• Monday, 6 July 2015
  • Sutar Soemitro
  • 0

Belum lama ini ada sebuah kabar gembira peresmian vihara Indonesia pertama di New York. Tapi begitu lihat rupang di altarnya, saya jadi miris. Rupangnya Buddha ala Thailand. Membawa label Vihara Indonesia di negara orang, tapi budaya (rupang)nya Thailand.

Kejadian seperti ini sudah sangat banyak kita lihat di vihara-vihara di Indonesia. Coba kita lihat vihara-vihara di Indonesia, rupang-rupang yang ada kebanyakan ala Thailand, Myanmar, atau Tiongkok.

Padahal kita punya model rupang Buddha original Nusantara (Indonesia) yang sudah terkenal dan dikagumi di seluruh dunia. Ya, Buddha Borobudur!

Itulah rupang asli Indonesia yang tidak ada di tempat lain di seluruh dunia.

Rupang tersebut disesuaikan dengan ciri perawakan orang Nusantara pada zaman itu, yang tidak beda jauh dengan sekarang. Dadanya bidang, perawakannya pas. Tidak kurus, tidak gemuk. Seperti perawakan para pendekar di film-film silat Indonesia tahun 90-an.

Setiap negara seperti Thailand, Myanmar, Tiongkok, Tibet, Vietnam, Jepang hingga Korea punya rupang Buddha khas negara masing-masing. Dan mereka bangga. Tapi bagaimana dengan umat Buddha Indonesia?

Kita justru lebih bangga memakai rupang-rupang impor dan mengabaikan budaya sendiri yang justru sebenarnya dikagumi dunia sejak zaman baheula.

Ironis..

Agama Buddha di Indonesia bukan hanya mengimpor rupang Buddha, tapi juga impor aliran. Theravada impor dari Thailand dan Myanmar, Mahayana (Tiongkok-Taiwan), Vajrayana (Tibet-Nepal), Tzu Chi (Taiwan), Plum Village (Perancis-Vietnam), Chan (Taiwan), hingga aliran-aliran yang ajarannya berbeda dari aliran mainstream seperti Nichiren (Jepang), Maitreya (Taiwan), dan yang terbaru Dhammakaya (Thailand).

Indonesia beda dengan Amerika atau negara Barat lainnya yang tidak punya sejarah agama Buddha di masa lalu, sehingga mereka harus mengimpor agama Buddha dari Asia. Sedangkan agama Buddha Indonesia punya sejarah yang sangat panjang dan pernah punya segalanya.

Agama Buddha pernah berjaya di Nusantara pada masa Sriwijaya dan Majapahit. Dan kita selalu membanggakannya. Kita selalu membanggakannya, tapi tak pernah mau meneruskannya. Bukannya meneruskan agama Buddha Nusantara yang sudah terbukti pernah berjaya, kita justru ramai-ramai impor agama Buddha dari negara lain yang belum tentu cocok dengan karakter orang Indonesia.

Agama Buddha Nusantara yang dulu pernah berkembang sangat kental akan nilai seni dan budaya. Ini bisa dilihat dari beragam artefak peninggalannya, mulai dari candi, rupang, pahat, arsitektur, tata kota, kidung, hingga sastra. Bahkan semboyan resmi negara kita, Bhinneka Tunggal Ika, diambil dari buku Sutasoma karya pujangga Buddhis besar kala itu, Mpu Tantular. Bahkan sistem etika, tata sosial dan budaya bangsa kita yang saat ini berlaku pun masih sangat dominan dipengaruhi budaya Hindu-Buddha.

Sebenarnya tidak perlu susah-susah kalau mau membangkitkan kembali agama Buddha di Indonesia. Teruskan saja apa yang dulu pernah jaya. Kembangkan kembali agama Buddha Nusantara, gunakan rupangnya, gunakan pendekatan seni dan budaya, gali kembali warisan Buddha Nusantara.

Bukan malah ramai-ramai mengimpor agama Buddha dari negara lain.

*) Sutar Soemitro, chief editor BuddhaZine.com

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *