Wasubandhu, di dalam salah satu mahakaryanya, Abhidharmakosa, mengatakan bahwa Dharma, sebagai ajaran Buddha ada 2 jenis, yaitu: 1) kitab dan 2) apa yang terkandung di dalamnya.
Definisi ini memberikan pemahaman yang sangat jelas bahwa ketika kita berbicara mengenai Dharma, maka ada dua aspek yang harus diberikan perhatian yang sama besarnya, yakni yang pertama adalah Dharma sebagai kumpulan buku-buku yang berisi ucapan Buddha dan juga penjelasan dari para guru atas ucapan Buddha tersebut.
Kemudian, yang tak kalah penting adalah makna yang terkandung di dalam buku-buku tersebut yang harus direalisasikan. Buku harus dibaca, dipelajari, direnungkan, dan dimeditasikan agar muncul realisasi di dalam arus batin kita. Dengan cara inilah Buddhadharma bisa bertahan secara lengkap, baik secara tektual (teori) maupun realisasi di dalam batin kita sendiri (yang dihasilkan dari praktik atas teori tersebut).
Oleh karena itu, saya sangat senang ketika Lamrimnesia menyelenggarakan sebuah acara festival buku yang mengumpulkan para penerbit buku Dharma di Indonesia sehingga ini bisa menjadi sebuah katalisator yang sangat positif, baik terhadap pihak penerbit buku-buku Dharma, agar dapat terus bersemangat dalam berkarya maupun terhadap kita-kita, agar tidak pernah berhenti untuk membaca dan belajar.
Nusantara Dharma Book Festival 2019 yang diselenggarakan pada 23-24 Februari 2019, bahkan menurut saya bisa dilihat sebagai sebuah mini inkubator di mana selama dua hari tersebut, semua pihak yang terlibat, mulai dari panitia, para penerbit, pengisi acara sampai seluruh hadirin diajak untuk fokus pada satu hal saja, yakni Dharma itu sendiri.
Pada 24 Februari 2019, ada sebuah hal yang sangat menarik perhatian saya, yakni adanya sebuah buku baru yang dibedah dan akan diterbitkan oleh Penerbit Yayasan Pelestarian dan Pengembangan Lamrim Nusantara (YPPLN). Buku tersebut berjudul “12 Aktivitas Sang Begawan: Riwayat Buddha Berdasarkan Lalitawistara dan Winayaksudraka”.
Selama ini kita telah banyak mengenal buku-buku riwayat Buddha dari berbagai tradisi Buddhis Selatan (Thailand, Myanmar dan sekitarnya). Namun masih sangat jarang bisa kita temukan riwayat Buddha yang disajikan berdasarkan tradisi Buddhis Utara (Tibet, Nepal, India dan sekitarnya).
Meskipun inti dari buku-buku tersebut pada dasarnya sama dan tidak ada pertentangan, namun sebuah buku baru seperti ini akan sangat memperkaya khasanah Buddhis di Indonesia sehingga umat-umat Buddha di Indonesia juga bisa semakin terbuka cakrawala pemikirannya, melampaui si katak yang konon sering dibilang hanya hidup di bawah tempurung saja.
Saya berhasil berbicara dengan pihak Penerbit YPPLN dan berhasil meyakinkan mereka untuk memberikan sedikit “sneak peek” atas buku tersebut. Sebagai hasilnya, saya diberikan izin untuk menampilkan draft kata pengantar buku tersebut di sini, termasuk juga salah satu dari foto-foto 12 Aktivitas Buddha yang nantinya akan menjadi bagian dari buku tersebut.
Saya pribadi sangat menantikan terbitnya buku ini yang semoga akan segera terjadi dalam waktu dekat, apalagi setelah membaca cuplikan kata pengantar yang menunjukkan bahwa buku ini mengandung studi dan analisis yang cukup berbobot dengan rujukan yang jelas namun juga disajikan dengan bahasa indah yang semi-puitis.
Draft kata pengantar buku 12 Aktivitas Sang Begawan
Sebagaimana semua Buddha yang pernah muncul di masa lampau, dalam periode kehidupan kita saat ini pun Buddha Shakyamuni menampilkan 12 aktivitas agung sebagai cara terampil untuk menyampaikan ajaran beliau kepada murid-muridnya. Kamalashila menyatakan, “Merenungkan sosok Buddha atau 12 aktivitas agung beliau akan mampu melenyapkan kelembaman mental.” Dharmamitra juga menyatakan poin yang sama, “Merenungkan 12 aktivitas agung Buddha akan mematangkan batin murid-murid.”
Misalnya, aktivitas Buddha memasuki rahim ibunya bisa dilihat sebagai cara untuk memberitahu bahwa masing-masing kita, selaku makhluk yang terlahir ke dunia ini dari rahim ibu, juga bisa mencapai pencerahan sempurna seperti halnya beliau.
Contoh lainnya, aktivitas Buddha meninggalkan istana dan sanak keluarganya, yang kemudian ditutup dengan aktivitas paripurna beliau – memasuki parinirwana – bisa dilihat sebagai cara untuk menyampaikan ajaran tentang ketidakkekalan dan ajakan kepada semua makhluk untuk menolak samsara secepat mungkin.
Semua aktivitas agung Buddha sebenarnya tidaklah terpahami oleh makhluk-makhluk biasa yang belum mencapai pencerahan yang sama dengan capaian beliau; akan tetapi, cendekiawan besar dan sejarawan Tibet yang paling dikenang sampai saat ini, Buton Rinchen Drup, berpendapat bahwa aktivitas agung Buddha secara umum dibagi menjadi 12 aktivitas utama demi memuaskan murid-murid yang gemar mengingat keutamaan aktivitas dari sudut pandang jumlah.
Baca juga: Lalitawistara: Memperkokoh Keyakinan terhadap Keagungan Buddha
Pembagian ini sendiri meliputi perbedaan tafsir antar tradisi perihal aktivitas agung mana dari Buddha yang dianggap sebagai aktivitas utama. Misalnya, turunnya Buddha dari alam Trayastrimsa setelah mengajar ibunda beliau di sana dianggap oleh sebagian tradisi sebagai salah satu aktivitas agung. Tradisi lain menyatakan bahwa pengetahuan Buddha ihwal periode ketika Dharma akan merosot juga termasuk salah satu aktivitas agung. Jadi, penting untuk dicatat bahwa 12 aktivitas agung Buddha dijabarkan secara berbeda oleh berbagai jenis tradisi.
Tradisi yang dipakai dalam terbitan kali ini disadur mengikuti urutan aktivitas yang disajikan oleh Buton Rinchen Drup, dengan urutan sebagai berikut: 1] Kelahiran Bodhisatwa sebagai Shwetaketu; 2] Keberangkatan dari Alam Tushita; 3] Memasuki Rahim; 4] Kelahiran Bodhisatwa; 5] Ketangkasan yang Ditunjukkan Bodhisatwa; 6] Menikahi Yashodhara dan Kehidupan di antara Kaum Wanita yang Mulia; 7] Penolakan terhadap Samsara; 8] Praktik Kesederhanaan Hidup; 9] Kemenangan atas Mara; 10] Tercapainya Pencerahan Sempurna; 11] Pemutaran Roda Dharma, dan; 12] Buddha Memasuki Parinirwana.
Kemudian, ada pula tradisi lain yang berasal dari guru besar Drigung, Jigten Sumgon. Tradisi ini berbagi kemiripan dengan gubahan karya Nagarjuna. Pujian Jigten Sumgon kepada Buddha Shakyamuni, yang turut dilampirkan dalam terbitan kali ini, memaparkan 12 aktivitas agung dalam urutan sebagai berikut: 1] Keberangkatan dari Alam Tushita; 2] Memasuki Rahim; 3] Kelahiran Bodhisatwa; 4] Ketangkasan yang Ditunjukkan Bodhisatwa; 5] Menikahi Yashodhara, Kelahiran Rahula, dan Kehidupan di antara Kaum Wanita yang Mulia; 6] Penolakan terhadap Samsara; 7] Praktik Kesederhanaan Hidup; 8] Meditasi di bawah Pohon Bodhi; 9] Kemenangan atas Mara; 10] Tercapainya Pencerahan Sempurna; 11] Pemutaran Roda Dharma, dan; 12] Buddha Memasuki Parinirwana.
Ada sedikit perbedaan di antara kedua tradisi ini. Tradisi kedua, misalnya, tidak menganggap kehidupan Buddha di Tushita sebagai salah satu aktivitas, dan memilih untuk memulai penghitungan urutan aktivitas dari sejak beliau mengambil ancang-ancang untuk lahir ke dunia.
Dengan demikian, tradisi kedua kehilangan satu aktivitas yang membuatnya tertinggal selangkah di belakang tradisi pertama. Namun, penghitungan tradisi kedua akhirnya kembali sama secara jumlah ketika di antara aktivitas ke-8 dan ke-9 dalam tradisi pertama, tradisi kedua menyelipkan ‘Meditasi di bawah Pohon Bodhi’ sebagai aktivitas tersendiri (dalam tradisi pertama, aktivitas ini secara tersirat masuk ke dalam aktivitas ke-9). Perbedaan lain yang cukup menonjol adalah tidak disebutkannya sosok Rahula dalam tradisi pertama, sedangkan tradisi kedua menyelipkan kelahiran putra Siddhartha ini ke dalam aktivitas ke-6.
Keputusan Buton Rinchen Dup untuk menyelipkan ‘Kelahiran Bodhisatwa sebagai Shwetaketu’ sebagai aktivitas pertama sepertinya didasarkan pada tradisi dalam teks Uttaratantra karya Maitreya, yang juga memulai 12 aktivitas agung dengan kehidupan Sang Buddha di Tushita. Namun, kesamaan ini segera berakhir karena Uttaratantra melanjutkan urutannya secara berbeda, yakni sebagai berikut: 1] Kelahiran Bodhisatwa sebagai Shwetaketu dan Keberangkatan dari Alam Tushita; 2] Memasuki Rahim; 3] Kelahiran Bodhisatwa; 4] Ketangkasan yang Ditunjukkan Bodhisatwa; 5] Menikahi Yashodhara dan Kehidupan di antara Kaum Wanita yang Mulia; 6] Penolakan terhadap Samsara; 7] Praktik Kesederhanaan Hidup; 8] Meditasi di bawah Pohon Bodhi; 9] Kemenangan atas Mara; 10] Tercapainya Pencerahan Sempurna; 11] Pemutaran Roda Dharma, dan; 12] Buddha Memasuki Parinirwana.
Dengan kata lain, Uttaratantra menggabungkan aktivitas ke-1 dan ke-2 dalam tradisi Buton Rinchen Drup sebagai satu aktivitas, dan menyelipkan ‘Meditasi di bawah Pohon Bodhi’ untuk mengisi slot aktivitas yang kosong (yakni: sebagai aktivitas ke-8).
Sebagai tambahan, terbitan kali ini turut melampirkan pula mural dari 12 aktivitas agung Buddha karya Thubten Gelek dan Ngawang Kunkhen yang terdapat di Memorial Shrine, Land of Medicine Buddha, Soquel, California. Mural ini didasarkan pada sesi pengajaran yang diberikan oleh Y.M.S. Dalai Lama ke-14, dengan urutan sebagai berikut: 1] Keberangkatan dari Alam Tushita; 2] Memasuki Rahim; 3] Kelahiran Bodhisatwa; 4] Ketangkasan yang Ditunjukkan Sang Bodhisatwa; 5] Menikahi Yashodhara 6] Kelahiran Rahula dan Empat Pembawa Pesan Surgawi; 7] Penolakan terhadap Samsara; 8] Praktik Kesederhanaan Hidup; 9] Kemenangan atas Mara; 10] Tercapainya Pencerahan Sempurna; 11] Pemutaran Roda Dharma, dan; 12] Buddha Memasuki Parinirwana.
Seperti yang bisa dilihat, tradisi ini tampak sebagai perpaduan antara ketiga tradisi sebelumnya. Memilih ‘Keberangkatan dari Alam Tushita’ sebagai aktivitas pertama membuat tradisi ini mirip dengan tradisi Drigung; akan tetapi, tidak dimasukkannya ‘Meditasi di bawah Pohon Bodhi’ sebagai satu aktivitas tersendiri membuat tradisi ini mirip dengan tradisi Buton Rinchen Drup. Selanjutnya, tradisi ini juga menyisipkan satu aktivitas yang tidak ditemukan di ketiga tradisi sebelumnya, yaitu ‘Kelahiran Rahula dan Empat Pembawa Pesan Surgawi.’
Demikianlah perbandingan ringkas antara keempat jenis tradisi yang sejauh ini tercatat sebagai pembagian yang paling umum terkait 12 aktivitas agung Buddha. Tidak ada kesimpulan pasti terkait tradisi manakah dari kisah 12 aktivitas agung ini yang paling benar. Pada akhirnya, keragaman tradisi yang eksis bisa dikatakan sekadar berutang pada keragaman tafsir dari masing-masing penggubahnya.
Terbitan kali ini memilih untuk menyajikan tradisi gubahan Buton Rinchen Drup, meskipun pilihan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menafikan kesahihan tradisi yang lain. Alih-alih, keputusan ini bisa dilihat sebagai upaya aktif dari pihak penerbit untuk memperkenalkan kekayaan tradisi intelektual dari Tibet, terutama kontribusi kesejarahan Buton Rinchen Drup bagi khazanah Buddhis di dunia.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara