• Sunday, 18 April 2021
  • Junarsih
  • 0

Borobudur akan selalu menjadi pokok bahasan yang menarik untuk semua kalangan. Dalam pembahasannya pun, Borobudur bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Salah satunya adalah sudut pandang perfilman. Kok bisa/ daripada bingung, mari kita ulas bersama dalam uraian berikut ini.

Sangha Vajrayana Sangha Agung Indonesia (SV-SAGIN) menyelenggarakan talk show daring via aplikasi Zoom dengan tema “Borobudur Kini dan Nanti: Sebuah Perspektif Sinema” pada Jumat (9/4) lalu. Y.M. Biksu Bhadra Ruci yang merupakan ahli ikonografi candi Nusantara bersama dengan Lola Amaria yang merupakan aktris sekaligus sineas (pembuat film) menjadi narasumber dalam acara tersebut. Acara dimoderatori oleh Izmy Khumairoh.

Mengawali talk show, Izmy menceritakan pengalamannya saat kecil yang berkunjung di Borobudur hanya untuk foto dan berwisata bersama keluarga. Seiring berjalannya waktu, pengalamannya dan pemahamannya terhadap Borobudur bertambah. Ia pun memahami bahwa Borobudur bukan sekadar tempat wisata, tapi Borobudur adalah juga tempat ibadah umat Buddha yang juga pastinya memiliki nilai filosofis.

“Bagaimana Candi Borobudur menjadi tempat pariwisata yang identik dengan sesuatu yang profan dan tempat ibadah sebagai sesuatu yang sakral? Nah, teman-teman di sini pasti bertanya-tanya, jadi apa sih makna Candi Borobudur yang sebenarnya? Dan apa peran sinema menjadi saran dalam meneruskan pesan ini pada masyarakat?” tutur Izmy membuka talk show.

Borobudur akan difilmkan

Lola Amaria, seorang sineas yang tidak hanya asal-asalan dalam membuat film tapi juga memasukkan nilai toleransi dan keberagaman dalam filmnya, berencana ingin membuat film tentang Candi Borobudur. Lalu, alasan apa yang mendasarinya untuk membuat film tentang Borobudur?

“Saya sendiri masih dalam masa-masa riset,” ujar Lola.

Alasan ia memilih Borobudur karena ia banyak melihat film Indonesia atau asing hanya menjadikan Borobudur latar tempat. Belum ada yang menggali nilai yang terkandung dalam Borobudur. Padahal Borobudur adalah sebuah situs langka yang kaya akan nilai keberagaman dan toleransi, bahkan telah ditetapkan UNESCO sebagai salah satu keajaiban dunia. Di sisi lain, Lola melihat Borobudur sebagai bukti bahwa ada agama lain dengan tradisi yang unik dan ini ada di Indonesia.

“Jadi, harusnya sih ada kebanggaan. Nah, saya merasa orang Indonesia belum bangga dengan adanya Candi Borobudur dan sejarah yang terkandung di dalamnya,” imbuh Lola.

Belum bangganya orang Indonesia memiliki Borobudur adalah karena mereka tidak pernah tahu tentang apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan di candi ini, misalnya seharusnya dari tidak boleh memegang stupa atau menduduki stupa, Borobudur adalah situs langka yang seharusnya dijaga dan dirawat.

Banyak pengunjung yang hanya ingin cepat sampai di puncak Borobudur sambil mengambil foto, padahal di setiap tingkat Borobudur ada banyak sekali ajaran yang harus dipahami. Saat kita bisa menghargai Borobudur sebagai situs bersejarah dan memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, maka di situlah kita seharusnya bisa punya rasa bangga terhadap Candi Borobudur.

Pesan tersirat dari Borobudur

“Apa yang bisa kita gali dari Borobudur?” tanya Izmy pada Y.M. Biksu Bhadra Ruci.

Artinya, Borobudur lebih dari sekadar tempat ibadah. Borobudur adalah dimensi pencapaian dalam diri yang sudah lengkap sempurna, yaitu pencapaian Kebuddhaan. Pencapaian ini sejalan dengan prinsip dasar agama Buddha, yakni tidak ada makhluk yang ingin menderita. Sayangnya, umat Buddha sendiri kurang peduli terhadap Borobudur. Memang dalam ajaran Buddha ada istilah “jangan melekat”, tapi sama halnya dengan kita tetap harus merawat rumah tempat tinggal kita agar bisa ditinggali, umat Buddha juga harus tetap peduli pada Borobudur.

Lebih lanjut, Y.M. Biksu Bhadra Ruci menjelaskan bahwa Borobudur adalah representasi dari kitab suci. Ia adalah kitab suci yang diukir dalam batu-batu besar. Kitab suci itu menjelaskan bagaimana perjalanan diri kita yang awam berjuang sampai mencapai pencapaian tertinggi — apa yang tidak boleh dan boleh untuk dilakukan, serta tahap apa saja yang perlu diselesaikan.

Namun kini, ketika berkunjung ke Borobudur, setelah menginjakkan kaki dari lantai dasar sampai puncak, yang dirasakan hanya lelah dan kita tidak memperoleh apapun. Oleh sebab itu, Y.M. Biksu Bhadra Ruci pun berharap pada film Borobudur yang akan digarap oleh Lola agar bisa memberitahu masyarakat nilai lebih dari Borobudur. Selain itu, Beliau juga berharap melalui film, masyarakat bisa paham bahwa mereka tidak perlu khawatir bila Borobudur hidup sebagai tempat ibadah.

Sepuluh tingkat Borobudur melambangkan sepuluh tingkat Bodhisatwa yang bisa kita capai. Selain itu, terdapat pula relief-relief yang juga dibuat berdasarkan Sutra-Sutra. Y.M. Biksu Bhadra Ruci hanya sempat menyampaikan bagian Sutra Lalitavistara dan Gandavyuha.

Pertama, Lalitawistara menjelaskan tentang riwayat hidup Buddha sejak lahir sebagai Pangeran Siddhartha mencari obat untuk terhindari dari samsara. Dijelaskan bahwa ada banyak versi riwayat Buddha Sakyamuni, tapi Lalitawistara secara khusus menceritakan riwayat Buddha hingga Beliau memberikan pengajaran Dharma pertama kali di Varanasi.

“Pesan yang ingin disampaikan adalah mengajarlah untuk semua makhluk,” ujar Suhu.

Mengajar di sini maksudnya adalah mengajarkan jalan keluar bebas dari penderitaan. Ajaran Buddha yang paling terkenal adalah Empat Kebenaran Mulia: munculnya penderitaan, berhentinya penderitaan, penyebab dari penderitaan, dan jalan keluar dari penderitaan. Dengan memahami tersebut, kita bisa mengatasi penderitaan. Ini merupakan jawaban atas prinsip ajaran Buddha yang menyatakan bahwa semua makhluk pada dasarnya tidak mau menderita dan menginginkan kebahagiaan.

Selanjutnya adalah relief Gandavyuha, kisah seorang pemuda bernama Sudhana yang ingin mencapai kesempurnaan dengan belajar pada berbagai guru. Dari 53 orang guru Sudhana, 21 di antaranya adalah perempuan. Salah satunya bahkan berprofesi sebagai pelacur.

“Gerakan feminisme sudah ada di Borobudur,” tutur Y.M. Biksu Bhadra Ruci. Kecantikan perempuan pada saat itu tidak ada yang ditutup-tutupi. Bahkan mereka pun bisa menjadi Guru Sudhana untuk mencapai pencerahan.

Keterlibatan umat Buddha dalam pengembangan Candi Borobudur juga sempat menjadi bahasan. Y.M. Biksu Bhadra Ruci menjelaskan bahwa umat Buddha tidak terlibat sejak awal ekskavasi Borobudur hingga sekarang. Padahal peran umat Buddha amat dibutuhkan untuk mengangkat dan melestarikan ajaran di dalamnya.

Lola Amaria menanggapi dengan menyatakan perlunya komunikasi yang baik antara umat Buddha dan pengelola Borobudur. Secara khusus, Lola juga berpesan agar apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di Borobudur bisa diperjelas sehingga tidak memunculkan kerancuan dalam pembuatan film maupun penggunaan Borobudur secara umum.

Kesimpulan

Kebanggaan terhadap Borobudur dari umat Buddha juga seluruh masyarakat Indonesia harus lebih digali lagi. Banyak sekali nilai-nilai yang bisa diambil dari Borobudur, terutama yang berhubungan dengan nilai kemanusiaan dan spiritual. Spiritual di sini tidak melulu soal agama, tapi bagaimana cara kita sebagai manusia mengarahkan hidup pada tujuan yang seperti apa dan cara kita bersikap untuk sampai pada tujuan tersebut.

Di sisi lain, umat Buddha juga perlu lebih aktif dan terlibat dalam menanggapi isu-isu yang terkait dengan Borobudur supaya candi ini bisa terjaga dan lestari dengan baik serta memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi Indonesia dan dunia.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *