Ketika guru bertanya, “Siapa yang memiliki televisi di rumah?” seluruh anak mengangkat tangan sambil berkata, “Saya!”
Ya! Itulah situasi ketika sebuah kelas TK di pelosok Kabupaten Temanggung. Saat itu sedang membahas tentang alat komunikasi. Seluruh anak sangat bersemangat membicarakan handphone.
Awasi televisi dan gadget
Televisi dan gadget sudah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat, bahkan di pelosok desa. Tayangan televisi yang sarat dengan tindakan kekerasan banyak ditampilkan. Bagi anak yang belum bisa memilih program tayangan, secara otomatis apa yang ditonton orangtua juga menjadi tontonannya.
Orangtua sering tidak menyadari tayangan yang mereka tonton sebenarnya layak atau tidak untuk ditonton anaknya. Bahkan terdapat tayangan anak-anak, namun ada adegan kekerasan. Anak menjadi pahlawan, yang dengan mudah dapat mengalahkan penjahat melalui kemampuan bela dirinya.
Hal itu seperti masalah yang sepele, namun pada kenyataannya, kekerasan yang dilakukan anak masih kerap terjadi. Dalam kelas dari 14 anak laki-laki, 10 di antaranya suka main perang-perangan, dan 1 anak menjadi pelopor untuk main tembak-tembakan atau mengebom.
Game
Ketika ditanya, ternyata anak tersebut melihat ketika ayahnya bermain game tembak-tembakan di handphone. Bahkan saat ada pertengkaran, hampir seluruh siswa ikut terlibat dalam mem-bully temannya.
Orangtua terkadang tidak menyadari keberadaannya sewaktu bersama anak, alih-alih menemani anaknya untuk bermain, malah asyik bermain game di gadget-nya. Game berbau kekerasan biasanya lebih menantang, sehingga orangtua lebih asyik bersama gadget dan sang anak menjadi tertarik untuk nimbrung mengamati game tersebut. Apa yang sudah dilihat, direkam, dan siap untuk dipraktikkan. Inilah dunia anak-anak.
Disampaikan dalam buku: narkoba terselubung, video game kekerasan penghambat perkembangan karakter anak, yaitu setiap game (termasuk yang tanpa kekerasan) memang akan menimbukan efek ketagihan, namun game kekerasan akan menimbulkan efek yang disebut “stimulus addiction”.
Kebiasaan yang terbentuk akibat sikap reaktif yang ditimbulkan oleh aksi kekerasan dalam game, anak-anak akan semakin membutuhkan tingkat permainan kekerasan yang tinggi untuk memenuhi kepuasannya.
Game edukatif dapat merangsang anak berpikir strategi, sedangan game kekerasan merangsang anak untuk bereaksi cepat, bahkan tanpa berpikir dulu.
Baca juga: Jangan Ciptakan Monster di Rumah Anda
Game kekerasan mengaktivasi batang otak (otak reptil) yang berfungsi untuk siaga, menyerang atau lari. Ketika bermain game kekerasan, hormon kortisol banyak dikeluarkan karena tubuh dalam keadaan tegang. Hormon tersebut merupakan racun bagi otak, karena dapat membunuh sel-sel otak hippocampus (untuk memori).
Anak yang sudah kecanduan game kekerasan dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti: sulit mengontrol emosi, depresi, timbul masalah AD/ADHD (Attention Defisit/Attention Defisit Hyperaktive Disorder) (Megawangi, DKK. 2011: 11-17).
Terdapat puisi tentang anak yang sangat terkenal dengan judul Children Learn What They Live yang ditulis oleh Dorothy Law Nolte yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Jalaludin Rakhmat.
Anak-anak belajar dari kehidupannya
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyayangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Anak belajar dari segala hal yang bersentuhan dengannya, entah di jalan, ruang umum, orangtua, dewasa, teman sebaya, anak kecil, dan segala fasilitas yang ada. Pengalaman yang baik menuntun anak untuk berpikir, berucap, dan bertindak baik, demikian juga pengalaman yang buruk akan memotivasi anak untuk berperilaku buruk.
Menghadapi anak yang reaktif sekalipun harus dengan kesabaran dan kasih sayang. Seperti halnya dalam agama Buddha diajarkan bahwa tindakan buruk jangan dibalas dengan tindakan buruk, tetapi dengan cinta kasih. Ciptakan dan budayakan kegiatan yang mengajarkan cinta, kasih sayang, rasa empati, dan simpati.
Tinggal di Temanggung, Jawa Tengah. Kepala Sekolah Paud Saddhapala Jaya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara