Kata agama sangat lekat dengan masyarakat Indonesia, apalagi semenjak Peristiwa 1965, penguasa orba mengharuskan setiap warga negara Indonesia wajib memiliki agama. Dimulailah Kartu Tanda Penduduk dengan kolom agama, dan pilihannya hanya 6 yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Tak jarang di beberapa daerah pada masa tersebut terdapat oknum yang memanfaatkan momen ini, dengan memberi masyarakat hanya 2 pilihan yaitu Islam atau Kristen.
Hal ini dapat terjadi karena beberapa hal, pertama adalah penggunaan kata agama secara sempit untuk menerjemahkan kata religion. Padahal kata ini berasal dari barat, yang merujuk pada religi abrahamik. Tentu yang paling memenuhi syarat adalah sistem religi yang berasal dari tradisi abrahamik. Cirinya adalah monoteis, dengan nabi, ritual baku, kitab suci, tempat ibadah massal dan organisasi keagamaan.
Sementara sistem kepercayaan yang berasal dari Timur termasuk kepercayaan asli Nusantara harus berjuang untuk mendapatkan rekognisi dari negara. Ironisnya kata agama sebetulnya berasal dari kosa kata agama-agama Timur seperti Hindu, Buddha, dan Jain, baik dalam bahasa Sansekerta, Pali, Prakrit, Kannada, Hindi, dan Marathi.
Agama sesungguhnya memiliki spektrum pengertian yang luas, mulai dari teks-teks suci, datang, kumpulan wacana Buddha, kerja sektarian yang mengandung materi-materi yang bersifat mitologi, epik, dan filosofi serta alternatif atau tambahan bagi teks-teks tradisional. Bahkan dalam bahasa Kannada yang digunakan kaum Dravida, agama juga diartikan sebagai detail pengetahuan dan teknik penghormatan atau pemahatan patung-patung untuk keperluan spiritual.
Kedua, pasca peristiwa 1965 hoaks yang diyakini hingga kini adalah bahwa orang-orang komunis sama dengan atheis, dan anti religi. Minimnya literasi tentang agama di luar kedua agama di atas membuat para oknum meyakini di luar keduanya, cenderung dianggap belum beragama sehingga wajar menjadi sasaran konversi. Kolom Kristen di KTP bahkan hingga kini masih menyisakan persoalan, karena banyak juga umat Katolik yang di KTPnya tertulis Kristen, inipun karena ulah oknum atau kesalahpahaman. Sementara di beberapa daerah lain, banyak juga umat Buddha yang tiba-tiba di kolom agamanya tercetak Konghucu sehingga mereka harus mengurus kembali ke Dukcapil untuk memperbaiki kolom agamanya. Lebih banyak lagi kasus dari mereka yang memeluk agama lokal, meski sekarang sudah terdapat kolom Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Lucunya, ada juga kasus dimana satu keluarga beragama Buddha yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan empat anak ketika memperbaharui Kartu Keluarga ternyata seluruhnya berubah menjadi Konghucu. Konyolnya, ketika mengurus ke dinas dukcapil setempat, hanya orangtua yang diubah agamanya sementara untuk anak-anak tidak diperbolehkan. Alasannya, agar mereka memilih saat dewasa. Padahal isi kolom agama seharusnya bukan urusan petugas dukcapil, yang hanya bertugas mencatat bukan menentukan. Apalagi perubahan agama di dokumen kependudukannya tersebut bukan kehendak penduduk, justru petugas seharusnya membantu mencatat yang sebenarnya. Ini terjadi di salah satu wilayah di Kalimantan Barat.
Lain halnya dengan seorang pemudi asal Bangka, yang tampaknya juga mengalami hal serupa. Di sebuah konten Youtube berjudul Tebak Agama Season 1 Episode 2, terdapat 8 anak muda yang saling berinteraksi lalu menebak agama lawan bicaranya. Salah seorang pemudi dari Bangka, ketika ditanya menyatakan bahwa dirinya beragama Buddha tapi KTPnya Konghucu. Ia pun melanjutkan “Hati saya Buddha tapi KTP Konghucu.”
Bagaimana hal ini bisa terjadi dan bagaimana peluang perbaikannya secara nasional? Bukankah sekarang telah hadir Identitas Kependudukan Digital, yang seharusnya dapat mempermudah berbagai urusan pemiliknya? Pengumpulan data dari seluruh Indonesia bagi mereka yang kolom agamanya belum sesuai dengan kenyataan, penting dilakukan. Jika dipersempit, untuk umat Buddha, daerah Kalimantan, Bangka Belitung dan sekitarnya bisa menjadi prioritas, karena sudah ada indikasi awal kasus-kasus tersebut di atas. Bisa jadi ini adalah fenomena puncak gunung es, atau hanya kasuistik akibat ulah oknum yang tidak bertanggung jawab. Ini yang perlu dijawab melalui suatu penelitian.
*Peneliti Institut Nagarjuna.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara