau sedang berlibur ke kota ini, dan melakukan pujabakti di vihara yang aku kunjungi ini. Tapi harapanku sia-sia.

Tak ada wajah yang mengenali aku sebagai umat yang baru datang  ke vihara ini, lalu menyapa, menanyakan siapa namaku dan aku berasal dari mana. Sama sekali tidak ada! Aku hanya berjalan seorang diri, ke perpustakaan atau ke bursa melihat buku Dhamma dan aneka asesoris yang dijual di sana. Terkadang setelah pujabakti selesai, aku langsung meninggalkan vihara. Tidak langsung pulang ke tempat kost sih, tapi cuci mata atau makan siang dulu di mal.

“Tok… tok… tok…” suara ketukan pintu kamar kost mengembalikan aku ke masa kini.

“Iya, siapa ya?” aku melangkah mendekat ke pintu.

“Mbak Sherly, ini laundry-nya sudah selesai,” kata Dani, pesuruh di tempat kost ini.

Aku mengambil bungkusan laundry dan mengucapkan terima kasih kepada Dani. Aku kembali berbaring di kasur dan melanjutkan lamunanku.

Jadi rutinitasku di hari Minggu: pujabakti, lihat bursa atau ke perpustakaan, lalu pulang. Aku memang tidak rutin tiap hari Minggu ke vihara. Sebulan sekali, pada Sabtu dan Minggu aku “mudik” ke Jakarta. Untungnya, aku dimutasi ke kota-kota di Jawa Barat saja, sehingga aku mudah melakukan “mudik” tiap bulan.

Setelah bulan ketiga atau bulan keempat, aku baru kenal dengan beberapa orang di vihara. Biasanya penjaga bursa karena beli buku dan bagian penggalangan dana. Dari sana, secara perlahan aku mulai kenal lebih banyak orang.

Sambutan umat vihara memang jauh berbeda dengan sambutan di rumah ibadah tetangga. Aku pernah mampir ke sana, bukan untuk ibadah sih… Aku hanya janjian dengan teman sekantor di rumah ibadahnya. Ia hanya ke sana untuk menitipkan buku, ketemu temannya, lalu kami akan pergi ke pameran kuliner, dan setelah itu kami nonton bareng. Lokasi rumah ibadahnya dan lokasi pameran kuliner memang berdekatan dan satu arah dari tempat kost-ku. Kalau janjian ketemu di vihara, kami malah menjauh dari lokasi tujuan kami.

Begitu aku menginjakkan kaki memasuki rumah ibadah, senyum manis dan sapaan hangat menyambutku. “Selamat datang… Apa kabar?” Lalu dilanjut dengan pertanyaan, “Umat baru ya…? Siapa namanya?” Setelah memperkenalkan diri dan mengatakan maksudku ingin bertemu Grace, wanita yang mengenalkan diri sebagai Theresia menemani aku ngobrol hingga Grace datang. Kami bercerita apa saja. Aku baru pertama kali bertemu dengannya, tapi kami ngobrol seru seperti teman lama yang baru bertemu.

* * * * *

“Sherly, Minggu ini ikut baksos yuk…” begitu WA dari Samuel, pacarku. Ups… pembaca belum tau ya tentang Samuel. Daripada menduga-duga, aku cerita dulu ya? Samuel adalah pacarku. Iya, benar. Kami beda keyakinan. Jadi berpacaran dengan Samuel kuakui sebagai sebuah “kecelakaan”. Perasaan cinta hadir begitu saja, dan aku tak mampu menolaknya.

Kisah ini bermula saat aku berlibur seorang diri ke Yogya dengan kereta api. Mungkin karena ceroboh, aku kecopetan. Dompetku yang berisi uang tunai, kartu kredit, kartu ATM, dan KTP hilang. Hal ini baru aku sadari setibanya di Stasiun Tugu. Saat aku sedang memeriksa tas ranselku dan saku celana dengan wajah bingung, seseorang menghampiriku. Singkat cerita, pria itu bernama Samuel, ia juga berasal dari Jakarta. Samuel berbaik hati dan percaya meminjamkan uang dalam jumlah cukup besar agar aku tetap bisa berlibur.

Dari sanalah akhirnya aku dan Samuel berteman, ngobrol via WA atau telepon, dan jalan bareng. Aku sudah tau Samuel dan aku beda keyakinan. Masa’ aku nggak boleh berteman dengan orang yang beda agama? Aku lupa, manusia bukanlah robot. Perlahan tanpa disadari, aku mulai suka padanya. Dan saat Samuel “menembakku” di tengah kegiatan baksos bersama teman-temannya, aku bingung harus jawab apa? Semua temannya berteriak, “Trima… trima… trima…” Entah karena terbawa suasana, entah tidak tega menolak Samuel di depan temannya, atau memang rasa cintaku yang besar, aku menerimanya meski perbedaan keyakinan akan menghadang kisah cinta kami.

Komunikasi kami terjalin lancar via WA dan telepon. Sebulan sekali kami bertemu, saat aku “mudik” ke Jakarta. LDR memang melelahkan. Aku harus pandai membagi waktu. Sabtu-Minggu saat ke Jakarta, aku harus pandai membagi waktu untuk berkumpul dengan keluarga dan kekasih hatiku, Samuel.

Samuel tau aku merasa kecewa dengan sambutan yang kuterima saat datang ke vihara. Dan, Samuel makin sering mengajakku ikut kegiatan baksos. Sesekali aku ikut baksos, tidak mungkin terus-menerus menolak. Tapi jika Samuel berpikir aku akan pindah karena kekecewaan dengan sambutan umat vihara, ia salah besar. Aku tidak akan mengganti keyakinanku pada Buddhadhamma hanya karena kurangnya sambutan.

* * * * *

Ini hari pertama aku menginjakkan kaki ke sebuah vihara sejak aku dimutasi ke Bandung. Aku tidak antusias, pasti sambutannya sama seperti di vihara lain. Perlahan aku melangkahkan kaki memasuki vihara. Masih agak sepi. Tiba-tiba ada suara wanita yang menyapa dengan ramah, “Selamat pagi… Namo Buddhaya…” “Namo Buddhaya…” aku anjali menjawab sapaan hangat itu. Terus terang aku agak kaget mendapat sambutan yang tak terduga ini.

Kami lalu berkenalan. Aku akhirnya tau, nama beliau Ibu Lelly. Kami ngobrol cukup lama hingga lonceng tanda pujabakti dimulai. Di vihara ini aku mendapat sambutan ramah dari seorang ibu pandita, Ibu Lelly.

Minggu-minggu selanjutnya aku jadi bersemangat tiap menjelang hari Minggu. Aku jadi betah berlama-lama di vihara. Kalau dulu, setelah pujabakti aku ingin bergegas pulang. Sekarang, aku jadi tak sabar ingin cepat hari Minggu, ikut pujabakti, bertemu Ibu Lelly, ngobrol dengan beliau dan membantu apa yang bisa aku kerjakan di vihara.

* * * * *

“Sherly, mungkinkah nanti kita bersatu dalam satu keyakinan?” begitu bunyi WA dari Samuel. Duh, itu lagi yang ditanya. Aku malas membahas topik ini. Aku tidak sampai hati untuk mengatakan bahwa aku tak mungkin pindah. Aku menunggu momen yang tepat untuk mengatakannya. Aku dapat memaklumi gencarnya Samuel menanyakan hal itu. Ortunya sudah sering bertanya, apakah kami akan menikah. Jika tidak, Samuel diminta segera mencari yang lain, ortunya sudah ingin menimang cucu.

Lampu di smartphone-ku menyala lagi, tanda ada pesan masuk. “Sabbe sankhara anicca. Ibu Lelly meninggal dunia pukul 22.10,” begitu WA yang kuterima dari salah satu pengurus vihara.

Air mataku mengalir deras. Minggu kemarin kami masih ngobrol. Memang sih beliau kurang sehat, beliau mengeluh kurang nafsu makan. Tak pernah terlintas di benakku beliau akan pergi secepat ini.

Lampu smartphone-ku kembali menyala. WA dari Samuel lagi. “Sherly, tolong jawab pertanyaanku…” Aku menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. Inilah waktu yang tepat, pikirku. “Samuel, aku berat untuk mengatakannya. Tapi, demi kebaikan bersama, aku harus memutuskan. Aku tidak mungkin pindah. Sebaiknya kita berpisah saja, semoga kamu mendapatkan calon pendamping yang satu keyakinan. Salam, Sherly.

Sekarang atau nanti, keputusanku tetap sama, aku tak mungkin pindah, batinku. Begitulah di dunia ini, tak ada yang abadi. Dan kini aku mengalami kebenaran  Dhamma tentang dukkha yang dibabarkan Buddha. Berkumpul dengan yang dibenci atau berpisah dengan yang dicintai adalah dukkha.

Catatan:

Mengenang 10 tahun kepergian Ibu Elly Herliana Lidosurya (Elly Badrawati). 29 Nov 2008 – 29 Nov 2018. Semoga berkat jasa baik beliau, beliau terlahir di alam bahagia, senantiasa menempuh jalan Dhamma hingga tercapainya Nibbana.

Hendry F. Jan

Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *