Mengapa disebut Buddhis? Mengapa disebut beragama Buddha? Tanya salah satu dosen pada mahasiswanya.
Dimulai dari pertanyaan inilah saya merasa bingung. Apakah karena warisan dari orangtua, saya disebut Buddhis? Ataukah karena saya bergaul dengan orang Buddhis dan mengikuti perilaku mereka kemudian saya disebut Buddhis? Atau karena saya rajin ke wihara, sehingga disebut Buddhis?
Apa itu Buddhis?
Banyak orang memaknai agama Buddha, Buddhis, dan Buddhisme adalah satu makna. Sebenarnya, ketiga kata tersebut memiliki makna yang berbeda. Agama Buddha mulanya bukanlah sebuah agama pada periode ancient Buddhism (Buddhisme awal). Istilah agama Buddha ada saat periode later Buddhism (Buddhisme akhir).
Buddhis adalah orang yang menganut Buddhisme. Seperti dengan menjalankan lima sila, meditasi, mempercayai adanya hukum alam, dan mempercayai kelahiran kembali.
Buddhisme sendiri adalah paham Buddhis yang dikembangkan oleh Siddharta Gautama. Di mana ajaran tersebut berisi tentang pembebasan diri dari penderitaan dan peningkatan moral pribadi. Seiring berjalannya waktu, ajaran Siddharta disebut sebagai agama Buddha.
Adakah syarat suatu ajaran disebut sebagai agama?
Terdapat lima syarat suatu ajaran disebut sebagai agama.
Pertama, adanya masyarakat. Mulanya agama terbentuk karena kesamaan cara berpikir masyarakat pada suatu daerah. Kesamaan berpikir ini biasanya berasal dari tingkah laku yang sama antar masyarakat. Misal ketika suatu kelompok masyarakat melalukan ritual untuk berterima kasih kepada alam karena telah memberi kehidupan bagi mereka.
Kedua, adanya aturan. Karena telah terbentuk persamaan pikiran, maka dibentuk pula aturan-aturan agar dianut dan tidak dilanggar oleh masyarakat tersebut. Aturan dibentuk dengan tujuan adanya batasan-batasan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Apabila ada seseorang yang melanggar, biasanya diberi timbal balik sesuai kesepakatan awal sejak dibentuknya aturan.
Ketiga, terdapat kepercayaan dalam diri masyarakat terhadap ajaran yang dianut. Kepercayaan ini dapat muncul karena rasa percaya diri dari masyarakat terhadap apa yang dilakukan. misal, alam memberi kehidupan bagi manusia, dan manusianya memberi puja kepada alam. Secara tidak langsung, adanya situasi yang disebut “kebetulan”, di mana manusia memberi sesembahan dan alam memberi timbal balik seperti hujan dan panen melimpah.
Keempat, tradisi untuk menghormati leluhur maupun pemimpin. Biasanya dengan sembahyang maupun ritual lainnya. Ritual untuk menghormati dilakukan dengan memberi sesajian sesuai kesepakatan masyarakat.
Kelima, kosmologi, sebagai akibat atau hasil yang diperoleh apabila melakukan atau tidak melakukan ajaran yang dianut. Ada kepercayaan dari masyarakat apabila berbuat baik akan mendapat hasil yang baik
Dengan lima syarat tersebut, suatu ajaran dapat disebut “agama”. Namun, apabila suatu ajaran tidak memenuhi lima syarat itu, dapat dikatakan sebagai kepercayaan saja.
Jadi, apa itu agama?
Banyak orang mempertanyakan apa itu agama. Apakah pemberian Sang Pencipta? Apakah dibuat-buat? Ataukah karena memang itulah agama tanpa diciptakan?
Apabila kita mempelajari tujuh teori agama dari para filsuf dan sarjana. Kita akan memahami asal-usul agama itu ada. Dimulai dari teori animisme yang dikemukakan oleh Edward Burnet Tylor dan James George Frazer. Dahulunya masyarakat primitif dianggap mampu menalar hal sederhana tentang kehidupan dan kematian. Kemudian berlanjut dengan anggapan bahwa ‘roh’ adalah sesuatu yang halus dan mendiami alam sekitar.
Lalu, teori Agama dan Kepribadian oleh Sigmund Freud, teori Kesakralan dan Masyarakat oleh Emile Durkheim, teori Agama sebagai Bentuk Alienasi oleh Karl Marx, teori Hakikat dari yang Sakral oleh Mircea Eliade, teori Konstruksi Hati Masyarakat oleh E. Evans Pritchard, dan teori Agama sebagai Sistem Kebudayaan oleh Clifford Geertz.
Pada akhirnya, suatu agama ada karena konstruksi dari pikiran masyarakat. Masyarakat yang memiliki kesamaan berpikir dalam suatu daerah, kesamaan melakukan suatu ritual sehingga muncul pengakuan yang disebut “agama”. Setelah adanya “agama”, kemudian masyarakat berpikir agar “agama” tersebut dapat lestari. Maka, sesuai kesepakatan dari masyarakat yang memiliki agama tersebut untuk menyebarkannya.
Lalu, mengapa Saya disebut Buddhis?
Apakah saya menjadi Buddhis karena bawaan lahir? Kalau boleh jujur, saya tidak Buddhis sejak lahir, sekitar kelas IV Sekolah Dasar baru masuk Buddhis dan ketika masuk kuliah baru mengenal Buddhis lebih mendalam. Lalu, bagaimana dengan Anda?
Banyak orang menjadi Buddhis karena bawaan lahir alias turun-temurun dari orangtua. Ada juga karena pilihan hidup kemudian memilih menjadi Buddhis. Adapula yang memilih agama Buddha karena kebetulan saat hujan berteduh di wihara.
Lantas, mengapa kita disebut beragama Buddha? Apa karena berbuat baik? Suka berdana? Tidak membunuh? Kalau kita beragama Buddha karena hal tersebut, jadi apa bedanya kita dengan agama lain? Padahal itu semua juga diajarkan dalam kepercayaan lainnya.
Yang perlu digaris bawahi, kita disebut Buddhis karena mempraktikkan ajaran Buddha. Bukan sekadar berdana maupun pergi ke wihara. Namun, kita benar-benar memahami ajaran Buddha yakni Dhamma. Dhamma, ajaran universal dari Buddha, diperuntukkan kepada semua makhluk. Berbuat baik yang pantas dilakukan disertai tujuan yang jelas adalah ajaran Buddha. Berbuat baik dengan tidak pamrih, selalu waspada, penuh perhatian dengan segala hal yang dipikirkan maupun diucapkan, dan menemukan kebenaran melalui diri sendiri, bukan dari orang lain.
Junarsih
Bahagia dengan alam, terutama gunung. Tinggal di Temanggung, Jawa Tengah.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara