• Saturday, 16 February 2019
  • Hendry F. Jan
  • 0

Cerpen Buddhis

“Nak…, ibu minta kamu bantu-bantu keuangan keluarga ya Nak?” kata ibu dengan wajah sedih. Sebagai anak tertua, Puji hanya bisa mengangguk pasrah, tapi Puji tidak menampakkan raut wajah sedih. Ia tak ingin membuat ibunya bersedih. Beban ibu sebagai single parent sudah cukup berat.

Puji adalah anak tertua dan anak perempuan satu-satunya. Puji memiliki 3 adik laki-laki, satu baru akan masuk SMP, dua lagi masih di SD. Praktis sejak ayahnya meninggal tahun lalu, Puji harus bekerja membantu ibunya.

Puji tau, ibunya pasti sangat terpaksa mengatakan hal itu. Puji tau, ibunya sangat mendukung keinginan untuk kuliah agar masa depan keluarga ini lebih baik.

Puji sudah melakukan banyak usaha untuk mewujudkan cita-citanya. Saat teman seusianya punya waktu bermain dan berkumpul bersama. Puji lebih memilih belajar dan membantu ayah dan ibunya. Puji tekun belajar, dan  hasilnya, ia selalu masuk jajaran 3 besar di kelasnya.

Dengan nilai bagus, ia berharap dapat beasiswa ke perguruan tinggi negeri. Ia juga akan kuliah sambil bekerja. Mungkin memberikan les privat atau berjualan. Ia ingin mendapat pekerjaan dengan gaji tinggi, bisa membantu ayah dan ibu, juga membiayai adiknya hingga kuliah.

Sejak ayahnya meninggal setahun lalu, Puji harus mengubur mimpinya untuk kuliah. Yang ada di benaknya adalah bekerja, ia ingin membantu keuangan keluarga.

* * * * *

“Puji, ada lowongan kerja. Kamu mau nggak?” tawar Mediana, seorang teman sekolahnya. “Tapi kerjanya bukan kantoran. Kerja mirip dengan kerjaan waiter di rumah makan. Eh… kayak pelayan restoran gitu,” kata temannya.

“Mau…” kata Puji antusias. Tidak peduli apa kata teman-temannya nanti. Tamat SMA kok cuma kerja jadi pelayan restoran. Sudah tiga bulan sejak tamat SMA Puji menganggur. Sebenarnya tidak benar-benar menganggur, Puji selalu membantu ibunya berjualan aneka jajanan di rumah.

Sudah banyak surat lamaran yang ia kirim. Sudah beberapa kali ikut wawancara, tapi belum ada panggilan kerja. Pernah ada perusahaan menerimanya, jika ia bersedia ditempatkan di luar kota yang cukup jauh. Ia tak tega meninggalkan ibunya.

Tawaran dari Mediana ini langsung diterimanya. Biarlah bukan kerja kantoran, yang terpenting dapat penghasilan dan tidak jauh dari ibunya.

* * * * *

Puji dan calon karyawan lain, termasuk Mediana dikumpulkan di satu ruangan. Seorang pria, mungkin pimpinan para pelayan di situ yang memberikan penjelasan tentang tata cara kerja di sana. Apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan pelayan, jam kerja, dan gaji yang akan diterima per bulannya.

Penjelasan tentang tata cara kerja di pujasera itu berlangsung singkat. Edi, sang pimpinan pelayan menyudahi penjelasan singkatnya. “Kalau tidak ada yang bertanya, pertemuan kita hari ini cukup sampai di sini. Saya masih harus membenahi meja, kursi, dan berbicara dengan para pedagang yang menjual makanan di sini. Besok kalian semua sudah mulai bekerja. Datang pukul 17.00, bersiap-siap, pukul 17.30 pujasera ini dibuka. Mengerti?” tanya Edi.

“Mengerti…” serentak teriak para pelayan, yang kesemuanya adalah remaja perempuan. Rata-rata penampilannya menarik, wajahnya cantik, dan postur tubuhnya tinggi.

* * * * *

Hari ini hari pertama Puji dan teman-temannya bekerja. Saat itulah Puji baru merasakan ada hal yang salah. Pujasera tempatnya bekerja memang banyak stan yang berjualan makanan. Ada bakso, mie ayam, gado-gado, pempek, dan aneka minuman seperti es jeruk, es buah, kopi, susu, es teh manis, dan lain-lain.

Tapi semua ini ternyata hanya usaha sampingan. Yang jadi usaha pokoknya adalah karaoke yang berbau judi. Di ruangan besar pujasera itu banyak meja dan kursi seperti halnya pusat jajanan serbaada lainnya. Ada sebuah TV berukuran besar memutarkan aneka lagu-lagu karaoke. Pengunjung boleh bernyanyi dan meminta diputarkan lagu yang ingin dinyanyikan.

Selama lagu diputar, para tamu memilih akan beli nomor berapa, pelayan mengantarkan ke kasir, lalu pelayan kembali ke meja, lagu disetop.

Kemudian ada pengundian, nomor yang keluar, itu yang mendapat bayaran. Setelah itu TV menayangkan lagu-lagu karaoke lagi. Di sela-sela pengundian, para tamu bisa memesan makanan.

* * * * *

Awal bekerja di pujasera, batin Puji tidak tenang. Ada dilema, antara berhenti bekerja atau tetap bekerja. Ia merasa bukan bekerja di tempat yang baik. Setelah berpikir cukup lama, menimbang berbagai kemungkinan, dan curhat dengan seorang sahabatnya, akhirnya Puji tetap bekerja di sana.

Tidak mudah mencari kerja di tempat lain, tapi Puji tetap berusaha mencari info lowongan kerja dari temannya. Ibu yang sakit-sakitan, tiga adiknya yang butuh biaya sekolah, itu yang membuat Puji bertahan.

Nasihat sahabatnya yang menguatkan. “Hidup memang tidak mudah. Apa yang kita harapkan, kadang tidak terjadi. Apa yang tidak kita inginkan, justru itu yang harus kita hadapi. Sementara ini, kerja yang kamu dapatkan hanya di sana, bekerjalah dulu sambil mencari peluang lain. Bersikaplah seperti teratai, meski tumbuh di tempat berlumpur, bunganya tetap bersih, tak ternoda,” nasihat Meilani, sahabatnya.

Puji memang menjaga sikap dan mengikuti nasihat sahabatnya itu. Adalah fakta bahwa mayoritas pengunjung pujasera adalah pria. Tidak sedikit yang menggoda para pelayan. Banyak pelayan yang tidak bisa tegas saat pengunjung menggoda lewat ucapan maupun colekan tangan. Entah memang tidak bisa tegas atau memang sengaja tidak mau tegas agar mendapat tip dari pengunjung.

Satu-satunya pelayan yang tidak digoda pengunjung adalah Puji. Padahal Puji termasuk cantik, tinggi, dan manis senyumnya. Itu karena ia bisa tegas, bersikap seperti teratai. Teman-temannya diam, bahkan tersenyum saat dicolek, Puji bisa tegas mengatakan ia tidak suka. Saat teman-temannya mencoba merokok, Puji tetap pada prinsipnya, tidak merokok.

Catatan:

Inti cerpen ini terinspirasi dari kisah nyata yang dituturkan someone kepada penulis, tentu dengan pengembangan dan dramatisasi di sana sini. Kisah ini terjadi sekitar  tahun 1995.

Hendry F. Jan

Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *