• Wednesday, 30 December 2015
  • Manggala W Tantra
  • 0

Dharma, optimis atau realistis? Itu sebuah pertanyaan sederhana, namun apabila dijawab, ulasannya cukup menarik. Saat pertama kali bayi mencoba untuk berjalan, apa yang akan terjadi? Apakah bayi ini langsung bisa berjalan seperti halnya orang dewasa atau dengan perlahan-lahan dan akan sering terjatuh? Sudah pasti perlahan dan sering terjatuh. Lalu apa yang dipikirkan orangtuanya ketika melihat bayinya berkali-kali terjatuh?

Apakah orangtua berharap bayinya bisa berjalan sendiri, berharap bayinya tidak terjatuh, berharap bayinya tidak menangis setelah terjatuh, atau orangtuanya memutuskan untuk menemaninya berlatih berjalan, memegang kedua tangannya dengan hati-hati, dan dengan sabar membangunkannya kembali saat terjatuh sampai akhirnya bisa berjalan sendiri. Tentu memutuskan menemani bayinya berlatih berjalan lebih tepat ketimbang berharap bayinya bisa mandiri.

Optimis atau realistis, nampaknya dua kata ini memiliki makna yang sepadan, namun terdapat perbedaan operasionalnya. Saat kita diajarkan tentang arti semangat, mungkin kata yang tepat adalah optimis, selalu berpengharapan baik dalam segala hal. Ketika ada masalah, kita diajarkan sebaiknya bersikap optimis, bisa melewati masalah itu dan ada jalan keluarnya. Nah, di saat kita optimis, harapan untuk bisa menyelesaikan masalah pun muncul.

Namun saat menghadapi masalah ternyata dibutuhkan pemikiran yang realistis, menerima apa adanya bahwa setiap orang pasti menghadapi masalah dan berpandangan itu pun bersifat wajar. Dengan demikian apakah Dhamma itu optimis atau realistis? Dan apa hubungannya dengan berharap atau memutuskan?

Ada sebuah cerita yang menginspirasi. Michael D. Hargrove menceritakan apa yang dilihatnya ketika ia menjemput seorang teman di Bandara Portland, Amerika Serikat. Ketika menunggu, ada seorang pria menghampiri keluarga yang berdiri di dekat Michael. Pertama pria itu berkata ke putranya, “Senang bertemu kembali denganmu, Nak. Aku kangen sekali.” Dijawab anaknya dengan tersenyum, “Aku juga, Pa.” Lalu memeluknya sambil berkata, “Papa mencintaimu.” Kemudian ia mengambil seorang gadis cilik dari gendongan istrinya, “Halo bayi cantik!” Lalu menciumi dan memeluknya. Setelah bayi itu diberikan pada kakaknya, pria itu berkata, “Aku simpan yang terbaik sebagai yang terakhir,“ sambil mencium istrinya dengan mesra lalu memandanginya dan berkata, “Aku sangat mencintaimu.”

Michael heran karena biasanya hanya pengantin baru yang mesra seperti itu. Kemudian Michael bertanya berapa lama pria itu pergi, mungkin berbulan-bulan lamanya. Ternyata hanya pergi dua hari. Michael bertanya lagi berapa lama mereka menikah, dijawab 12 tahun. Dengan kagum Michael berkata, “Saya harap pernikahan saya nanti masih mesra setelah 12 tahun.” Pria itu lalu memberi jawaban yang tak terduga, “Jangan berharap, tapi buatlah keputusan.”

Kilas balik tentang kisah pertapa Sumedha saat melihat Buddha Kassapa, jika saat itu pertapa Sumedha tidak bertekad, tidak memutuskan dirinya untuk menjadi Buddha, dan hanya berpikir, “Saya berharap menjadi Buddha”, apakah pertapa Sumedha mampu menjadi Buddha? Tentu tidak. Karena ia memutuskan, bertekad untuk menjadi Buddha maka ia tahu apa yang sebaiknya dilakukan, yaitu menyempurnakan paramita.

Mari kita bandingkan: saya berharap lebih kurus, saya berharap punya karir yang baik, saya berharap bisa kuliah, saya berharap mempunyai usaha yang sukses. Atau: saya memutuskan untuk mengurangi berat badan, saya memutuskan untuk membangun karir yang baik, saya memutuskan untuk bisa kuliah.

Kata “berharap”, seolah kita tidak punya kendali atau tidak bisa mengontrol keadaan itu. Memutuskan berarti membuat perencanaan dan bertindak untuk meraihnya. Pada kenyataannya, banyak hal yang ada di bawah kendali kita. Pernikahan yang sukses, karir yang cemerlang, anak-anak yang sopan, adalah hasil dari sebuah keputusan.

Demikian juga Dharma, tidak bersifat optimis atau pesimis, tapi realistis. Realistis, bahwa setiap tindakan yang kita lakukan akan menentukan apa yang kita dapat. Jika kita pesimis akan mudah putus asa, sebaliknya saat kita terlalu optimis namun jika hasilnya tidak sesuai dengan harapan, kita tidak puas sehingga menderita.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *