• Thursday, 30 November 2017
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Baru-baru ini MK mengeluarkan amar putusan yang menetapkan bahwa para penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dapat ditulis pada kolom agama dalam KTP mereka.

Ini merupakan sebuah langkah yang patut diapresiasi atas keberhasilan pemerintah untuk bersikap adil terhadap agama-agama asli Nusantara. Lantas apakah cukup hanya sebatas amar putusan ini saja? Ataukah akan muncul kendala-kendala teknis maupun non-teknis selanjutnya sebagai akibat dari penerapan amar putusan ini?

Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, apa itu?

Sesuai dengan Pancasila NKRI, sila pertama menetapkan bahwa landasan negara Indonesia adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini kemudian sering diejawantahkan bahwa semua penduduk Indonesia wajib memiliki (hanya) satu agama/kepercayaan saja.

Sejauh ini terdapat 6 agama yang diakui oleh pemerintah: Islam sebagai agama mayoritas, diikuti oleh Kristen Protestan dan Katolik, Hindu dengan penganut mayoritas di Bali, Buddha dengan jumlah kurang dari 2 juta orang, dan terakhir Khonghucu yang menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya negara di ASEAN yang mengakui Khonghucu sebagai sebuah agama resmi.

Tetapi selain 6 agama resmi ini, Indonesia memiliki beragam aliran kepercayaan yang beberapa di antaranya bahkan sudah ada terlebih dahulu sebelum kedatangan agama-agama resmi di atas. Contohnya adalah Sunda Wiwitan, Sapto Dharmo, Kejawen, dll.

Selama ini, meskipun mereka adalah agama-agama asli Nusantara, para penganut agama ini sering didiskriminasi dan diremehkan hanya karena mereka seorang penghayat dan bukan seorang pemeluk agama. Beragam aliran kepercayaan ini berusaha tetap bertahan ditengah arus utama dan berupaya mendapatkan pengakuan dari pemerintah.

Sebelum keluarnya amar putusan MK di atas, para penghayat ini kesulitan mengurus segala macam bentuk administrasi seperti akta kelahiran, surat nikah, dll, hanya karena kolom agama mereka kosong (tidak dituliskan) dalam KTP mereka.

Padahal keberadaan mereka diakui dan dijamin oleh negara Indonesia dalam UUD 1945. Keberhasilan yang telah lama dirindukan oleh para penghayat ini akhirnya terkabul juga dengan diterbitkannya amar putusan MK terkait kolom agama di KTP para penghayat kepercayaan.

Lantas, apakah hal ini selesai begitu saja? Dikeluarkannya putusan ini tentu memiliki beragam konsekuensi yang harus ditangani secepatnya. Misalnya soal penulisan seperti apakah di dalam kolom agama, mengingat jumlah dan jenis aliran kepercayaan di Indonesia sendiri ada begitu banyak.

Konsekuensi lainnya adalah soal pembelajaran agama kepercayaan di sekolah-sekolah. Penyediaan guru agama untuk berbagai aliran kepercayaan tentu menjadi sebuah persoalan lain yang juga harus disikapi.

Pandangan Buddhis terhadap penghayat kepercayaan

Hal ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan pandangan Buddhis terhadap agama lain. Agama Buddha sering dianggap sebagai agama yang toleran terhadap penganut agama maupun kepercayaan lain.

Agama Buddha mudah berakulturasi dengan tradisi budaya setempat dan tidak menolak keberadaannya. Bahkan tradisi budaya ini sering kali menyatu dengan ajaran Buddha menjadikannya unik dan bervariasi. Inilah kekayaan dan keunggulan agama Buddha. Tidak pernah memaksakan dan selalu menyelami hakikat masing-masing.

Demikian pula dalam perkembangannya di Indonesia, agama Buddha selalu berusaha menghargai dan menghormati aliran-aliran kepercayaan yang telah ada di Indonesia. Dalam Sutta Kalama, Buddha mengajak penduduk Kalama untuk berpikir secara kritis tentang ajaran manakah yang seharusnya diterima atau ditolak – tanpa perlu melihat dari manakah atau dari agama apakah kebenaran tersebut berasal.

Apabila sebuah ajaran dari suatu kepercayaan atau agama itu dipikir, dipraktikkan, dan memeroleh manfaat yang baik, maka Buddha menganjurkan kita untuk menerimanya. Sebaliknya apabila sebuah ajaran dari suatu agama atau kepercayaan itu bila setelah direnungkan atau dipraktekkan kemudian memberi kerugian bagi diri sendiri maupun makhluk lain, maka ajaran itu harus ditinggalkan.

Demikian pula pada saat Buddha menasehati Upali, seorang jutawan. Upali sebelumnya adalah penganut agama lain dan hendak berubah menjadi siswa Buddha. Tetapi dia bingung bagaimana cara untuk menyikapi guru agama sebelumnya.

Dalam hal ini, Buddha menasehati agar dia tetap menghormati guru agamanya sebelumnya dan menyokong mereka sebagaimana yang telah dia lakukan biasanya. Hal ini menunjukkan kualitas Buddha yang toleran dan menghargai pemeluk agama lain.

Sepanjang hidupNya, Buddha selalu mengajak orang-orang untuk saling menghargai dan menghormati satu sama lain meskipun terdapat perbedaan pandangan atau opini atas sesuatu.

Demikian pula kita perlu meneladani sikap Buddha tersebut. Tidak sekedar dalam tataran teori, tetapi juga praktik dalam kehidupan sehari-hari.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia program Doktoral di bidang Construction project management.

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *