Demikianlah yang belum pernah saya dengar…
Familiar kan dengan kalimat di atas? Iya benar, itulah kalimat pembuka dari Kitab Pali dan juga Kitab Mahayana, hanya mengalami perubahan kecil.
Belum pernah dengar Sutra Tentang Pare (苦瓜經, Pinyin: Kǔguā jīng) kan? Jangan coba-coba cari di Pali Pitaka atau 大藏經 (Pinyin: Dazang Jing), apalagi Tibet Pitaka (བཀའ་འགྱུར baca: Kangyur Wylie: bKa’ ‘Gyur). Walaupun tidak ada di dalam Tripitaka, namun apabila Anda jeli, maka bisa menemukan kisi-kisinya di sana-sini. Buddha juga merenungkan fenomena yang hadir di sekitarnya, tampaknya pahit menjadi satu bagian renungan itu.
Kita pasti tahu rasanya pare. Yes, pahit. Saya waktu kecil pernah coba pare, rasanya tidak keruan, dan langsung saya buang, kakak saya langsung ngomel, “Sudah dibilang pahit, tapi tidak percaya”. Mulai saat itu saya tidak pernah mau mencicipi pare lagi, alasannya simpel, pahit!
Karakter Mandarin dari pahit adalah Kǔ (苦), dan ternyata dalam konteks dukkha juga menggunakan istilah yang sama. Dukkha dalam bahasa sehari-hari adalah duka, istilah ini sudah cukup jelas maknanya, walaupun kadang disebut sebagai suatu ketidakpuasan. Orang Tiongkok menyebutkan bahwa pahit adalah duka.
Pernah minum obat herbal yang digodok dengan 5 gelas air menjadi 1 gelas? Nah itu juga pahitnya minta ampun. Anak-anak pada umumnya tidak suka, namun sang ibu selalu punya trik untuk membuat mereka minum. Pahit itu mungkin tidak sedap di mulut, namun ketika obat itu sudah masuk ke dalam sistem pencernaan, manfaatnya ternyata besar, bahkan menyembuhkan berbagai penyakit tanpa banyak menimbulkan efek samping. Sesuai peribahasanya 良藥苦口 (Pinyin: Liángyào kǔkǒu), obat menyembuhkan namun pahit rasanya.
Pare itu pahit, namun menyehatkan, tahukan kalau pare bisa menurunkan kadar gula dalam darah? Pare itu ternyata megandung vitamin C yang sangat banyak, antioksidan, dan beberapa varian vitamin B, terakhir pare bisa membantu mengurangi gangguan pencernaan dan sembelit. Nah banyak juga manfaat pare dari hasil penelitian.
Pengalaman menjadi anak indekos memang berkah yang tak pernah saya lupakan, saya mulai makan apa adanya, terutama waktu di Bandung, warteg (baca: warung Tegal) adalah tempat yang sering saya kunjungi. Awalnya saya tidak suka pare, namun pelan-pelan telah berubah menjadi makanan favorit, karena semua menu sudah pernah saya coba, muter sana sini sayur itu-itu saja, akhirnya coba makan pare, ternyata not too bad!
Sehebat apa pun sang koki memasak, pare tetap saja pahit, tampaknya tak ada cara untuk mengelak dari rasa pahit. Se-bahagia apa pun manusia hidup di dunia ini tetap tidak bisa menghindari pahitnya kehidupan, bukan tujuan kita menghindarinya tapi tugas kita merubahnya, mentransformasikannya menjadi sesuatu yg bermanfaat daripada dibuang begitu saja.
Pare, Kǔguā (苦瓜), Pahit, Kǔ (苦), merupakan suplemen bagi kesehatan dan kebahagiaan, demikian juga Bhante Thich Nhat Hanh pernah berkisah tentang pengalaman makan pare, pahit di mulut tapi manis di perut. Beliau juga sering menggunakan perumpamaan lain seperti lumpur dan teratai. Manusia hanya mau teratainya saja dan kalau bisa semua lumpur dibuang. Teratai tidak bisa tumbuh di atas batu, ketika Anda membuang semua lumpur (baca: pahit atau derita) maka teratai (baca: manis atau kebahagiaan) akan mati. Semua orang butuh dosis pahit secukupnya agar dia bisa mengerti kontrasnya, asal jangan overdosis saja!
Ingat, kawan! Ada perumpaan dokter yang memberikan diagnosa kepada pasien atas penyakitnya, setelah itu dokter akan memberikan resep yang harus ditebus di apotek. Ikutilah instruksi makan dan dosis yang ditentukan. Jika engkau tidak sabar ingin segera sembuh dengan cara meneguk semua obat itu, maka mudarat sudah di depan pintu.
Hidup di dunia ini, janganlah berharap untuk membuang semua derita, hidup di dunia ini janganlah hanya berharap meraup semua kebahagiaan saja. Dua kutub ini sama-sama mendatangkan ketidakpuasan, kekecewaan, bahkan frustrasi. Bukan demikian sikap yang diajarkan oleh Buddha. Ketika pahit datang maka kita makan dengan ketegaran agar pahit ini menjadi obat bagi mental dan badan jasmani, demikian juga manis yang menjadi kekuatan.
Ingatlah prinsip sesuai dosis. Kehidupan manusia sudah banyak sekali kesulitan-kesulitan, Anda tidak perlu dengan sengaja menciptakan pahit yang tidak diperlukan. Kesulitan akan datang sesuai dengan kondisi-kondisi, kemudian kesulitan ini akan bersama kita sejenak kemudian pergi. Setelah itu datanglah kebahagiaan yang juga memiliki prinsip serupa, dia datang, bersama kita sejenak dan dia akhirnya tetap harus pergi meninggalkan kita. Dua kutub ini akan terus datang dan pergi silih berganti, Anda tidak bisa berharap satu saja. Ketika Anda berharap satu kutub saja, maka kutub berlawan arah juga ikut bersamanya, seperti Anda berharap naik maka turun langsung mengikuti, karena mereka satu paket.
Ketika pahit datang, maka rasakanlah, jangan lupa bahwa “pahit” selalu ada sebabnya. Kabar gembiranya adalah pahit itu juga terimbas impermanen dan bisa ditransformasi, cara transformasinya lewat latihan, yaitu konsentrasi dan pengertian.
Mereka yang sudah terbiasa dengan rasa pahit, maka sudah tidak takut lagi, tiada rasa takut, tiada rasa penolakan, tiada rasa tidak nyaman, mereka terbebas dari penghakiman sepihak tentang rasa apa pun. Mereka bisa menerima dengan lapang dada.
Setelah Anda selesai membaca sutra ini, pikiran menjadi jernih, hati menjadi terbuka untuk menerima hal-hal yang pahit, Anda bahkan bisa senyum kepada pahit dan tiba-tiba berubah menjadi manis. Anda senyum kepada manis dan sudah siap untuk menerima kedatangan pahit.
Demikianlah Sutra tentang Pare telah selesai disampaikan.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara