Dalam kehidupan beragama di dunia, bagaimana seharusnya kita memandang setiap agama yang ada dan para pengikutnya yang meyakini masing-masing ajaran tersebut?
Di dunia barangkali ada begitu banyak jenis keyakinan religius, baik yang sampai saat ini masih eksis maupun yang pernah eksis tapi sudah tinggal nama belaka. Dan biasanya, menyangkut keyakinan-keyakinan yang berbeda-beda itu, demi kehidupan yang damai, rukun, tenteram raharja, kita akan sering diingatkan untuk bertoleransi.
Tentu saja, anjuran untuk bertoleransi adalah anjuran yang sangat baik untuk dituruti. Namun sampai dewasa ini masih saja ada sebagian orang yang salah memahami makna kata “toleransi”. Orang-orang ini mengira bertoleransi berarti menganggap bahwa “semua ajaran agama itu sama baiknya” dan oleh karena itu kita seharusnya hidup rukun, damai, tenteram sentosa sebagai sesama yang sedang berjalan di jalan yang sama baiknya. Tentu saja, pesan yang ingin disampaikan sangatlah mulia karena mengajak kita untuk tidak saling meributkan masing-masing keyakinan kita dan hidup bahagia dalam damai sebagai sesama manusia yang berakal budi.
Tapi pertanyaan yang timbul kemudian adalah: benarkah toleransi bermakna seperti itu, bahwa semua agama sama baiknya? Jika semua agama sama baiknya, punya tujuan yang sama, lalu mengapa di dunia ada banyak ajaran yang berbeda-beda satu dengan lainnya?
Seorang pembicara terkenal pernah mencoba menjelaskan tentang pilihannya untuk tidak menganut satu pun ajaran agama karena baginya semua agama sama baiknya. Tampakya dia ingin “memeluk” semua agama, mungkin sikapnya ini mirip seperti tokoh Pi di novel Life of Pi.
Dia menulis di status facebooknya perumpamaan tentang sebuah gunung. Agama-agama di dunia seperti sebuah gunung tetapi memiliki banyak jalur yang berbeda-beda untuk mencapai puncaknya. Di gunung itu ada orang-orang yang mendaki melalui jalur utara, ada yang lebih suka dari jalur selatan, dari jalur barat, dari timur, dan seterusnya. Namun, meskipun jalurnya berbeda-beda, toh gunungnya sama dan akhirnya pun sampai juga di puncaknya. Begitulah baginya, ajaran agama yang berbeda-beda ibarat jalur pendakian yang berbeda-beda, tetapi toh gunungnya (gunung melambangkan kebenaran? Tidak dijelaskannya, tapi saya duga maksudnya memang gunung = kebenaran) sama dan toh semua sampai juga di puncaknya jika sungguh-sungguh mendaki.
Terlepas dari rasa salut saya padanya untuk banyak hal positif yang telah dipromosikannya, saya menilai sikap yang diambil pembicara terkenal ini keliru, menyesatkan dan tidak sesuai dengan kenyataan.
Bagi saya, kesamaan dalam setiap ajaran agama hanyalah kesamaan di permukaan saja, kesamaan untuk hal-hal yang bersifat umum. Misalnya, setiap agama sepakat untuk mengajarkan kebaikan, cinta kasih, penghargaan bagi sesama makhluk, kedermawanan dan seterusnya. Namun apa yang dimaksud dengan kebaikan, apa yang dimaksud dengan cinta kasih, seperti apa penghargaan bagi sesama makhluk dan bagaimana seharusnya kita memahami kedermawanan akan jauh berbeda antara satu ajaran dengan ajaran lain.
Mari kita ambil contoh cinta kasih. Seperti sudah disinggung di atas, setiap agama sepakat bahwa cinta kasih itu sangat penting. Namun apa yang dimaksud dengan cinta kasih berbeda-beda antara satu agama dengan lainnya. Ada agama yang mengajarkan kasih nirbatas untuk semua makhluk, ada pula yg pengajaran kasihnya cenderung terbatas hanya untuk makhluk-makhluk tertentu atau bahkan lebih sempit lagi hanya untuk sesama rekan seagamanya. Bagi agama tertentu upacara kurban adalah praktik yang berpahala, sementara di ajaran lain itu termasuk praktik buruk yang jelas merugikan baik si pelaku apalagi si kurban.
Sejak tentang kebajikan pun berbeda, jangan kata tujuan tertinggi setiap agama, sangat jauh bedanya. Agama-agama tertentu mengajarkan bahwa tujuan akhir praktik mereka adalah kehidupan abadi di surga, sementara agama lain justru menganggap surga hanyalah jenis lain dari kehidupan fana seperti di bumi dan tujuan sejatinya adalah kebebasan mutlak dari semua nafsu.
Dengan demikian, menurut saya, bertoleransi sejati bukan dengan menyama-nyamakan apa-apa yang memang tidak sama. Bertoleransi sejati adalah, kita sadar kita berbeda-beda tetapi kita nyaman dengan perbedaan tersebut dan tidak menjadikan perbedaan itu sebagai alasan untuk saling membenci. Itu berarti, karena jalan yang kita lalui berbeda, maka gunung yang kita daki bukanlah gunung yang sama, dan puncak yang kita tuju bukanlah puncak yang sama. Namun masing-masing kita nyaman dengan gunung-gunung pilihan kita dan menyadari sepenuhnya bahwa setiap orang punya tingkatan “kematangannya” sendiri yang mempengaruhi bagaimana mereka memilih gunung untuk didaki.
Chuang 020216
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara