• Saturday, 24 April 2021
  • Hendry F. Jan
  • 0

“Aaah …,” aku berteriak keras sambil memukul-mukul bantal sekeras-kerasnya. Pintu kamar terbuka. Istriku masuk dan menghampiriku. “Ada apa Pa? katanya dengan lembut. “Cerita saja jika ada yang mengganjal,” lanjutnya. Friska istriku sudah hafal tabiatku. Aku melampiaskan kemarahan dan kekesalan dengan memukul-mukul bantal atau membekap mulutku rapat-rapat dengan bantal, lalu berteriak sekeras mungkin.

“Melampiaskan emosi tapi masih pakai logika,” begitu istilah istriku. Aku tak mungkin membanting piring atau pintu keras-keras, karena jika piring pecah, aku sendiri yang akan membersihkan pecahan piring dan pergi ke swalayan untuk membeli piring pengganti. Jika pintu rusak dan tak mampu memperbaikinya sendiri, ya terpaksa panggil tukang dan itu juga berarti ada pengeluaran ekstra.

Aku merasa sakit hati dipandang sebelah mata karena tak sekaya mereka. Meski kami berada dalam satu komunitas, komunitas di tempat ibadah yang sama. Aku pernah ikut jamuan makan malam dalam sebuah acara. Saat selesai acara makan malam itu, aku merasa keputusanku ikut ke rumah makan itu adalah keputusan yang salah.

Saat itu aku memang diajak ikut, tapi aku salah menilai. Aku kira itu ajakan tulus, ternyata basa-basi saja. Sebenarnya aku tak sepenuhnya bersalah, aku memang layak diajak ketua karena kami satu tim dalam tugas itu. Selesai tugas sosial itu, kami ditraktir makan. Wajar dong aku ikut. Keputusanku tidak sepenuhnya salah ‘kan?

Saat selesai makan, ada hidangan yang tidak habis. Ketika itu ketua memesan nasi dan beberapa macam lauk. Di tiap piring lauk ada sendok, begitu juga di wadah nasi. Jadi siapa saja boleh tambah nasi dan lauk. Beberapa lauk masih tersisa cukup banyak, dan ketua menawarkan kepada satu per satu anggota di meja itu untuk membawa pulang lauk, kecuali aku! Lupa? Tak mungkin, kami hanya berempat, duduk mengelilingi satu meja.

Sebagai orang timur, kedua rekanku yang ditawari untuk bawa pulang lauk buat anak dan istri mereka dengan basa-basi menjawab, “Nggak usah, terima kasih.”

Aku tau, ketua memang orang kaya, tapi tingkah lakunya itu sangat memuakkan! Gak ada akhlak, istilah anak-anak muda. Kalau tak ingin mengajakku makan, bisa saja pakai cara lain yang lebih manusiawi. Misalnya dengan kirim pesan WA, “Pak, nanti jangan pulang dulu, kita mau makan-makan dulu. Pura-pura saja bilang ke saya ada hal yang masih ingin kita bicarakan. Tapi khusus si Frans, jika ia ingin pulang, biarkan saja, jangan ditahan. Kirimkan WA ke semua yang memang ingin diajak makan. Cara itu lebih terhormat, baik bagi ketua, juga bagiku, daripada sengaja mempermalukan aku di depan yang lain. Bisa ‘kan kirim pesan seperti itu via WA?

Di kalangan keluarga besar istriku dan keluarga besarku juga seperti itu. Heran, tiap kumpul saat Imlek, sebagian besar dari mereka akan cerita tentang satu anggota keluarga yang paling kaya. Dari tahun ke tahun, itu saja yang diceritakan. Ia beli mobil baru, ia baru pulang dari luar negeri, anaknya tampan dan pintar, dan seterusnya. Preeet! Entah mereka di-endorse berapa untuk promo seperti itu. Menyebalkan! Padahal, ngomong sampai mulut berbusa, kalau ada masalah, yang dipuja-puji juga tidak pernah membantu. Seringnya malah menghubungi keluarga kami untuk pinjam uang. Otak loe di mana???

Kalau bukan soal itu, pakaian pun jadi omongan. Istriku pernah dinyinyirin, “Ini baju yang dipakai waktu Shinta menikah ‘kan? Duh … segitu menganggurnya orang-orang toxic ini. Sampai baju yang pernah dipakai sekian tahun lalu dia masih hafal. Seolah baju yang pernah dipakai, tidak boleh lagi dipakai saat ketemu mereka! Busyet!

“Terus menanam karma baik selagi masih ada kesempatan,” hanya itu yang terus kami lakukan. Berbagi meski kami bukan orang kaya. Ini rutinitas latihan mengurangi kemelekatan. Punya sedikit, berbagi sedikit. Punya agak banyak, berbagi agak banyak. Berbagi beberapa botol minuman atau beberapa bungkus mi goreng yang dimasak istriku untuk pemulung, pengemis, tukang angkut sampah, dan siapa saja yang kami anggap layak dibantu. Yah … itu ibarat menanam bibit pohon. Dan, jangan lupa untuk selalu bekerja di jalan Dhamma.

Kami sangat berharap, suatu saat kami bisa pindah ke tempat baru dengan suasana baru. Ada keinginan, tapi kami tak berani cerita ke siapa pun. Itu hanya obrolanku dengan Friska, istriku. Khawatir dianggap sedang mimpi di siang bolong, halu, dan sejenisnya. Hanya obrolan kami berdua saja.

Aku teringat Manggala Sutta, sutta tentang Berkah Utama. Pada bait ke-6 bunyinya seperti ini, “Bertempat tinggal di tempat yang sesuai, memiliki timbunan kebajikan di masa lampau, dan membimbing diri dengan benar, itulah berkah utama.” Semoga kebajikan kami cukup untuk mendapatkan tempat tinggal yang sesuai, jauh dari orang-orang toxic.

Tak ada yang menyangka, jalan menuju ke sana berjalan mulus. Kami tak menyangka kegigihan Zack, anak sulung kami dalam belajar untuk mewujudkan cita-citanya berbuah manis. Zack mendapatkan beasiswa kuliah S1 Informatika di India.

Kemudian ia bekerja sambil melanjutkan kuliah S2-nya. Dan terakhir ia mendapatkan pekerjaan impiannya di Moskow, Rusia. Gajinya lebih dari cukup untuk membiayai hidupnya. Lalu ia menikah dengan Savina Marinka, orang Rusia dan memiliki seorang putri cantik yang diberi nama Vinka Zasha. Rio, anak kedua kami juga sukses dalam karirnya. Aku, istriku, dan Rio diboyong pindah ke Moskow untuk tinggal bersama Zack, Savina, dan Vinka di rumahnya yang besar.

Memiliki tempat tinggal di lingkungan baru adalah keinginanku dan istri sejak dulu. Kami mengimpikan tinggal di negara empat musim agar bisa melihat salju! Kalau ditanya ingin pindah ke mana, jawab kami, “Terserah.” Entah itu negara-negara di Eropa atau negara di kawasan Asia, yang terpenting ada saljunya. Semula itu hanya khayalan kami. Itu cuma obrolan ringan menjelang tidur. Siapa menyangka, kini semua mimpi itu terwujud.

“Gedebuk …,” aku terbangun dari tidurku. Rupanya aku tertidur saat menyaksikan televisi. Aku melihat ke sekeliling ruang tamu untuk mencari sumber suara. Ternyata suara itu berasal dari kamus bahasa Rusia yang terjatuh dari meja. Tadi aku membacanya. Aku menaruhnya di pinggir meja dan terjatuh ketika Blacky, anjing peliharaan kami menyenggol meja.

Untungnya Friska yang tiduran di sofa tidak terbangun. Mungkin ia kelelahan setelah memasak banyak hidangan dan mengasuh Vinka. Tapi Vinka terbangun dan menangis. Aku segera bangkit dan berjalan ke arah boks bayi, tempat tidur Vinka. Kugendong cucu kesayanganku. Tangisnya segera berhenti. Ia memandangku dan tersenyum, ia merasa aman dan nyaman dalam gendonganku setelah tadi dikagetkan suara keras.

Zack dan Savina sedang pergi ke rumah tetangga. Mereka membawa masakan Friska, masakan khas Indonesia untuk tetangga kami yang sangat baik hati, Volker dan Katja, istri Volker. Pasangan asal Jerman ini banyak membantu kami di awal kepindahan kami ke sini. Rio, putra kedua kami sedang berlibur dengan teman-temannya. Saat ini, hanya kami bertiga di rumah.

“Yuk … Yeye* ajak Vinka melihat salju …” kataku. Aku menggendong Vinka dan berjalan mendekati jendela. Kusibakkan gorden yang menutupi jendela. Di luar sana, sejauh mata memandang, semua berwarna putih. Butiran halus salju masih terus berjatuhan dari langit. Dulu aku hanya melihatnya dari siaran televisi, video YouTube, atau masa SMA dulu, aku melihatnya di kartu-kartu ucapan Natal. Sekarang aku menyaksikan secara langsung! Aku masih sering merasa tidak percaya. Apakah ini mimpi?

Kebiasaan kita di Indonesia, jika ingin meyakinkan diri apakah kita tidak sedang bermimpi, kita selalu akan mencubit diri kita. Jika terasa sakit, itu bukan mimpi. Padahal, jika kita sedang bermimpi, lalu kita mencoba mencubit diri kita sendiri, itu pun akan terasa sakit.

“Mam … mam …” suara lucu Vinka minta makan, mengembalikan pikiranku ke masa kini. Bagiku, jangan takut bermimpi, bermimpi itu gratis lho. Tapi ingat, mimpi itu tentunya harus yang realistis, dan ada langkah-langkah untuk mewujudkannya. Jika mimpimu yang terlalu muluk tanpa ada usaha untuk meraihnya, kamu hanya akan mendengar satu kata dari orang-orang di sekitar Anda. Ngimpi!!!

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *