• Friday, 4 August 2023
  • Salim Lee
  • 0

Oleh: Upa. Salim Lee

Kita selalu yakin bahwa hal-hal yang membuat kita marah berada di luar diri kita, sebabnya selalu hal ini, peristiwa itu, keadaan ini, orang itu. Ada sesuatu di luar sana yang bertentangan dengan apa yang kita sukai, yang merisaukan, yang mengganggu kebutuhan kita akan keselamatan dan keamanan; yang mengancam kenyamanan atau posisi kita. Kita merasa perlu untuk mempertahankan diri kita yang rentan ini.

Kemarahan membatasi kita. Namun jika kita memiliki keberanian untuk melihat kemarahan beserta penyebabnya dan belajar darinya, kita dapat mengembangkan hati yang terbuka—hati yang penuh kehangatan tulus, hati yang peka, peduli dan menghargai yang lain.

Kita masing-masing mengalami kemarahan dengan cara kita sendiri, tetapi sering tampak seperti adanya rasa kemarahan yang lebih umum, yang menyelimuti masyarakat kita. Artinya, sebagai budaya, kita marah. Selera humor kita sangat sarkastik. Banyak hal yang menurut kita menghibur, selalu melibatkan menjatuhkan seseorang. Kita memiliki komedi dangkal: hal-hal yang jelas mencederai dan penuh dengki justru dibuat ‘lelucon’. Baik itu tulisan, acara televisi atau video Internet viral, kita menemukan humor dalam kata-kata yang mengejek atau merendahkan orang lain, atau cercaan yang memungkinkan kita untuk menonton dari luar saat orang lain mengalami suatu bentuk penghinaan. Kita mungkin bertanya pada diri sendiri, “Apa yang lucu tentang itu?” Tidak banyak. Menertawakan kemalangan orang lain adalah salah satu bentuk ekspresi kemarahan kita sendiri.

Seolah-olah kita percaya bahwa dengan merendahkan orang lain, dengan menyalahkan atau minta tanggung jawab atas ketidakbahagiaan kita pada orang lain, kita dapat membuat diri kita lebih baik atau menghilangkan perasaan tidak mampu kita sendiri.

Meskipun seolah-olah memberi rasa ‘kepuasan’ sementara, teapi kemarahan tidak akan membuat kita merasa lebih baik. Justru sebaliknya. Jelas, kita tidak dapat benar-benar menghilangkan rasa ketidakbahagiaan kita melalui agresi. Semakin sering kita ‘menyerang’, semakin kita memperkuat si penyerang ini yang akan menciptakan hal baru untuk diserang. Agresi tumbuh subur dalam hati kita, hingga akhirnya tidak ada ruang terbuka lagi; seluruh lingkungan telah dipadatkan dengan keinginan untuk ‘menyerang’ apa saja yang tidak kita sukai.

Apa sisi lain dari benih kemarahan? Takut.

Kita tidak bisa membebaskan diri secara tuntas mengatasi kemarahan dan ketakutan kita. Dan apakah penyebab ketakutan itu? Penyebabnya adalah ketakutan untuk tidak terlihat, tidak eksis, pada akhirnya,  kematian, ketakutan kehilangan diri sendiri dan dilupakan. Ini yang mencengkeram kita: Kebutuhan untuk meyakinkan bahwa kita ‘eksis’ sesuai dengan ‘gambar bayangan’ kita.

Tetapi rasa takut untuk ‘tidak dikenal’ ini, yang ujung-ujungnya tentang ketakutan akan kematian, diterjemahkan menjadi rasa takut akan hidup, karena merasa hidup ini belum sesuai dengan harapan kita. Padahal ketidakkekalan itu sendiri merupakan kondisi mendasar dari kehidupan kita.

Dalam rasa ketakutan ini terletak benih kemarahan.

Ketika kemarahan muncul, itu menunjuk pada sesuatu. Kemarahan kita adalah petunjuk keyakinan mendasar kita tentang diri kita sendiri. Sebetulnya, ini dapat membantu mengungkapkan ‘gambar bayangan’ identitas diri yang kita bentuk.

Bagaimana kita memutuskan lingkaran kemarahan? Kita semua mengetahui kemarahan dari pengalaman, tetapi ketika kita diminta untuk berhenti sejenak dan merenungkan, “Apakah kemarahan ini?” tidak selalu mudah untuk melihat apa itu. Namun ketika kita mendekati perasaan marah kita dengan kesadaran, dengan kewaspadaan, itu menjadi bagian yang produktif dari cara hidup kita.

Butuh ‘kehadiran’. Bagaimanapun juga, kita menemukan bahwa kemarahan memiliki sesuatu untuk diajarkan kepada kita.

Kemarahan adalah suatu “jurus kebiasaan”.

Seperti kebanyakan kebiasaan, hanya dibutuhkan satu peristiwa atau kata atau kejadian tertentu untuk memicu kita, secepat menjentikkan jari. Jika seseorang melakukan sesuatu yang membuat kita kesal, tanyakan pada diri kita pertanyaan, “Siapa yang dicentang? Siapa yang marah?” Kita akan menemukan bahwa sebetulnya tidak ada diri yang marah atau harus dibela.

Banyak hal tertentu yang selalu memicu kita berulang kali, sama andalnya dengan jam alarm. Mungkin kita tahu beberapa hal itu. Seringkali orang lain dapat memberi tahu kita apa yang menyebabkan ledakan kemarahan kita bahkan jika kita sendiri tidak menyadarinya. 

Begitu juga ‘kebiasaan’ kita untuk terus menggenggam kemarahan. Misalnya, sesuatu terjadi pada kita yang membuat kita marah; mungkin kita beradu mulut di awal hari. Beberapa jam kemudian, selagi bekerja dan kita masih memikirkan kejadian itu. Seiring waktu berlalu, dan kita terus ‘memasaknya’ saat makan siang, dan saat kita tiba di rumah, kita masih menyimpannya. Tapi dimana itu? Di mana kejadiannya? Ini seperti makan malam semalam— sudah lewat, sudah tidak ada.

Sebetulnya, titik nyala kebiasaan ini memberi kita kesempatan untuk melihat diri kita lebih dalam, dengan pemahaman yang lebih waskita, dengan keterbukaan yang lebih besar, untuk melihat apa yang memicu reaksi marah kita, dan untuk mengikuti alur di dalam diri kita. Yang kita butuhkan hanyalah ruang antara pemicu dan reaksi untuk melihat ke dalam dengan penuh perhatian, dengan hadir secara penuh.

Kemarahan itu emosi, perasaan.

Karena hanya dengan ‘hadir’, kita dapat melihat ‘kenyataan’ ini dengan jelas, kita akan dapat memisahkan antara ‘penyebab, percikan’ kemarahan dengan ‘perasaan marah’ itu sendiri.

Dan seperti halnya dengan semua ‘perasaan’, timbulnya hanya karena dan untuk ‘dirasakan’. Dan setelah dirasakan, perasaan akan hilang dengan sendirinya.

Dengan hilangnya kenyinyiran, hatipun mekar, hangat dan semerbak, memberi kenyamanan dan kesentosaan bagi alam ini.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *