
Guru Atisha adalah seorang pandita agung yang sangat tersohor di zamannya. Selain memiliki kualitas batin dan pengetahuan yang sangat tinggi, Beliau juga dikenal karena merupakan murid utama dari seorang guru besar dari Indonesia yaitu Guru Swarnadwipa Dharmakirti. Jadi, Indonesia memiliki koneksi yang kuat dengan Guru Atisha. Guru Atisha juga menjadi salah satu figur terkemuka di dunia Buddhis karena aktivitas beliau yang bisa memurnikan kembali Buddhis di seluruh India dan di Tibet.
Tanda kemerosotan Buddhadharma: pertentangan Sutra dan Tantra
Ketika Guru Atisha datang ke Tibet, ajaran Buddha di Tibet sedang mengalami kemerosotan. Secara umum orang-orang beranggapan bahwa ajaran Sutra dan Tantra bertentangan seperti halnya panas dan dingin. Orang-orang yang praktik Tantra merendahkan praktisi Sutra. Sebaliknya, praktisi Sutra merendahkan praktisi Tantra. Sejumlah pandit palsu, yang datang dari India untuk mencari emas menipu orang-orang Tibet dengan erotisme dan ilmu hitam. Keadaan ini menyulitkan ajaran Sang Penakluk untuk berkembang. Orang-orang mengikuti praktik apa pun yang mereka suka. Praktik-praktik menyimpang seperti ritual seks sampai pembunuhan menyebar luas.
Jadi, ada dua ciri kemerosotan Buddhadharma yaitu:
1. Umat Buddha terpecah belah, aliran yang satu menganggap aliran yang lain salah dan sebaliknya,
2. Praktik-praktik yang menyimpang tersebar, sila atau moralitas dikesampingkan demi praktik-praktik yang dianggap lebih tinggi.
Sebagai seorang Buddhis yang tinggal di Indonesia, apakah Anda merasa Buddhis di Indonesia mengarah pada dua ciri di atas? Ya atau tidak tidaklah penting, yang penting ialah bagaimana cara melawan arus kemerosotan ini supaya praktik Dharma kita tidak salah arah. Maka dari itu, mari kita pelajari apa yang dilakukan Guru Atisha bisa memurnikan kembali Buddhis di India dan Tibet.
Bagaimana Guru Atisha mengembalikan Buddhadharma ke jalan yang benar di India dan Tibet?
1. Guru Karma dan Trisarana
Guru Atisha diundang ke Tibet oleh Raja Tibet yang bernama Jangchub-Wo. Raja bersama sekumpulan biksu dan cendekiawan Tibet datang dari India untuk menemui Guru Atisha. Dengan hormat dan penuh kerendahan hati, Sang Raja mengajukan permohonan sebagai berikut:
“Kami tidak menginginkan pengajaran yang begitu luas dan mendalam sehingga kami takkan mampu melaksanakannya, Yang kami butuhkan adalah sesuatu yang dapat menjinakkan batin kami dan membuat kami mampu menaklukkan perilaku harian (karma) kami yang selalu didorong (oleh klesha) dan akibat-akibatnya. Tolong ajarkan kami hal-hal yang Anda sendiri melaksanakannya.”
Permohonan Raja Jangchub-Wo ini menyenangkan Guru Atisha karena Sang Raja tidak meminta abhiseka tingkat tinggi untuk memasuki sistem tantra tertentu atau latihan-latihan tertentu yang dapat mendatangkan kekuatan gaib. Sebaliknya, mereka memohon ajaran untuk menaklukkan batin mereka, ajaran yang dapat mereka praktikkan sehari-hari.
Selama di Tibet, Guru Atisha senantiasa mengajarkan 2 topik, yaitu Karma dan Trisarana. Beliau pun tersohor di seluruh TIbet dengan julukan “Guru Agung perihal Perlindungan (Tisarana)” dan “Guru Agung perihal Karma dan Akibatnya”. Dua topik ini merupakan fondasi yang amat penting dalam Buddhadharma. Bagaimanapun juga, tanpa keyakinan kuat dan pemahaman mendalam mengenai topik tersebut, tidaklah mungkin kita bisa merealisasikan ajaran lain seperti Empat Kebenaran Mulia, Pratityasamutpada, Bodhicita, apalagi mempraktikkan Tantra.
Apa yang bisa kita petik? Clue dari Guru Atisha sudah sangat jelas, bahwa percuma mempraktikkan Tantra atau belajar topik-topik sulit seperti kesunyataan, Bodhicita, dan sebagainya jika fondasi Buddhadharma kita lemah. Artinya kita harus mulai membina diri dari hal-hal yang fundamental, yaitu membangkitkan keyakinan terhadap Triratna dan hukum Karma, menghindari perbuatan jahat, dan memperbanyak berbuat kebajikan.
2. Mengajarkan Dharma yang bertahap dan menyeluruh
Ajaran yang diberikan Guru Atisha selama 3 tahun di daerah Ngari di Tibet dikumpulkan menjadi sebuah kitab berjudul “Bodhipatapradipa” atau “Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan”. Kitab ini singkat, hanya sebanyak 3 lembar kertas yang digunakan pada zaman itu. Namun, isinya merangkum keseluruhan ajaran Buddha yang telah disusun berdasarkan urutan praktik.
Dalam Bodhipatapradipa, topik-topik ajaran Buddha disusun sedemikian rupa, diawali dengan bab-bab pendahuluan yang membangkitkan rasa hormat terhadap guru dan ajaran Dharma, cara belajar dan mengajarkan Dharma, hal-hal yang membakar semangat kita untuk menjadi bajik dan mempraktikkan Dharma. Kemudian, Guru Atisha menjelaskan topik-topik mendasar seperti Trisarana, Karma, lalu meningkat ke bahasan-bahasan mendalam yang ada di Abhidharma, pembahasan Empat Kebenaran Mulia, tiga latihan tingkat tinggi, Bodhicitta dan praktik Bodhisattwa, sampai ke penjelasan mengenai Tantra. Urutan penyajian topik ini disusun sesuai dengan urutan praktik yang perlu dilatih oleh siapa pun yang ingin mempraktikkan Dharma. Tahapan yang satu tidak mungkin direalisasikan tanpa merealisasikan tahapan sebelumnya.
Baca juga: Mengapa Atisha Berguru pada Serlingpa di Nusantara?
Cara belajar Dharma yang bertahap dan menyeluruh ini mengatasi pandangan salah mengenai Sutra dan Tantra yang pada masa itu dianggap bertentangan. Dari Bodhipatapradipa karya Guru Atisha ini, jelaslah bahwa Tantra merupakan praktik yang baru bisa dilatih setelah seorang praktisi menguasai Sutra. Guru Atisha sendiri lebih banyak mengajar tentang Karma dan Trisarana dibanding memberikan inisiasi-inisiasi Tantra karena seseorang baru bisa mempraktikkan Tantra jika dan hanya jika mereka bertumpu pada Triratna, hukum Karma, menjaga sila yang murni, memiliki Bodhicitta, dan sebagainya.
Rangkuman ajaran Buddha yang lengkap dan bertahap dalam Bodhipatapradipa membuat praktik Dharma jauh lebih mudah sehingga diwariskan turun-temurun dan menjadi panduan bagi guru-guru besar di masa mendatang untuk mengulas dan mengajarkannya kembali sesuai dengan kondisi masyarakat di zamannya. Ulasan-ulasan Bodhipatapradipa ini kini dikenal dengan istilah “Lamrim” atau “Tahapan Jalan Menuju Pencerahan” dan masih dipelajari hingga sekarang. Struktur Lamrim ini juga akan membantu kita menerapkan ajaran Dharma dari berbagai guru maupun aliran yang kita temui dalam praktik kita sehari-hari.
Apa yang bisa kita petik? Pesannya amat sederhana. Mana mungkin anak yang belum bisa membaca bisa langsung masuk SMA? Begitu juga dengan belajar Dharma, kita harus berlatih secara bertahap. Jangan harap bisa meditasi sampai mencapai Nirwana kalau tidak punya keyakinan pada Triratna. Praktik Tantra yang tinggi dengan motivasi mencapai kesaktian dan mengabaikan sila juga hanya akan membuat kita jatuh ke neraka. Pelajari, renungkan, dan meditasikan semua ajaran Buddha satu demi satu hingga kita secara alami menjadi pribadi yang baik dan pelan-pelan melepaskan kotoran batin hingga mencapai kesempurnaan seperti Buddha sendiri.
3. Sikap non sektarian
Pada saat itu terdapat 18 sekolah Buddhis yang ada di India, 18 sekolah ini didasarkan 4 prinsip ajaran yang menjadi filosofi dasar yaitu Madhyamaka, Yogacara, Vaibhasika, dan Sautrantika. Guru Atisha saat itu amat dihormati dan dipercaya sebagai sumber ajaran yang terunggul tapi Beliau tak pernah sekalipun menyatakan “Aliran saya lebih unggul dari Anda” ataupun “Saya berada di aliran ini, jadi saya lebih baik”.
Di Indonesia, kita akrab dengan 3 aliran Buddhadharma, yaitu Theravada, Mahayana, dan Tantrayana. Jika kita melihat isi “Bodhipatapradipa” karya Guru Atisha, kita akan melihat bahwa semua ajaran dalam ketiga aliran tersebut ada, bebas dari pertentangan, dan membentuk sebuah urutan praktik Dharma yang sempurna dan dapat mengantarkan kita mencapai semua tujuan, baik untuk kebahagiaan di kehidupan mendatang, pembebasan dari samsara, maupun pencapaian Kebuddhaan demi membebaskan semua makhluk.
Apa yang bisa kita petik? Seharusnya kita juga menerapkan hal ini pada semua aliran Buddhadharma (yang sahih tentunya), yaitu tidak menganggap kita sendiri yang benar, aliran lain salah. Kita harus ingat bahwa Buddha mengajar sesuai dengan bebagai jenis pendengarnya. Jangan sampai kita berpikiran sempit dan bikin konflik dan menyebabkan Buddhadharma makin merosot.