Gunadharma hanyalah mitos nama yang didesas-desuskan sebagai arsitek Borobudur, sementara kebenarannya perlu dipertanyakan.
Sejarawan bernama Hiram Woodward lewat karyanya yang menarik berjudul Bianhong: Mastermind of Borobudur, mengupas tuntas akan kemungkinan kontribusi Bianhong dan dua kakek gurunya pada proses pembangunan Borobudur.
Ini juga membuka satu interpretasi akan adanya interaksi intens antara esoterik Tantra di Asia Timur (yang kita kenal sekarang dengan nama Shingon) dan Nusantara.
Pamor dan karya Dharma kedua sepuh Shingon yaitu Vajrabodhi dan Amoghavajra di Kerajaan Tang menyebar hingga ke Nusantara yang pernah mereka disinggahi, sampai akhirnya membuat seorang biksu asli Jawa (Kalinga) bernama Bianhong (辯弘/Ajnagarbha), pergi ke Tiongkok untuk menuntut ilmu Dharma pada Huiguo (惠果), murid Amoghavajra di Vihara Qinglong dan Daxingshan. Ia menerima inisiasi cakravartiraja-saptaratnabhiseka, termasuk Vajradhatu dan Garbhadhatu Vairocana dari Huiguo.
Di Jawa (Kalinga) tercatat bahwa Bianhong berlatih yoga Cintamanicakravarti (如意輪觀音), yang rupangnya telah ditemukan di dekat Prambanan dan Dieng.
Beliau kemudian meneruskan ajarannya ini pada biksu Quanya. Bersama segenap abhiseka yang lain seperti Vajradhatu, Quanya meneruskannya kembali pada biksu Ennin (慈覺大師), yang dikenal sebagai pewaris silsilah Tendai (Tiantai) dan Chan (Zen) Utara yang berasal dari Jepang. Jejak ajaran ini lantas dilestarikan di pusat Tendai di Gunung Hiei.
Saat ini satu-satunya naskah tulisan Bianhong yang masih bisa ditemukan adalah naskah manual Usnisa-cakravartin, sehingga saat ini di Jepang banyak ditemukan mandala Ekaksara-usnisa-cakravartin (字佛頂輪王).
Mandala ini masih sering digunakan dalam ritual-ritual hingga saat ini. Cakravarti atau rajadiraja semesta ini kemungkinan juga berhubungan dengan Erucakra, Satria Piningit, atau Ratu Adil dalam budaya Jawa. Pigeaud mengidentifikasi Erucakra sebagai Vairocana.
Pengetahuan Bianhong akan berbagai mandala dari Vairocana Buddha, menyebabkannya diduga sebagai salah satu tokoh penting dalam pembangunan Borobudur yang tampaknya merupakan karya kreatif-ekletik dari berbagai sumber sutra.
Borobudur: monumen Avatamsaka
Rupang Buddha, prasasti, jumlah tingkat dan relief Borobudur (Bhumisambhara-bhudhara) merupakan kunci utama untuk membuka segel kebijaksanaan apa yang ada di dalam bangunan mandala tersebut. Salah satu kitab yang disebut-sebut menjadi pilar utama pendirian Borobudur adalah Sutra Avatamsaka, sutra penting Vairocana.
Di dalam kumpulan Sutra Avatamsaka yang amat banyak ini, terdapat Sutra Gandavyuha yang menjadi cerita 388 panel relief di Borobudur dan Bhadracari-pranidhana dengan 72 panel relief. Buddha membentuk dharmacakramudra dalam relung stupa merupakan penggambaran apa adanya dari Sutra Gandavyuha-Bhadracari.
10 tingkatan Borobudur merepresentasikan 10 bhumi Bodhisattva disadur dari bab Sutra Dasabhumika. Susunan dan jumlah 6/7 jenis Buddha di Borobudur juga persis dengan apa yang diuraikan dalam Sutra Avatamsaka (Vairocana, Aksobhya, Amitabha, Candramati, Suryagarbha, Bhadrasri, Vajramahaprabha).
Perlu diketahui pula bahwa 3 sub-bab Avatamsaka yang dipakai di Borobudur ini sangat populer di Tiongkok:
1. Sutra Gandavyuha (大方廣佛華嚴經入法界品) yang mengisahkan perjalanan Sudhana menemui guru-gurunya menjadi begitu terkenal di Tiongkok hingga mengilhami lahirnya tokoh Shancai Tongzi, sosok bocah asisten Avalokiteshvara yang acapkali muncul di novel Xiyuji (Perjalanan Ke Barat) dan sejumlah legenda baojuan lainnya.
2. Sutra Dasabhumika (大方廣佛華嚴經十地品) menjadi peletak dasar berdirinya aliran Dilun di Tiongkok oleh murid-murid Ratnamati dan Bodhiruci, yang kemudian menjadi cikal bakal aliran Huayan.
3. Bhadracari-pranidhana (大方廣佛華嚴經普賢行願品) hingga saat ini juga selalu dilantunkan di dalam ritual harian Mahayana Chan. Amoghavajra menerjemahkan Bhadracari-pranidhana ke dalam bahasa Mandarin dan Subhakarasimha menekankan pentingnya mendaras Bhadracari dalam ritual harian.
Berbeda dengan sepupunya India dan Tibet, di Tiongkok, ajaran Sutra Avatamsaka dianggap oleh sebagian besar aliran Buddhis Mahayana di sana sebagai yang terpenting, raja dari para Sutra.
Ketika Borobudur mulai dibangun pada tahun 750-850 M, Sutra Avatamsaka sedang naik daun di dataran Tiongkok lantaran biksu Fazang (643-712 M), salah satu bekas murid Xuanzang (602-664 M) yang tersohor itu, baru saja memopulerkan aliran Huayan (Avatamsaka) sebagai perkembangan dari aliran filosofi Yogacara (Weishi) yang didirikan Xuanzang dan aliran Dilun.
Pada zaman dahulu, biksu Fazang (法藏) terkenal membuat sebuah desain Dharmadhatu Avatamsaka di Vihara Jianfu di Changan. Konon Biksu Bianhong dari Jawa mengunjungi vihara ini dan melihat konstruksi tersebut di sana.
Biksu Bianhong di Chang’an juga turut berpatisipasi dalam karya penerjemahan biksu Prajna (般若). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa versi naskah Gandavyuha-Bhadracari yang diterjemahkan biksu Tantrik bernama Prajna dari Kashmir (796-798) memberikan referensi yang akurat dan paling cocok dengan relief Borobudur.
Terlebih lagi dikisahkan bahwa Prajna menghabiskan waktu cukup lama di area Laut Selatan atau bisa dikatakan beliau menetap di Jawa dan Sumatra selama beberapa saat. Fakta ini semakin memperkuat hubungan antara beliau dengan Borobudur.
Memasuki Mandala Pencerahan Seketika
Borobudur dikenal sebagai perwujudan tiga dimensi dari Vajradhatu Mandala yang berasal dari naskah Sarvatathagata-tattvasamgraha.
Mandala tersebut bertokoh sentral Buddha Vairocana, sama dengan tokoh sentral Sutra Avatamsaka. Inilah kemungkinan alasan mengapa Dharmadhatu Avatamsaka digambarkan terpengaruh pola Vajradhatu.
Biksu Kukai yang juga murid dari biksu Prajna, menempatkan Sutra Avatamsaka atau aliran Huayan sebagai kendaraan eksoteris yang paling tinggi.
Terjemahan bahasa Mandarin untuk Sutra Gandavyuha adalah “Memasuki Dharmadhatu”. Di Tiongkok, Amoghavajra menerjemahkan Dafangguang fo Huayanjing Rufajiepin dunzheng Piluzhena fashen zilun yujia yigui (大方廣佛花嚴經 入法界品頓證毘盧遮那法身字輪瑜伽儀軌 – Prosedur Ritual Yoga Seketika Merealisasi Dharmakaya Vairocana, Dari bab “Memasuki Dharmadhatu” Sutra Buddhavatamsaka).
Jadi ketika memasuki Borobudur, ini berarti kita memasuki mandala Dharmadhatu. Dalam ritual Tantrik Avatamsaka di Tripitaka Tiongkok itu, momen memasuki Dharmadhatu Avatamsaka ini disebut dengan sebutan dun (pencerahan seketika).
Ini selaras dengan pernyataan guru-guru Chan bahwa darsana-marga/ pencapaian marga bhumi Bodhisattva pertama (Mahayana Srotapanna) adalah pencerahan (見性, dunwu jianxing / jiandao) yang mau dituju dalam Chan. Biksu Zongmi (宗密/780-841), patriark Huayan yang ke-5 adalah biksu pertama yang mensintesiskan filosofi Huayan ini dengan silsilah Chan Selatan aliran Heze yang ia warisi. Setelah itu akhirnya muncul jargon: “Huayan dan Tiantai adalah filosofinya. Chan adalah praktiknya.”
Menurut kitab terjemahan Amoghavajra, para bodhisattva yang tercerahkan seketika (頓悟/dunwu), secara seketika pula mengumpulkan kebajikan dan kebijaksanaan (福德智慧/punyajnanasambhara). Istilah “punyajnana” ditemukan di prasasati Kayumwungan (824), sebuah prasasti yang berkaitan erat dengan pembangunan Borobudur.
Dalam satu naskah Dunhuang, dikatakan pencerahan seketika bhumi kedelapan (avaivartika) dari para guru-guru Chan juga diidentikkan dengan Buddha Mahavairocana.
Di pencapaian marga bhumi pertama, kesunyataan (sarva-dharma-sunyata) sudah “terlihat” atau dialami langsung namun Kebuddhaan belum tercapai. Bodhisattva harus terus menyempurnakannya hingga kebijaksanaannya itu berdiam terus menerus tak terputus.
Inilah simbolisasi dari pradaksina dari dasar menuju puncak Borobudur, yaitu perjalanan dari marga bhumi Bodhisattva pertama hingga kesepuluh dan Kebuddhaan itu sendiri.
Keterkaitan Mandala Vairocana dan Nusantara
Naskah-naskah yang dibawa para misionaris biksu praktisi Tantra ke Asia Timur untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa memang terbukti lestari di Nusantara lewat berbagai penemuan.
Misalnya mantra Sutra Susiddhikara (蘇悉地羯羅經) yang diterjemahkan Subhakarasimha ditemukan 100 meter dari Borobudur sedangkan mantra Sarvatathagata-tattvasamgraha (金剛頂一切如來真實攝大乘現證大教王經) yang diterjemahkan Amoghavajra ditemukan di kompleks Ratu Boko.
Sejumlah besar kitab lainnya seperti teks Sutra Mahavairocana (大日經) yang diterjemahkan Subhakarasimha, teks Adhyardhasatika Prajnaparamita (理趣經) yang diterjemahkan Amoghavajra dan Japa Sutra yang diterjemahkan Vajrabodhi juga banyak sekali padanannya di kitab Sanghyang Kamahayanikan yang ditemukan di Lombok.
Bahkan hampir keseluruhan syair kitab Kamahayanikan dapat ditemukan dalam naskah Sanskerta Sriguhyasamajamandalopayikavimsatividhi (Guhyasamaja) karya Nagabodhi (龍智菩薩), guru dari Vajrabodhi.
Keberadaan silsilah Vajradhatu yang dibawa oleh Amoghavajra dan Vajrabodhi di Jawa semakin diperkuat dengan disebutkannya Bajradhatu Subhuti Tantra sebagai praktik Raja Kertanegara dalam kitab Nagarakrtagama dan ditemukannya rupang-rupang lengkap Vajradhatu era Kediri di Nganjuk, Jawa Timur. Maka dari itu jelaslah para biksu leluhur Shingon punya pengaruh kuat di Jawa.
Pada tahun 982-1012 M, Tiongkok juga kedatangan biksu penerjemah India bernama Danapala (施護). Beliau menerjemahkan banyak naskah Tantra termasuk Guhyasamaja Tantra (一切如來金剛三業最上秘密大教王經) ke dalam bahasa Tionghoa.
Biografi beliau menyebutkan bahwa Danapala ternyata juga sangat mahir dalam bahasa Sanfoqi (Sumatera) dan Shepo (Jawa).
Penulis dan executive editor majalah Buddhis Sinar Dharma, aktivis komunitas Chan Indonesia, dan co-founder dari Mindful Project
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara