Setiap makhluk hidup tidak terlepas dari proses ketidak-kekalan yaitu lahir, tua, sakit, dan mati. Hal ini juga terjadi pada umat Buddha di Lenek.
Hal ini terbukti pada saat mereka mengalami “berpisah dengan yang dicintai” yaitu kematian. Pada hari pertama kematian, jenazah diinapkan semalam dahulu dirumahnya baru keesokan harinya dikebumikan. Hal baru kita bahwa Jenazah yang beralaskan kasur ditempatkan di beruga (sejenis Gasebo yang merupakan Ruang Tamu bagi warga di Lombok) beserta altar disamping jenazah.
Pada keesokan harinya, jenazah dimandikan di beruga tersebut oleh sanak keluarga. Serta jenazah dikenakan pakaian adat Lombok lalu kain kafan baru dibalut dengan tikar, dilanjutkan pembacaan paritta oleh anggota Sangha beserta para pelayat. Hal menarik yang kita lihat bahwa di Lenek merupakan mayoritas agama Buddha yang terdiri dari beberapa sekte. Akan tetapi karena saking indahnya kita berkumpul bersama-sama mendoakan mendiang dan kita semua paham bahwa walau beda cara juga bahasa namum tujuan agama Buddha sama yaitu Nibbana.
“Saya senang, bukan senang karena di tempat orang meninggal, tetapi saya senang melihat kebersamaan ini. Satu hal yang sangat istimewa yaitu adat istiadat dan budaya yang masih kental dan sikap kebersamaan yang kuat. Hal ini merupakan kualitas umat Buddha Lenek,” sambutan Suhu Nyanabandu pada saat pemakaman mendiang Amak Wartini, Rabu (5/12).
Selain sambutan Sangha, juga terdapat sambutan dari keluarga “Sekapur Sirih” yaitu penyampaian permintaan maaf dan memaafkan dari mendiang oleh keluarga, serta masalah hutang mendiang. Proses pemakaman dihadiri kurang lebih 20 anggota Sangha serta Ratusan warga Dusun Lenek dan sekitarnya.
Seperti halnya di Pulau Jawa, terdapat peringatan kematian tiga hari, tujuh hari, sedikit berbeda dengan di Jawa yaitu untuk 40 hari dijawa, 49 hari di lombok, lalu 100 hari, 200 hari dan 1000 hari.
“Upacara Avamanggala dengan suasana yang berbeda. Dulu padat, bangunan rumah penuh dan sekarang melenggang akibat gempa. Kematian tidak memberi tahu, datang kepada siapa saja. bukan hanya manusia, tetapi mahluk yang tidak kelihatan juga. Apa pun yang lahir pasti akan mengalami kematian. Dalam kehidupan, seperti halnya uang yang mempunyai dua sisi yaitu ada angka dan gambar. Layaknya manusia ada senang dan sedih. Seperti yang terdapat dalam parrita Pabbatopama Gatha, jangankan badan kita yang terdiri dari tulang, batu karang yang keras pun akan hancur. Perubahan, kematian mengintai kita dari enam penjuru mata angin. Di dalam paritta di gambarkan dengan pasukan bergajah, karena dibuat pada zaman dahulu.”
Untuk itu, kita tinggal menyiapkan diri. Manusia takut mati karena belum ada bekal, bekalnya adalah kebajikan. Serta menambah pengetahuan, karena tanpa pengetahuan dengan usaha keras juga tidak akan berhasil. Jangankan manusia, bumi juga akan hancur. Jangan hanya pasrah, manusia harus usaha. Dimulai dari hal kecil yaitu pada saat kita tinggal bersama dengan banyak orang, kita saling menghargai, saling tolong menolong, dan saling menjaga.
Manfaat mengerti bahwa kematian itu pasti, maka kita mempersiapkan diri dari membaca parita untuk kita yang hidup dan dengan membaa parita baik pula untuk mendiang. Bagi yang masih hidup selalu melakukan hal-hal yang baik agar mendiang turut bersuka cita. Apabila dalam keluarga terjadi pertengkaran maka mendiang juga bersedih. Semoga keluarga fokus melakukan perbuatan baik dan merelakan mendiang.” Pesan Dhamma yang disampikan oleh Bhikkhu Sacccadhammo pada saat malam tiga hari mendiang Satinom, senin (3/12).
Pada peringatan 7 hari, waktu peringatan sesuai keputusan keluarga yaitu pada siang, sore atau malam hari.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara