“Nggak mungkin!!!” Weiliam berteriak keras hingga seisi Café Filcoffee melihat ke arahnya.
“Wei, kecilkan suaramu. Kita jadi pusat perhatian semua orang di sini,” Derry mengingatkan Weiliam.
“Ups … maaf, aku kelepasan,” kata Weiliam sambil menutup mulut.
Weiliam duduk termenung di kamar kost-nya. Fakta yang dibeberkan Derry, sobat karibnya membuat Weiliam kaget bukan kepalang.
Ah … tidak mungkin ini terjadi pada diriku, batinnya. Sejauh ini semua berjalan lancar, nyaris sempurna. Masa’ harus berakhir tragis seperti ini? Sejauh ini hubungannya dengan Meilina berjalan mulus, mulus seperti jalan tol.
Selama pacaran mereka tak pernah bertengkar. Apa yang Wei inginkan selalu sesuai dengan keinginan Meilina, begitu juga sebaliknya. Sangat banyak kesamaan. Warna favorit, makanan kesukaan, genre film yang disukai, musik yang sering didengar, dan lain-lain. Bahkan saat pertama kenal dan ngobrol pun, Wei merasa seolah ia sudah pernah mengenal Mei sebelumnya, seperti déjà vu.
Semakin lama mereka semakin dekat, meski mereka belum mulai membicarakan tentang pernikahan. Weiliam yakin, kisah cinta mereka akan berakhir dalam ikatan pernikahan.
Percakapan dengan Derry di Café Filcoffee kembali terngiang di telinga Weiliam.
“Wei, kamu tidak bisa dan tidak boleh menikah dengan Meilina,” kata Derry.
“Hei … ada apa gerangan? Kita baru ketemu kok kamu ngomong nggak boleh menikah dengan Mei, ada apa ini?” kata Weiliam.
“Kamu dan Mei satu marga, satu shé kata orang Tionghoa. Mana boleh menikah kalau masih semarga,” jelas Derry.
“Nggak mungkin!!!” teriak Weiliam.
Wei kembali merenung. Mengapa selama ini soal marga tak pernah terpikirkan olehnya? Ah … mana mungkin hal itu terpikir. Nama anak sekarang bukan seperti zaman ortu atau kakek nenek mereka yang namanya masih 3 kata. Tan Joe Hok, Liem Sioe Liong, Yap Thiam Hien, Kho Ping Hoo, Wong Kam Fu, sehingga kita dengan mudah mengetahui nama marga mereka.
Lagi pula namanya dan nama Meilina itu unik, hanya satu kata, Weiliam, Meilina. Beda dengan nama teman-teman seusianya yang terdiri dari dua kata dan tiga kata.
Fakta menunjukkan banyak kesamaan dari mereka. Nama sama-sama satu kata saja, sama-sama 7 huruf, nama panggilan mirip, juga sama-sama tiga huruf, Wei dan Mei.
Huruf W kalau dibalik jadi huruf M, mereka “ditakdirkan” untuk bersatu, begitu pikir Weiliam.
Kata Derry, ia tak sengaja bertemu Victor, teman lamanya, teman satu SMP. Saat ngobrol, Victor bilang ia kenal dengan Meilina. Meilina adalah teman adiknya. Obrolan mereka nyerempet ke Meilina karena Victor pernah melihat foto Derry bersama Weiliam dan Meilina di FaceBook.
Dari obrolan itulah akhirnya Derry mendapatkan info bahwa Papa Meilina bernama Andri Taslim, dan ia sudah meninggal. Toko sembako milik ortu Meilina diberi nama sama dengan nama Papa Meilina, yakni Andri Taslim. Dan … sudah Derry konfirmasi ke Victor, Papa Meilina memang bermarga Liem!
Karena Derry sahabat Weiliam, Derry pun tau Papa Weiliam bernama Anton Halim, dan marganya juga Liem!
Memang tidak bisa digeneralisir, tapi umumnya nama belakang orang suku Tionghoa yang bernama Salim, Halim, dan Taslim itu menunjukkan nama marga mereka Liem.
Hingga lewat tengah malam, Wei tak dapat memejamkan matanya. Wei tak ingin masalah ini terus menyiksanya. Ia putuskan untuk segera mendapatkan jawabannya langsung dari Mama Meilina. Apa pun hasilnya, Wei berusaha menerima meski sangat menyakitkan.
Tadinya Wei sangat berharap ia dan Mei ada ikatan karma dalam hal jodoh. Sama seperti Pangeran Sidharta dan Yasodhara yang selalu bertemu dan menjadi pasangan suami istri dalam 550 kelahiran.
Besok pagi Wei akan bertemu langsung dengan Tante Melisa Wongso, Mama Mei untuk mencari tau, benarkah Mei bermarga Liem?
Mei membuka pintu rumahnya dan merasa kaget dengan kehadiran Wei, kekasihnya. “Semalam Ko Wei mimpi apa? Kok tumben pagi-pagi ke sini? Mau kasih surprise apa nih? Valentine ‘kan sudah lewat?” Mei memberondong kekasihnya dengan banyak pertanyaan.
“Ada persoalan mahapenting. Mama ada di rumah?” tanya Wei.
“Ada tuh di belakang. Kasih tau dong, ada apa nih? Kok wajah Ko Wei tegang banget? Apa Mei melakukan kesalahan? Kita bisa bicara baik-baik, kita ngobrol berdua saja ya?” tawar Mei.
“Mei nggak melakukan kesalahan kok. Hanya ada hal yang ingin Ko Wei ketahui tentang Mei. Ini penting untuk hubungan kita ke depannya. Kita ngobrol bertiga saja sayang …” kata Wei yang berusaha keras untuk tersenyum.
“Tante Melisa, Wei ingin tanya-tanya sedikit tentang keluarga Tante, boleh ‘kan?” desak Wei ketika Mama Mei sudah duduk di sofa di ruang tamu.
“Ada apa nih? Tante jadi deg-degan,” kata Mama Mei.
“Hmmm … pertama-tama saya mohon maaf jika pertanyaan saya agak sensitif,” Wei berhenti sejenak menunggu reaksi Mama Mei.
“Silakan saja,” kata Mama Mei.
“Begini Tante, Wei ingin tau, siapa nama Papa-nya Mei?” Wei langsung ke pokok pertanyaan.
Tak dapat dipungkiri, raut wajah Mama Mei menunjukkan keterkejutan atas pertanyaan Wei yang tak terduga ini.
Mama Mei terdiam cukup lama, seolah mengumpulkan kekuatan untuk mengatakan suatu hal yang sangat berat untuk diungkapkan. Ruang tamu jadi hening.
“Mei, Mama rasa ini saat yang tepat untuk menceritakan hal ini. Kamu sekarang sudah dewasa,” Tante Melisa diam sejenak. Weiliam semakin tegang, raut wajah Meilina pun terlihat sangat tegang.
“Mei memang bukan anak kandung Papa Andri Taslim dan Mama. Mei adalah anak kandung dari Hendra Wongso, adik kandung Mama. Mama kandung Mei meninggal saat melahirkan Mei. Papa Mei meninggal karena kecelakaan saat Mei baru berusia setahun.” Tante Melisa berhenti sejenak dan menyeka air matanya dengan tisu. Wei diam tak berkomentar, sementara Meilina menitikkan air mata dan menangis. Mei shock dengan kenyataan ini.
“Mei kami adopsi saat berusia setahun dan sudah kami anggap anak kandung sendiri,” lanjut Tante Melisa.
Entah apa yang harus Wei lakukan. Ada rasa gembira karena Mei bukan bermarga Liem, tapi di sisi lain ada Mei, kekasihnya yang shock.
“Tante, memang sekarang belum saatnya, tapi saat ini saya ingin mohon restu Tante agar nanti Mei boleh menjadi pendamping hidup saya,” kata Wei.
Tante Melisa tak pernah menduga ucapan itu yang keluar dari mulut Wei, kekasih anaknya. Ia menduga Wei justru akan mundur teratur saat tau Mei bukan anak kandungnya. Tak ada keraguan di hati Tante Melisa, ia mengangguk.
Anggukan itu sudah lebih dari cukup bagi Wei. Wei langsung mendekap Mei yang duduk di sampingnya, “Mei, fakta ini tak mengubah apa pun. Cinta Ko Wei pada Mei tidak berubah. Jangan menangis Mei, Ko Wei akan selalu bersamamu …,” ucap Wei.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara