• Friday, 6 December 2024
  • Surahman Ana
  • 0

Penulis: Andreian (An)

“Dahulu Bapak pernah mendengar cerita tentang seekor lalat.” Aku memulai kelas dengan sebuah cerita. “Lalat itu baru saja masuk ke dalam sebuah rumah melalui celah jendela. Kemudian dia terbang berkeliling menuju sebuah ruangan yang menarik perhatiannya. Ruangan itu adalah dapur di mana seorang anak perempuan dan ibunya tengah menumbuk padi.”

“Kalian pernah melihat penumbuk padi?”

“Pernah Pak!” Riuh suara kelas menjawab dengan antusias. Aku tersenyum, kenikmatan mengajar adalah melihat para pelajar menunjukan wajah antusias.

“Hahaha bagus! Bapak kira tidak tahu.”

“Yeee!” protes seisi kelas.

Aku bergerak ke sisi lain kelas untuk menarik fokus para siswa, sesekali kuperhatikan wajah mereka. “Hana kenapa?” batinku ketika melihat gadis itu tampak murung.

Aku mendekati bangkunya dan melanjutkan cerita. “Lalat itu terus terbang berputar hingga akhirnya hinggap di bahu si ibu. Menyadari ada lalat di bahu, ibu meminta puterinya mengusir lalat itu. Apa kalian tahu apa yang si anak lakukan untuk mengusir lalat?”

Beberapa anak mencoba menjawab, sebagian menatapku dengan wajah penasaran.

“Meniup lalat itu.”

“Mengusirnya dengan tangan.”

Aku tersenyum. “Jawaban kalian bagus, tapi kurang sesuai dengan cerita aslinya, sebab yang dilakukan anak itu adalah memukul lalat dengan penumbuk.”

“Apa?” Kelas itu gaduh dengan berbagai asumsi, sedangkan aku tertawa dibuatnya. Hanya ekspresi Hana yang akhirnya membuat tawaku berhenti secara paksa. Dia sama sekali tidak bergeming.

“Begitulah anak-anak, kita harus bijak. Terkadang cara kita menolong atau membantu justru membuat orang lain menjadi semakin kesusahan. “Sekarang tugas kalian adalah membuat sebuah cerita pendek dengan tema bebas.”

Aku tersenyum, lagi-lagi karena melihat mereka antusias. Ya, mereka semua terkecuali Hana. Kondisi gadis itu terlihat begitu buruk. Ia menunduk dengan wajah tertutup helai rambut, tubuhnya terus bergerak mengikuti irama napas tak beraturan, sedangkan jemarinya terlihat bergetar. Aku pun maju mendekatinya, aura suram terasa begitu kuat saat itu.

“Kau belum menulis apapun?”

Gadis itu tidak menjawab. Buku tulis di depannya justru mulai tertimpa rinai air mata. Ia menangis. Sebuah tangisan dalam diam yang begitu memilukan.

“Hana kenapa?” Aku bertanya dengan suara pelan. Kali ini gadis itu hanya menggeleng tanpa sedikit pun menunjukan muka maupun mengeluarkan suara.

“Hana sakit? Ayo kita ke UKS saja.” Lagi-lagi dia hanya menggeleng.

“Pak! Saya sudah selesai!” Sila berujar dengan ceria. Sejujurnya aku kaget karena sedang terpaku pada Hana.

“Bagus, tapi tenang dulu, ya. Lebih baik Sila periksa lagi sembari menunggu teman-teman selesai.” Aku tersenyum menatap teman sebangku Hana itu. Dia memang salah satu anak paling pandai di kelas.

“Pak!” Aku kembali terkejut. Kali ini Budi yang berseru dengan semangat, “Saya sudah Pak!”

“Saya juga sudah Pak!” Ananda menimpali, suasana kelas menjadi sedikit gaduh karena para siswa sahut menyahut mengabarkan tugas mereka sudah selesai.

Aku sempat tersenyum pada mereka demi menunjukan antusiasme. Kurasa tidak lebih dari senyum hambar karena suasana hati sedang diliputi rasa cemas. Sekarang ini Hana terlihat semakin tertekan mendengar teman-teman sudah selesai mengerjakan. Gerakan tangannya yang mencoba memegang pena menunjukan sebuah usaha memaksakan diri.

Kulihat Sila juga menyadari kondisi Hana. Ia mendekati Hana dan menggelus punggungnya. “Kau kenapa, Han? Sini aku bantu jika tidak bisa.”

Aku tidak segera mengambil sikap, menunggu kemungkinan yang terjadi adalah pilihan yang bijak. Sayang, Hana juga tidak menanggapi perkataan Sila. Ia mulai menulis dengan tangan bergetar dan air mata yang semakin deras, gerakan tubuhnya kian kuat karena bernapas sembari menahan isak tangis.

“Pak, Hana kenapa?” Mano yang duduk di belakang Hana berkata setengah berbisik. Aku baru sadar kegaduhan dalam kelas sudah berangsur hilang. Sebagian besar anak memperhatikan Hana. Wajah-wajah khawatir terlihat memenuhi ruang itu.

Aku tidak segera menjawab pertanyaan Mano, pandanganku kembali pada Hana. “Han.” Sekali lagi kucoba bertanya. Tiba-tiba Hana bangkit berdiri, aku mundur satu langkah karena terkejut. Hana menatapku dengan mata merah penuh air mata. Sekarang aku tahu bahwa gadis itu benar-benar dalam masalah.

“Pak.” Hana berkata lirih sebelum jatuh tak sadarkan diri.

Aku pun segera membopongnya menuju UKS diikuti anak-anak satu kelas. Suasana panik dan ribut rupanya menarik perhatian ruang kelas lain. Terdengar guru-guru mencoba menenangkan kelas mereka saat kami lewat.

“Mano, buka pintu UKS!” komandoku sambil terus berjalan.

“Sila, pastikan ada tempat untuk Hana.” Aku kembali memberi instruksi.

Beruntung saat itu UKS sedang sepi, Bu Ani yang bertugas menjaga sudah siap melakukan perawatan. Mano dan Sila juga cekatan sehingga semua berjalan dengan baik, setidaknya hingga Hana dapat berbaring di ranjang UKS.

“Tadi Hana kenapa, Pak?” Bu Ani bertanya sembari memeriksa.

Aku menghela napas. “Tadi dia terlihat murung dan terus menunduk di kelas, napasnya tidak teratur, jemarinya bergetar, dan terus menitikkan air mata. Kami tidak tahu apa penyebabnya, tetapi dia sempat mencoba mengerjakan sebelum tak sadarkan diri.”

Bu Ani masih fokus memeriksa, butuh beberapa saat sebelum dia bisa membuat diagnosa. “Pak, sebaiknya kita panggil orang tuanya.”

“Apa kondisinya seburuk itu?”

“Aku tidak bisa memastikan Pak, tetapi kurasa langkah itu yang paling bijak saat ini.”

“Memang bagaimana hasil pemeriksaanmu?”

“Peralatan terbatas, aku hanya bisa tahu jika suhu badan dan tekanan darahnya relatif normal. Namun karena itulah saya jadi takut, soalnya sudah dipastikan dia tidak pingsan karena sakit. Sepertinya dia juga tidak melakukan aktivitas berat. Jika karena sarapan kurasa ini masih cukup pagi. Terlebih jika mengingat keadaannya sebelum tak sadarkan diri, pasti ada sesuatu yang salah.”

“Baiklah jika demikian, tapi saya harus mengajak anak-anak yang kembali belajar. Tolong hubungi orang tua Hana.”

“Siap, Pak.”

Aku segera kembali ke kelas setelah membujuk anak-anak agar mempercayakan Hana pada bu Ani. Saat ini jam pelajaran masih menyisakan sekitar dua puluh lima menit, bagaimana pun keadaannya kami harus mencoba fokus belajar dan yakin Hana akan baik saja. Sesampainya di kelas aku meminta Sila untuk maju dan membacakan cerita karangannya. Aku tahu dia tidak begitu bersemangat, begitu pula Mano dan anak-anak lainnya.

“Baik, semua anak sudah maju. Cerita kalian sangat bagus, tiap anak punya ciri dan kelebihan masing-masing. Terima kasih untuk hari ini, Bapak harap kalian tetap fokus pada pelajaran berikutnya. Setelah ini matematika?”

“Benar, Pak!” jawab kelas itu serentak.

“Bapak tinggal ya, sampai jumpa.”

“Terima kasih, Pak.”

“Eh iya, Sila ambilkan buku tulis milik Hana.”

“Baik, Pak.”

Aku meninggalkan kelas itu, jadwal mengajar berikutnya masih setelah istirahat pertama. Oleh karena itu aku bisa menuju UKS untuk menanyakan kondisi Hana.

“Eh kebetulan, ini orang tua Hana sudah sampai. Saya baru akan menjemput mereka di lobi, tolong nanti temani saya menemui mereka.” kata bu Ani ketika berpapasan denganku di ambang pintu UKS.

“Baik, Bu.”

Aku memasuki ruang UKS, di dalam Hana terlihat masih terbaring memejamkan mata. Sekilas aku mengingat bagaimana ekspresi gadis itu sebelum pingsan. Rasanya aku tidak menemukan banyak yang berubah dengan kondisinya saat ini. Meski badannya terbaring dan matanya terpejam, tetapi ekspresinya menggambarkan orang yang tengah berpikir atau mengkhawatirkan sesuatu. Lihatlah, ujung bibirnya yang kering dan pucat terus begerak-gerak, sesekali terdengar lenguhan atau suara menggumam yang tidak jelas. Kelopak matanya yang menghitam juga terus terpejam, tetapi bola matanya terlihat berputar-putar. Aku mendekat dan memperhatikan dengan lebih teliti, kulit wajah Hana ternyata kusam dan kering. Pipinya seingatku memang tirus, tapi saat ini garis wajahnya membuat kesan kurus. Aku ragu, tapi secera keseluruhan wajahnya seperti menyusut. Aku benar-benar bingung untuk menilai situasi Hana, terlebih ketika menyadari sedari tadi jemarinya terus mengepal keras, rasanya seperti melihat orang tengah kesurupan. Ah entahlah…

“Bagaimana keadaan anak saya, Pak?” kata seorang lelaki dari arah pintu masuk, dia adalah ayah Hana.

Kami bersalaman. “Perhatikanlah ekspresi wajah Hana, Pak.” aku mencoba memeberikan penjelasan. “Meski belum sadar, dia terlihat seperti orang yang tengah mengalami mimpi buruk. Sesekali dia juga mengeluarkan suara seperti mengigau.”

Lelaki itu memperhatikan sembari memegang dahi puterinya. “Tidak demam ya ternyata?”

“Tidak, suhu tubuhnya normal, Pak.” sahut bu Ani yang berdiri di dekat kaki Hana. “Sebaiknya dibawa ke rumah sakit saja Pak.”

“Han bangun!” Lelaki itu menggoyangkan wajah Hana.

“Bangunlah!”

Saat itu aku hanya diam sembari bertukar pandang dengan bu Ani dengan tatapan curiga.

“Hana! Bangun, Nak.” Sekali lagi lelaki itu mencoba membangunkan Hana, kali ini gerakan suara lebih keras. Hana yang semula tidak merespon terlihat menggeliat dan wajahnya mengerenyit seperti menahan sesuatu.

“Sudah, Pak. Kasihan Hana.” tegur Bu Ani ketika melihat situasi memburuk. “Lebih baik kita bawa ke rumah sakit saja.”

“Sebentar, Bu, ada yang harus kupastikan.”

“Apa lagi yang harus dipastikan Pak?” tanyaku tidak mengerti.

Lelaki itu menghela napas. “Hana itu seperti ketempelan makhluk halus.”

“Apa?” Aku keheranan.

“Peristiwa seperti ini bukan Cuma sekali, Pak. Dia pernah mengalaminya di tempat les dan di rumah. Dulu ketika di tempat les dia sampai teriak-teriak, tetapi tidak sampai pingsan seperti ini. Aku sungguh tidak mengerti apa yang terjadi padanya.”

“Lalu apa yang dilakukan untuk mengatasi hal ini, Pak?” sahut bu Ani.

“Saya tidak di sana saat itu, kata guru yang mengajar Hana, dia mencoba menenangkan Hana dengan membaca doa hingga akhirnya dia diam.”

“Setelah peristiwa itu apa ada sesuatu yang aneh pada Hana?” Aku terus bertanya.

“Sayangnya saya tidak tahu pasti soal perubahan Hana. Saya sering pulang malam, tetapi guru les pernah mengabari bahwa Hana membolos sampai tiga kali dalam seminggu.”

“Tiga kali dalam satu minggu?” Aku tercekat. “Pak-”

“Sebentar, Pak.” Lelaki itu menyela. “Hana bangun!” Sekali lagi dia mencoba membangunkan Hana ketika melihat anaknya membuka mata.

Ruangan menjadi hening sejenak, Hana terlihat ingin bicara.

“Jangan, Pak, Hana tidak mau lagi.” Lelaki itu terlihat bingung mendengar perkataan Hana. Aku dan Bu Ani lebih bingung lagi.

“Hana tidak mau!” Gadis itu memekik lantang, seketika air matanya memeleleh deras, dan tubuhnya bergerak mundur dalam satu hentakan yang kuat.

“Apa maksdumu, Han?” Lelaki itu refleks meraih tubuh Hana yang mencoba mundur menghindar. Meski meronta, genggaman tangan yang kuat membuat tubuh Hana terbelenggu.

“Aku tidak mau lagi.” Hana meronta semakin kuat sembari menatap tajam ke arahku. Sontak aku merasa bingung, Bu Ani juga tidak berani mengambil tindakan.

“Suruh dia pergi, Pak!” Hana memekik, tangannya menunjuk lurus ke arahku. “Aku lelah, Pak, sudah cukup!”

Orang tua Hana berbalik ke arahku, tatapannya tajam. “Apa yang kau lakukan pada anakku?”

“Saya tidak melakukan apa pun selain mengajar!” jawabku tegas.

“Kau tidak lihat anakku ketakutan padamu, hah?”

Aku sudah tidak bisa menahan perasaan,.“Aku sungguh tidak tahu, Pak!” Aku mencengkeram buku Hana dengan kuat. “Kau pikir apa yang bisa membuat siswa takut pada gurunya?” Aku mengacungkan buku Hana ke arah lelaki itu.

“Jangan,” Pekik Hana, “aku sudah capek, Pak. Singkirkan benda itu!”

“Hah?” Aku melihat buku yang kupegang lalu melangkah maju demi menunjukan buku itu lebih ke Hana.

“Jangan!” Hana kembali memekik, tangannya mencengkeram tangan lelaki itu dengan lebih kuat. Aku mengerti apa yang sesungguhnya terjadi saat Hana kembali tak sadarkan diri tepat ketika aku membuka buku tulisnya.

“Pak!” Aku menatap lelaki itu tajam. “Apa yang kau tuntut dari anakmu dalam urusan pendidikan?” Nada suaraku menurun.

“Tidak ada Pak.” Lelaki itu terlihat bingung melihat keadaan anaknya. “Aku hanya ingin dia mendapat nilai yang baik, tidak lebih.”

“Kau mengikutkannya les berapa kali seminggu?”

“Tujuh hari, Pak.”

“Pelajaran apa saja?”

“Mata pelajaran untuk ujian nasional, Pak.”

“Lihatlah!” Aku membuka buku dan menunjukan hasil tulisan Hana.

“Apa yang salah, Pak?”

“Hana menulis sebuah rumus. Sedangkan saya memintanya membuat sebuah cerita.”

Lelaki itu menatap anaknya dengan tatapan bersalah tanpa merespon apapun.

“Bawa dia ke rumah sakit Pak!” Bu Ani yang sedari tadi diam mulai angkat bicara. “Mungkin dia terlalu tertekan karena beban belajar di sekolah, tugas yang banyak, dan les yang melelahkan. Saya takut dia mengalami depresi.”

Lelaki itu mengangguk sembari terus menatap anaknya.

“Pak, apa nilai matematika Hana kurang?” Aku bertanya memastikan.

Lagi-lagi lelaki itu mengangguk. Sebuah anggukan yang membuatku menyadari banyak hal. Aku jadi teringat kisah ibu yang dipukul anaknya untuk mengusir lalat. Benar kata guru, “Terkadang cara kita menolong atau membantu justru membuat orang lain menjadi semakin kesusahan.”

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *