“Pa, nanti saat pulang makan siang, jangan lupa beli obat lagi untuk Mira,” kata Ardiyanti, sang istri.
“Iya Ma. Doakan hari ini banyak orderan, karma baik kita berbuah” jawab sang suami.
Sang suami segera menjalankan motornya menuju tempat ia biasa mangkal. Ia berprinsip, harus proaktif, menjemput rezeki, meski teknologi zaman now memungkinkan ia bisa dapat order meski menunggu di rumah. Argo mangkal di kompleks perumahan dan pagi-pagi seperti ini, biasanya ada order masuk untuk mengantar anak sekolah.
Iya, Argo seorang driver ojol. Sengaja ia berangkat pagi-pagi karena beberapa hari ini Argo tidak usah mengantar Mira ke sekolah. Mira sedang sakit. Melihat gejalanya, Argo waswas, jangan-jangan Mira sakit DBD. Kemarin Mira sudah diberi obat penurun panas. Argo berharap dugaannya salah.
Argo duduk di dekat pos kamling, suasana masih sepi. Entah teman-temannya belum datang atau sudah dapat orderan.
Argo merenungi nasibnya. Kenapa ia sampai terpuruk seperti ini? Apa yang salah? Tadinya ia bekerja sebagai tenaga administrasi di perusahaan makanan. Sudah kerja 20 tahun, perusahaan tempatnya bekerja bangkrut. Kini ia jadi pengangguran.
Melamar lagi? Sudah dicoba tapi kalah bersaing dari fresh graduate. Berbekal pesangon, ia dan istri sudah coba usaha. Mereka pernah berjualan mulai makaroni, mi goreng, keripik pisang, jual kue basah dan jajanan pasar, hingga jual pakaian secara online. Namun semuanya gagal. Uang pesangon semakin menipis.
Pernah coba mau numpang jualan Indomie rebus dan kopi instan di ruko milik keluarga besarnya, namun ditolak. Itu memalukan keluarga. Masa’ mau jualan seperti itu? “Ya sudahlah … cari peluang lain,” pikir Argo.
Sudah coba curhat ke keluarga besar, tidak ada yang memberi solusi. Terakhir, Argo iseng saja ceplos, “Kalau gitu saya jadi driver ojol saja,” kata Argo. Iya yakin, keluarga besar pasti melarang. Mungkin ia akan diberi modal untuk usaha. Nggak ada sejarah dalam keluarga besar mereka, ada anak yang jadi driver ojol. Kalau bukan jadi karyawan, biasanya buka usaha sendiri. Lha … sang ayah dulunya pemilik toko emas.
Tak disangka, responnya justru kebalikan dari yang dipikir Argo. “Bagus tuh,” kata sang adik. “Saya kenal beberapa driver yang sering belanja di sini, penghasilannya lumayan,” kata sang adik.
Getaran ponsel tanda ada orderan masuk mengembalikan Argo ke dunia nyata. Argo segera merespon dan meluncur ke pemesan ojol. Tentu ia tidak lupa memakai masker dan helm full face dan menutup kaca helm. Bukan takut debu atau asap knalpot, tapi agar siapa pun yang memesan ojol tak mengenali wajahnya.
Ia belum siap bertemu dengan beberapa teman sekolahnya yang sangat mungkin akan mengejeknya. Juga komplain buah hati yang nggak ingin jadi bahan ejekan temannya. Untuk antisipasi, saat beroperasi, helm full face, pakai masker, dan kaca helm ditutup rapat. Biar penumpang tak mengenali wajah orientalnya. Kalau ada orderan ke sekolah anak dan kompleks perumahannya terpaksa di-cancel.
Entah mengapa hari ini orderan sangat sepi. Sejak pagi sudah keluar rumah, hingga menjelang jam makan siang belum juga ada orderan masuk. Yang jadi kerisauan Argo adalah Mira yang sakit. Kemarin sudah diperiksakan ke dokter di puskesmas, kata dokter harus rawat inap.
“Pokoknya, orderan apa saja yang masuk, entah antar penumpang, antar barang, pesan makanan, semua akan saya ambil. Nggak peduli dekat, jauh, atau daerah macet, ambil saja,” pikir Argo. “Harus ada uang untuk bawa Mira ke dokter,” bisik hati Argo.
“Go… Argo, itu ada order masuk,” kata Jajang, teman Argo di pangkalan.
“Asyiiik … “ teriak Argo kegirangan, setelah tersadar dari lamunannya. “Saya berangkat dulu Bro,” sapa Argo. Jajang, Abdul, Nurdin, Fikri, Aminullah, dan Mahmud serentak melambaikan tangan.
Mereka tersenyum dan turut bahagia sahabat mereka akhirnya dapat orderan. Kalau mereka ojek pangkalan, dengan mudah mengalihkan orderan ke Argo yang butuh uang, tapi pakai aplikasi agak ribet. Penumpang sering komplain kalau nomor kendaraan dan wajah driver tidak sesuai aplikasi. Mereka juga sudah patungan untuk bantu, tapi Argo menolak.
Argo memang idealis, ia tak mau ikutan curangi aplikasi. Cukup duduk, tanpa antar penumpang, tapi di aplikasi terlihat sedang berjalan dan antar penumpang. Pakai aplikasi tuyul, istilah di kalangan driver.
Argo berhenti sejenak, ada pesan masuk. “Pak, tolong cepat. Satu jam lagi makanan sudah harus sampai,” tulis Baharuddin Bima, nama pemesan.
“Siap Pak,” jawab Argo via chat di aplikasi. Pokoknya harus jawab: oke, baik, siap, secepatnya, agar orderan tidak di-cancel meski terkadang permintaan terasa mustahil. “Harus kumpulkan uang sebanyak mungkin, biar Mira bisa dibawa ke dokter,” batin Argo.
Jalanan menuju resto bisa jadi padat, mungkin driver yang order di resto itu banyak, dan aneka kendala lain bisa saja terjadi, tapi pemesan nggak mau tau. Intinya, pemesan minta apa harus bisa dan harus segera dijawab dengan bahasa yang sopan.
Argo langsung tancap gas begitu capcai goreng selesai dimasak dan dibungkus, termasuk dua bungkus nasi putih. Waktu kurang lebih 20 menit lagi, Argo harus menembus jalan macet dan sampai ke kantor di kawasan jalan Soekarno – Hatta. Untung Argo tau jalan tikus sehingga waktu tempuh jadi lebih singkat.
Argo tepat di urutan terdepan di traffic light, pole position istilahnya dalam MotoGP. Pesan masuk lagi. “Pak, lima menit lagi kalau Bapak belum sampai, saya cancel!” Argo langsung mengetik, “Siap Pak, saya sudah dekat.”
Argo memandangi lampu lalu lintas, sekarang masih merah, sebentar lagi kuning, lalu hijau, tancap gas. Ketika lampu hijau menyala, Argo menarik gas sekencang-kencangnya. Tak diduga, seorang pengendara motor yang tak taat rambu lalu lintas juga melaju kencang meski dari arahnya lampu sudah merah. Tabrakan keras tak terhindarkan. Argo terpental beberapa meter jauhnya dan tubuhnya membentur pembatas jalan.
Argo berusaha bangkit, namun kakinya tak dapat digerakkan. Argo merasakan ada cairan kental di dalam mulutnya, terasa asin dan anyir. Orang-orang ramai mengerumuni dan banyak yang berteriak histeris. Argo tak merasakan sakit, hanya saja kakinya seperti mati rasa. Ia ingin bangkit, segera lanjut antar pesanan, terima uang tunai dari pemesan, dan lanjut menunggu orderan ojol.
Pandangannya mulai samar, lalu gelap. Yang di benaknya hanya mengantar Mira ke dokter sore ini. Samar-samar ia mendengar teriakan orang-orang di sekitarnya. “Cepat telepon ambulance, kondisi korban kritis.”
Argo merasa tubuhnya ringan, ia berjalan menghampiri Yanti, istrinya dan Mira anaknya yang sedang duduk. “Ma, ayo kita bawa Mira ke dokter, Papa sudah dapat uangnya.” Yanti dan Mira tidak bereaksi atas ucapan Argo, keduanya berpelukan dan menangis histeris.
Catatan:
WCC akhir kisahnya saya buat tragis, sad ending, biar lebih menyentuh. Semoga kisah nyatanya happy ending ya … Terima kasih sudah curhat, percaya pada saya, dan mengizinkan kisahmu dijadikan cerpen. Jiayou …
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara