Agama yang kita pelajari atau yakini hari ini adalah agama yang terorganisasi (organized religion), berarti agama-agama ini ditafsirkan sesuai dengan konteks yang berbeda. Itulah sebabnya agama Buddha di Thailand berbeda dari agama Buddha di Tibet, dan Islam di Indonesia tidak sama dengan Islam di Arab Saudi.
Meskipun kita akan menyebut kepercayaan itu sebagai sekte, tetapi kita tidak bisa menyangkal bahwa sekte itu sendiri terjadi karena interpretasi dan lingkungan yang berbeda.
Yang penting adalah orang-orang memiliki pandangan yang berbeda, tetapi mereka diajarkan (dipaksa melalui pendidikan) oleh agama yang terorganisir untuk mengikuti cara pemahamannya dan mengklaim bahwa agama atau sekte lain salah. Ini masih bagus asalkan agama yang terorganisasi seperti itu tidak memiliki kekuatan hukum untuk memerintahkan orang lain untuk mengikuti ajarannya, atau menggunakan kekuatan untuk memenjarakan orang-orang yang berbeda dari pemahamannya.
Akibatnya, sekularisme (secularism) diperlukan di dunia modern, pemerintah tidak akan mendukung satu agama atau sekte lebih dari yang lain. Ini bukan cara untuk menghancurkan agama, tetapi mengizinkan setiap agama memiliki kebebasan dan berkembang dengan cara mereka sendiri. Inilah keindahan keanekaragaman.
Kasus dari Thailand bulan September (2019) sangat menarik. Seorang mahasiswi dari fakultas seni menggambar Buddha dalam bentuk animasi Ultraman. Latar belakang adalah gambar brandname, Louis Vuitton (LV). Karyanya sangat populer tetapi dikritik oleh banyak kelompok umat Buddha konvervatif.
Tentu saja, mereka adalah dosen dan aktivis dari kampus agama Buddha. Tidak hanya kata-kata kasar digunakan oleh umat Buddha untuk mengutuknya dan penasihatnya di media sosial, tetapi mereka mencoba menuntut ke pengadilan dengan alasan bahwa mahasiswi tersebut menghina Buddha dan menghancurkan agama Buddha. Pada awalnya, dia dipaksa minta maaf pada Bhante.
Namun, banyak orang Thailand mengatakan bahwa gambar itu hanya seni. Seniman harus memiliki kebebasan untuk berinovasi apa pun yang mereka berpikir. Selain itu, seperti yang dijelaskan oleh mahasiswi, Buddha adalah penyelamat dunia, yang datang ke dunia untuk membantu semua orang, dalam imaginasinya, Buddha seperti Ultraman.
Untungnya, kelompok-kelompok Buddhis konsevatif tersebut dikritik oleh media sosial dan akhirnya mereka berhenti untuk menuntut. Kasus ini menunjukkan kekuatan media sosial dan perselisihan antara kelompok agama konvervatif dan kelompok liberal. Hukum penistaan (blasphemy law) seharusnya tidak digunakan untuk memenjarakan orang lain yang menafsirkan agama dengan cara yang berbeda.
Dalam Brahmajala Sutta, Buddha mengatakan bahwa jika orang lain mengutuk Buddha, Dhamma, dan Sangha, kita seharusnya tidak marah (dengan cara yang sama, jika mereka mengagumi, kita seharusnya tidak sombong), tetapi kita harus menjelaskan apa yang sebenarnya kepada mereka dengan toleransi dan cinta kasih.
Sebenarnya, ajaran ini harus menjadi pedoman bagi umat Buddha daripada menggunakan kata-kata kasar dan menggunakan hukum untuk menghukum orang lain.
Namun, seperti yang dikatakan oleh Allen Clifton (2016) dan Katewadee Kulabkaew (2012), ini adalah hal yang normal dalam agama yang terorganisasi. Berarti bahwa orang-orang dalam organisasi keagamaan belajar agama bukan hanya untuk kehidupan mereka, tetapi mereka juga diajarkan untuk melindungi kepercayaan mereka dan percaya bahwa kepercayaan lain salah. Apakah mindset seperti itu cinta kasih atau diktator?
Patung Buddha, misalnya, dibuat dari imaginasi setelah 500 tahun setelah kematian Buddha. Jadi, tidak ada orang yang pernah melihatnya. Akibatnya, bagaimana kita bisa mengklaim bahwa patung Buddha yang kita hormat itu benar (sama dengan Buddha asli) dan bentuk lain (seperti Ultraman) salah?
Kasus ini menjadi bermasalah karena kita memiliki pola resmi patung Buddha. Tentu saja, pola seperti itu disetujui oleh agama yang terorganisir yang dimiliki oleh beberapa orang, sementara banyak imaginasi dari orang lain tidak bisa diungkapkan.
Diktator mencoba mengendalikan kepercayaan para pengikut dengan alasan “persatuan” akan terjadi ketika setiap orang memiliki identitas yang sama dan berpikir dengan cara yang sama. Ini adalah konsep sejak 100 tahun yang lalu, tetapi masih ada sampai sekarang di negara yang orang takut demokrasi dan hak manusia. Karena perbedaan akan membawa konflik, menurut mereka.
Oleh karena itu, identitas era modern tidak boleh satu, tetapi multiple. Kita harus menghormati perbedaan, bukan untuk memaksa orang lain berpikir dengan cara yang sama dengan kita. Saya mendengar bahwa umat Buddha Indonesia juga ingin membuat pola patung Buddha sebagai identitas nasional, semua sekte harus menghormati bentuk nasional Buddha itu. Gagasan ini didasarkan pada nasionalisme yang menghancurkan keanekaragaman.
Haruskah kelompok Nichiren menyembah patung Buddha yang baru itu, padahal mereka tidak memiliki patung Buddha? Haruskah kelompok Maitrya mengganti patung Buddha gemuk dan tersenyum mereka dengan pola Buddha yang baru?
Dengan melakukan itu, bisakah kita mengatakan bahwa kita mencoba paksa setiap orang untuk melakukan apa yang kita inginkan, yang tidak sesuai dengan ajaran Buddha, cinta kasih dan keterampilan yang mengadaptasi Dhamma yang sesuai dengan berbagai tingkat / jenis orang.
Tidak ada salahnya jika kita ingin menbangun kelompok besar (agama yang terorganisir) dalam rangka memperkuat kegiatan. Namun, kita juga harus ingat bahwa kelompok kita tidak boleh menghancurkan kebebasan orang lain. Setiap orang memiliki kebebasan untuk berpikir, belajar, dan menafsirkan agama karena agama dibuat untuk semua orang, bukan untuk satu organisasi.
*Jesada Tee Buaban, antropolog dari Thailand, tertarik tentang agama/kepercayaan dan politik di Negara Asia Tenggara.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara