Oleh: Silvi Wilanda
Avatar: The Last Airbender (ATLA) merupakan salah satu animasi yang mengambil banyak sekali tradisi dan kebudayaan dari Asia dan juga bangsa pribumi Amerika. Secara umum, animasi ini menceritakan bagaimana tokoh avatar yang bernama Aang berjuang untuk menguasai empat elemen (api, air, bumi, dan udara) serta menjaga keseimbangan dari empat bangsa (Negara Api, Suku Air, Kerajaan Bumi, dan Pengembara Udara).
Istilah ‘avatar’ sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya ‘penurunan’. Istilah ini pada awalnya digunakan dalam literatur Hindu untuk merujuk pada inkarnasi Dewa Wisnu seperti Rama dan Krishna. Di dalam semesta Avatar, sosok Avatar sendiri merupakan reinkarnasi dari avatar-avatar sebelumnya. Hal ini lebih dijelaskan dalam sequel ATLA, yakni The Legend of Korra (TLOK) yang mengisahkan mengenai avatar pertama bernama Wan dan bagaimana ia bisa mengendalikan empat elemen sedangkan orang lain hanya mampu mengendalikan satu elemen saja. Dengan demikian, baik itu avatar Aang, avatar Korra, atau avatar-avatar lain yang ada di semesta animasi ini merupakan ‘penurunan’ atau reinkarnasi dari Wan.
Masyarakat Tibet yang merupakan salah satu sumber inspirasi dari Bangsa Pengembara Udara di animasi ini juga mengenal konsep yang mirip dengan avatar, yakni tulku. Masyarakat Tibet yang sangat kuat menjunjung tinggi ajaran Buddha mempercayai bahwa banyak Guru besar Buddhis yang telah tercerahkan kembali lagi terlahir menjadi manusia untuk mengajar dan menolong lebih banyak orang. Hal ini bisa terjadi karena tingginya praktik yang mereka latih sehingga membuat mereka dapat mengendalikan arus karma saat kematian dan bisa memilih untuk dilahirkan di mana. Sama seperti avatar dalam animasi, para tulku ini juga harus belajar kembali mengenai berbagai ajaran yang sebelumnya telah dipelajari dan dikuasai.Kepercayaan mengenai tulku ini menghasilkan berbagai institusi ketulkuan seperti Dalai Lama, Karmapa, Situpa, Thrungpa, Panchen Lama, dan masih banyak lagi. Setidaknya terdapat 500 institusi ketulkuan yang ada. Sekalipun mereka dipercayai sebagai makhluk yang tercerahkan, namun mereka tidak henti-hentinya terlahir kembali sebagai manusia untuk mengajar Dharma. Bahkan, para murid dari tulku-tulku tersebut juga senantiasa berharap agar Guru mereka tidak memasuki nirvana dan tetap bersedia mengajar para makhluk di samsara.
Di Nusantara sendiri, konsep mengenai avatar atau tulku masih terekam jelas dalam konsep ‘nitis’ atau ‘titisan’. Istilah ini sendiri berasal dari kata ‘titis’ yang merujuk pada tetesan air yang turun membasahi sesuatu yang ada di bawah. Di zaman dulu, banyak raja di Nusantara juga dianggap sebagai titisan dari dewa tertentu. Sebagai contoh, dalam prasasti Hantang, Raja Jayabaya dari Kerajaan Kediri yang dianggap titisan Dewa Wisnu (Madhusudanāwatārā). Sampai saat ini pun kita juga masih sering mendengar ungkapan bahwa seseorang itu adalah ‘titisan’ kakek-neneknya. Hal ini menyiratkan bahwa masyarakat Nusantara tidaklah asing dengan konsep ‘penurunan’, baik dari dewa atau dari leluhur. Bahkan, melebihi penurunan dewa atau leluhur, Nusantara juga tercatat memiliki hubungan penurunan dengan salah satu Guru terkemuka dari Tibet, yaitu Guru Dagpo Rinpoche. Guru ini diyakini memiliki riwayat penurunan dari berbagai Guru agung Buddhis terdahulu, mulai dari Bodhisattva Sadaprarudita, Wirupa, Gunaprabha, Marpa Sang Penerjemah, Londroel Rinpoche, Suwarnadwipa Dharmakirti, hingga Dagpo Lama Rinpoche Jampel Lhundrup. Yang paling menarik dan berkaitan dengan Nusantara adalah kelahiran lampau Dagpo Rinpoche dalam sosok Guru Suwarnadwipa Dharmakirti. Guru yang berasal dari Nusantara pada zaman Sriwijaya ini terkenal akan realisasi Dharmanya yang luar biasa, khususnya beliau merupakan pemegang silsilah ajaran Bodhicitta. Bodhicitta artinya batin pencerahan, batin yang beraspirasi untuk mencapai Kebuddhaan demi semua makhluk. Inilah inti dari ajaran Mahayana. Kemasyhuran Guru Guru Dagpo Rinpoche bahkan tersebar jauh ke India, Cina, serta Tibet. Banyak Guru besar dan cendekiawan agung yang datang ke Sriwijaya kala itu untuk belajar dari Guru Suwarnadwipa, salah satunya adalah Guru Atisha Dipamkara Srijnana. Melalui Guru Suwarnadwipa, Guru Atisha mewarisi ajaran lengkap mengenai Bodhicitta. Setelah belajar di Indonesia, Guru Atisha kemudian menyusun teks Bodhipathapradīpa (Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan) yang diajarkan dan berkembang di Tibet. Kelak, teks ini juga yang menginspirasi Je Tsongkhapa menyusun Jalan Bertahap Menuju Pencerahan (Lamrim), teks yang sangat berpengaruh bagi para cendekiawan Buddhis. Untuk itu, Guru Suwarnadwipa ini sangat dihormati di Tibet dan India. Sebagai orang Indonesia, saya merasa bangga karena ada satu Guru termasyhur Nusantara yang terkenal dan diagung-agungkan di Tibet dan India. Indonesia dipandang berbeda oleh banyak orang berkat Guru agung ini.=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara