Bangga? Bangga menjadi umat Buddha? Hahaha…
Pertanyaan yang gampang dilontarkan, tapi menjawabnya cukup membuat garuk-garuk kepala dan cengar-cengir kebingungan.
Apa sih yang dapat dibanggakan dengan menjadi umat Buddha?
Ajarannya universal? Hahaha… Standar!
DhammaNya masuk di logika? Yah… Klise!
Atau, ajarannya dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari? Huh! Jawaban yang membosankan.
Jika saya yang ditanya, maka saya akan menjawab, “Tidak ada.” Tidak ada? Ya! Tidak ada. Masa sih?! Di era socmed ini, dengan begitu banyaknya kutipan-kutipan penuh inspirasi, motivasi dan membangkitkan semangat atau istilah kerennya ‘Life Quotes’ yang mengatasnamakan Buddha, murid dan ajaranNya, masa sih menemukan satu saja hal yang dapat dibanggakan, begitu sulit? Hmm…
Beliau memiliki riwayat hidup yang jelas; silsilah yang jelas, siapa ibu dan ayahNya, siapa istri, anak, dan saudaraNya; kelahiran, saat, dan akhir hidup yang juga sama jelasnya? Well.. Tidak ada yang dapat dibanggakan dari hal itu.
Lalu dikatakan bahwa Beliau selalu mengatakan apa yang dilakukan, dan melakukan apa yang dikatakan. Istilah kerennya ‘I do what I say, and I say what I do’. Ketika Beliau menyatakan anjuran untuk mencintai segala bentuk kehidupan, dan menghindari menyakiti makhluk lain; maka sebelum mengajak orang lain melakukannya, Beliau sudah terlebih dahulu melakukannya. Mempraktekkan cinta kasih nan universal yang tidak tebang-pilih kepada semua makhluk; bahkan gajah ganas Nalagiri dan Angulimala sang pembunuh berkalung untaian jari sekalipun, dapat tunduk karena pancaran cinta kasih yang begitu besar dari Beliau! Gak semua manusia bisa melakukan hal itu loh, tidak ada malah! Namun, Beliaulah pengecualiannya. Dapat dibanggakan? Tidak.
Bagaimana dengan mukjizat? Hampir semua agama selalu memuji dan membanggakan mukjizat yang dilakukan nabinya. Entah menyembuhkan orang sakit, memberi makan banyak orang sekaligus, atau hanya berjalan di atas air. Bagaimana dengan agama Buddha? Dikatakan Beliau memiliki banyak kekuatan adi kodrati yang disebut abhinna, sehingga dapat melakukan banyak sekali mukjizat dan keajaiban. Bahkan ada satu mukjizat yang dikatakan hanya dapat dilakukan oleh seorang Sammasambuddha (Yamakapatihariya, alias keajaiban kembar. Dimana Beliau memancarkan nyala api dan semburan air dari pori-pori di seluruh tubuh Beliau, sungguh luar biasa!); terbang, berjalan di atas air, hingga memperbanyak diri? Sudah menjadi hal lumrah yang biasa disebut dalam banyak literatur-literatur Buddhisme, bahkan semua kemampuan adi-duniawi tadi disebut hanya sekedar efek samping dari meditasi, bukan tujuan utama, tidak istimewa. Dapatkah ini dibanggakan? Tentunya, tidak juga.
Baiklah, bagaimana kalau kita bicara mengenai surga, neraka dan kehidupan setelah kematian? Buddhisme mengenal 31 alam kehidupan dengan 26 tingkatan surganya. Dua puluh enam? Ya dua puluh enam! Bukan hanya satu. Dari yang bahagia, penuh bahagia, hingga yang sangaaaat penuh bahagia. Sangat adil bukan? Jika seseorang mengorbankan hartanya demi memberi makan makhluk lain, dibandingkan dengan seseorang yang mengorbankan nyawanya untuk makhluk lain; sudah tentu ada perbedaan kualitas perbuatan baik yang telah dilakukan. Maka dalam ajaran Buddha, ganjaran surga, tidak hanya satu, tapi dua puluh enam tingkatan, sesuai besar-kecil, berat-ringan perbuatan baik. Begitupun sebaliknya dengan neraka. Dikatakan ada delapan belas tingkatan neraka. Dari yang penuh derita, amat menderita, hingga yang teramaaat sangat menderita, penuh siksaan api. Dikenal dengan nama Avici Niraya. Sangat adil? Ya! Membanggakan? Tidak.
Hmm… Murid? Bagaimana dengan murid-muridNya? Di semua ajaran lain, semua memiliki murid kesayangan dari guru atau nabinya. Yang bahkan kemasyhurannya menandingi Sang Guru itu sendiri. Ya, jelas Buddha memiliki banyak murid termasyhur yang tidak hanya berhasil menapaki jalan yang telah Beliau tunjukkan, namun juga –berhasil mencapai kebebasan dan keadaan tercerahkan yang sama– yang berhasil diraihNya. Mencapai nibbana/pencerahan sempurna yang sama! Sama-sama terbebaskan dari samsara, tidak terlahirkan kembali. Hanya prosesnya yang membedakan. Jika Beliau meraih pencerahanNya dengan usaha sendiri, maka murid-muridNya meraih pencerahan tentu dengan bimbingan Beliau.
Dengan kesemua hal di atas, ditambah banyak keunggulan-keunggulan lain (coba saja tanya mbah gugel ‘keunggulan ajaran Buddha.’ Hasilnya? Buanyak!) Bangga? Bisa jadi. Namun, tetap saja, pada hakekatnya masih tidak ada yang dapat dibanggakan dengan menjadi umat Buddha. Karena Buddha nan agung sendiri pun mengatakan, “Jangan melekat, segala yang berkondisi adalah tidak kekal adanya (Sabbe Sankhara Anicca).” Bahkan kemukjizatan, kemampuan batin, ketenaran dan kemasyhuran Beliau sekalipun tidaklah kekal adanya.
Jika demikian, apa yang dapat dibanggakan? Apa yang benar-benar dapat dipertahankan?
Selagi guru-guru, nabi dan pemuka ajaran lain berlomba-lomba mencari kemashyuran dan mempertontonkan keunggulan ajarannya, berlomba mencari pengikut, Guru yang satu ini malah berkata:
“Jangan asal percaya. Bahkan kepadaKu. Jangan percaya segala sesuatu hanya karena Anda pernah mendengarnya, karena telah dibicarakan orang banyak, telah diajarkan oleh sesepuh atau guru Anda. Atau karena ini adalah tradisi yang telah berlangsung secara turun-temurun, namun setelah Anda menerima dan menganalisa bahwa segala sesuatu itu adalah masuk akal dan kondusif serta baik dan bermanfaat untuk diri sendiri dan orang banyak maka terimalah dan praktekkan dalam kehidupan Anda.”
Jadi apa yang dibanggakan?
Jika memang benar ada yang benar-benar dapat dibanggakan, mungkin tak lain adalah ketidak-banggaan itu sendiri.
Seperti hukum anicca yang bersifat paradoks, “Tidak ada yang kekal abadi, selain hukum ketidakkekalan itu sendiri.” Maka, mungkin yang paling dapat dibanggakan dari menjadi seorang umat Buddha adalah sikap ‘Tidak ada yang dapat dibanggakan’ itu sendiri. Karena inilah yang membedakan ajaran Buddha dengan ajaran lain. Ajaran yang membawa pada jalan kesucian, tidak melekat dan melepaskan semua ikatan apa pun, termasuk kebanggaan.
I’m a Buddhist, and I’m proud of nothing.
*) Artikel ini adalah juara harapan Lomba Menulis Artikel “Bangga Menjadi Umat Buddha”
yang diselenggarakan oleh BuddhaZine
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara