• Monday, 13 May 2019
  • Widodo
  • 0

Bagi umat Buddha, bulan Mei identik dengan perayaan Waisak. Sebuah hari besar untuk  memperingati tiga peristiwa besar. Tiga kejadian tersebut—kelahiran, penerangan, kematian— terjadi pada hari yang sama ketika bulan purnama di bulan Waisak. Peringatan dan perayaan besar digelar untuk menyemarakkan. Candi Borobudur biasa menjadi pusatnya, meski beberapa umat juga memperingatinya di candi yang lain, seperti Candi Sewu, Muara Takus, dan lain sebagainya.

Di setiap peringatan dan perayaan hari besar, kita selalu diajak untuk mengingat kembali pesan Buddha untuk terus menjaga moral kita melalui pikiran dan perbuatan. Peringatan Waisak tahun ini jatuh pada hari Minggu 19 Mei 2019. Tetapi perayaannya bisa sebulan lebih setelahnya.

Bahkan beberapa daerah sudah mulai melakukan beberapa kegiatan menyongsong Waisak. Seperti Sebulan Penghayatan Dhamma (SPD) yang juga diikuti atthasila sebulan penuh. Selain itu juga ada  acara Tribuana Manggala Bhakti yang belum lama ini digelar umat Buddha di Kulonprogo, DIY yang dipusatkan di Ekowisata Taman Sungai Mundal di Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo.

Konsep Tribuana Manggala Bhakti memiliki makna bakti peduli terhadap tiga matra ekosistem alam, yaitu matra bumi diwakili dengan penanaman pohon, matra udara diwakili dengan pelepasan satwa burung, serta matra air diekspresikan dengan pelepasan satwa ikan, dan pemanfaatan air sebagai sarana ibadah umat Buddha.

Namun selepas peringatan dan perayaan yang biasa digelar meriah, kita sering luput untuk memperhatikan satu hal, yakni sampah, terutama bekas air kemasan. Selain airnya seringkali tidak dihabiskan, bekas kemasan airnya juga tidak diletakkan di tempat yang sesuai. Temuan ikan paus yang terdampar dan ternyata perutnya banyak berisi sampah plastik tentu sebuah berita yang menyayat hati. Plastik yang dulunya ditemukan untuk banyak membantu kebutuhan manusia, nyatanya banyak pula menyengsarakan makhluk lain.

Jumlah manusia yang terus bertambah, dibarengi dengan meningkatnya kebutuhan, termasuk kebutuhan plastik ini. Padahal diperlukan ribuan bahkan ratusan tahun bagi sebuah plastik yang disampahkan untuk bisa terurai di alam.

Bahkan ada yang memprediksikan, jika tidak ditangani segera jumlah sampah plastik akan jauh lebih banyak daripada ikan di lautan. Jadi solusinya apa? Pemakaian kantong atau bungkus makanan yang bisa dipakai beberapa kali bisa menjadi alternatif. Peralihan penggunaan barang-barang yang lebih ramah lingkungan juga bisa menjadi pilihan.

Banyak pihak sudah mulai melakukan pendidikan lingkungan. Salah satunya Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi. Sekolah yang berada di Cengkareng, Jakarta Barat ini menerapkan pendidikan lingkungan melalui pengumpulan sampah daur ulang setiap Selasa dan Jumat. Semua murid diwajibkan membawa sampah daur ulang dari rumah yang mana hasil daur ulang ini akan dikirimkan ke pusat daur ulang yang tidak jauh dari sekolah. Dari pusat daur ulang ini, semua sampah dipilih, dipilah, lalu dijual. Hasil penjualannya digunakan untuk mendukung misi kemanusiaan Tzu Chi, terutama membantu mereka yang kesusahan.

Lain lagi yang dilakukan Waste4Change. Entitas kewirausahaan sosial yang berada di kawasan Vida Bekasi ini, memberikan layanan manajemen persampahan ke perumahan dan perusahaan secara bertanggung jawab. Mengapa bertanggung jawab? Karena layanan mereka memungkinkan kita untuk memonitor ke mana akhirnya sampah kita berakhir. Mereka juga memberikan fakta bahwa selama ini proses persampahan di Indonesia masih sebatas angkut-pindah, bukan angkut-olah.

Sehingga masalah sampah sebetulnya belum benar-benar tuntas. Terlebih daya tampung semua tempat pembuangan akhir (TPA) juga makin terbatas. Waste4Change mengedukasi pihak-pihak yang memakai jasanya untuk melakukan pemilahan sampah organik dan non organik sejak dari rumah. Lalu sampah organik diolah menjadi kompos, sementara sampah non organik dipilih sesuai jenis, dan khusus yang plastik dicacah menjadi biji plastik. Dari hasil pengolahan sampah ini, Waste4Change bukan hanya mampu beroperasi secara mandiri, tetapi juga bisa terus menelurkan program-program dalam rangka mendukung kampanye mereka menuju #IndonesiaBebasSampah2020.

Apa yang dilakukan Tzu Chi dan Waste4Change sejatinya bisa diadopsi oleh vihara dan sekolah Buddhis. Umat yang datang setiap Minggu dihimbau untuk membawa sampah daur ulangnya. Dikumpulkan di salah satu pojok vihara, yang selanjutnya dilakukan pemilahan, sebelum dijual ke pengepul. Anak-anak sekolah minggu dan umat juga bisa dilibatkan dalam proses pemilahan ini. Tentu ini akan menjadi sarana belajar yang menarik untuk mereka.

Sukur-sukur bisa dipraktikkan juga di rumah masing-masing. Lalu hasil penjualannya untuk apa? Tentu bisa digunakan untuk mendukung semua aktivitas di vihara, seperti biaya listrik dan air. Bagaimana dengan sekolah Buddhis? Tentu bisa diterapkan hal yang sama. Sampah daur ulang dikumpulkan, dipilah, lalu dijual. Hasilnya bisa digunakan untuk membantu kas OSIS, juga mendukung kegiatan sekolah yang lain. Upaya ini selintas memang tidak mendatangkan dana yang besar, tetapi bukankah hal yang besar juga berasal dari yang kecil?

Selamat memperingati Waisak 2563/2019 dengan sadar lingkungan. Semoga semua makhluk berbahagia.

*) Pengurus Institut Nagarjuna

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *