“Kebaikan dalam kata-kata menciptakan keyakinan, kebaikan dalam berpikir menciptakan kebesaran hati, kebaikan dalam tindakan menciptakan cinta,” Lao Tzu.
Terdapat suatu istilah yang bersifat ambigu untuk menggambarkan penyatuan pelbagai kearifan luhur di dunia ini tidak terkecuali dengan ajaran Tridharma. Istilah tersebut adalah sinkretisme, yang sering diartikan sebagai pencampuradukkan pelbagai unsur aliran atau paham keagamaan.
Tridharma sebagai kearifan luhur masa lalu baik bagi orang Tionghoa maupun masyarakat kuno Nusantara merupakan produk dari peradaban jalur sutra, baik jalur sutra darat ataupun jalur sutra laut. Jalur sutra darat menghubungkan ibu kota Dinasti Tang Tiongkok di timur ke Roma, ibu kota Italia di barat.
Jalur tersebut dibuka oleh seorang jenderal bernama Zhang Qian dari Dinasti Han menuju Afghanistan, Uzbekistan, Iran, dan sampai Alexandaria Mesir. Terdapat pula cabang lain yang akan melewati Pakistan, Afghanistan, hingga Teluk Persia.
Sedangkan jalur sutra laut menghubungkan pelabuhan Guangzhou, Tiongkok Selatan ke Selat Malaka, dan terus sampai ke Sri Lanka, India, dan pantai timur Afrika. Penamaan Jalur Sutra mengacu pada kegiatan perdagangan sutra yang dilakukan oleh para pedagang Tiongkok di sepanjang jalan tersebut semasa pemerintahan Dinasti Han (206 SM-220 M) oleh seorang ahli geografi asal Jerman, Ferdinand von Richthofen, yang menyebut Silk Road (Jalur Sutra) dalam beberapa kali ekspedisinya ke Cina di antara tahun 1868-1872.
Akulturasi
Jalur Sutra juga memainkan peranan penting dalam proses akulturasi masyarakat di kawasan yang dilalui oleh rute tersebut. Akulturasi yang terjadi bukan hanya di bidang budaya, melainkan juga agama, filsafat, dan teknologi. Pada periode peradaban tertentu, rute ini selalu ramai dilewati para pedagang, pengelana, biarawan, tentara, dan kaum nomaden dari pelbagai negara.
Sutra sebagai komoditi perdagangan memiliki mitologi tersendiri dalam khazanah kearifan luhur bangsa Tionghoa. Dikisahkan bahwa Permaisuri dari Kaisar Kuning (Huangdi 黄) yang bernama Xiling Shi (西陵氏), ketika minum teh dibawah pohon murbei cangkir tehnya kejatuhan kepompong/cocoon ulat sutra, ketika kepongpong yang masuk ke dalam teh hangatnya di angkat tenyata mendapatkan seutas benang putih dari kepompong tersebut, benang ini sangat kuat dan panjang yang bisa dia untai di jarinya.
Menyadari benang ini bisa dipintal dan ditenun menjadi kain, maka sejak itu lahirlah alat pintal yang didesain sendiri oleh Kaisar Kuning yang mampu memproduksi kain sutra. Putri Hsi-Ling-Shih dianggap berjasa memperkenalkan ulat sutra dan cara pengembangbiakannya.
Mitologi proses tenun dari benang kepompong ulat sutra ini telah meneguhkan tentang hakikat penyatuan keberagaman berbagai bangsa sebagai tenunan peradaban dunia yang harmonis.
Tridharma (Hanzi: 三教, Pinyin: San Jiao; Hokkian: Sam Kauw) memiliki pengertian Tiga Ajaran. Istilah ini merujuk pada tiga ajaran yang menjadi dasar ajaran Tridharma, yaitu Tao, Khonghucu, dan Buddhis. Tridharma berasal dari kata Tri dan Dharma. Tri berarti “tiga” dan Dharma berarti “ajaran kebenaran”.
Jadi secara harafiah, Tridharma berarti “tiga ajaran kebenaran”, yaitu ajaran Sakyamuni Buddha, ajaran Nabi Khong Hu Cu, dan ajaran Nabi Lao Tzu. Tridharma merupakan kearifan luhur orang Tionghoa sejak masa Dinasti Donghan (sekitar Abad I) setelah agama Buddha masuk ke Tiongkok yang kemudian mengikuti migrasi bangsa Tionghoa ke pelbagai belahan dunia.
Bahkan setelah ajaran Tridharma sampai ke Nusantara, di tempat ibadah Tridharma atau yang lebih kita kenal sebagai Klenteng, selain objek pemujaan tokoh utama yaitu Sakyamuni Buddha, Nabi Khong Hu Cu, dan Nabi Lao Tzu serta para dewata langit dan bumi dalam kosmologi bangsa Tionghoa, banyak kita temui pula pemujaan terhadap dewata atau figur lokal setempat di Nusantara yang diistilahkan dengan datuk atau danghyang smarabhumi.
Bicara mengenai kearifan hari ini, kita lebih cenderung disuguhkan pada sesuatu hal yang bersifat paradoks. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memicu globalisasi dunia yang serba terbuka di satu sisi, akan tetapi gejala sekat-sekat keagamaan di sisi lainnya.
Tuntunan hidup yang hanya berkutat pada kutipan ayat ketimbang implementasi amalan ajaran. Pernak-pernik kegiatan keagamaan daripada esensi sejati makna simbolik yang harus dikupas. Kultus individu daripada kualitas keteladanan tokoh pemimpin agama.
Kebanyakan orang hanya melihat kearifan dalam bingkai paradigma institusi lembaga keagamaan, ataupun definisi sempit berdasar klasifikasi agama, apakah termasuk dalam kategori agama wahyu atau agama budaya, agama Timur atau agama Barat, agama spiritualistik atau agama materialistik, theisme, atheisme, polytheisme, dinamisme, atau animisme, bersumber pada kitab suci atau kitab hidup, apakah memiliki nabi sebagai pendiri agama ataukah tidak?
Sejatinya potensi terbesar manusia terletak pada kualitas kemanusiaannya dalam mengaktualisasikan diri terhadap sesama kehidupan, lingkungan semesta hingga mencapai kesadaran Ketuhanannya. “Dharma” sendiri merupakan tuntunan, pedoman atau pola hidup yang benar (jalan kebenaran) bagi setiap insan menuju pada kualitas super human.
Baca juga: Seluas Alam Semesta
Sebuah perjalanan metamorfosis atau juga evolusi spiritual manusia menjadi manusia utama, manusia unggul paripurna dan manusia adiluhung. Di Nusantara kuno, sebagai jalur sutra laut istilah Tri Dharma juga dikenal sebagai tiga tataran Dharma dalam menjalani dan mengekspresikan laku spiritual. Tri Dharma merupakan suatu keniscayaan pedoman bagi seluruh bangsa Nusantara.
Dharma pertama adalah yang disebut sebagai Dharma Bhakti yaitu pengabdian tulus kepada Tuhan, negara, agama, leluhur, orangtua, guru, kerabat keluarga, dan masyarakat. Dharma yang kedua adalah yang disebut sebagai Dharma Suci yaitu perjalanan penaklukan diri sendiri melalui laku ascetic (brahmacari – laku petapa), tumbuhnya sikap tenggang rasa (tepa salira) hingga mawas diri (mulat salira) yang mana perhatian hidupnya mulai diarahkan ke dalam dirinya sendiri, diteliti, diselidiki, di analisa, apa yang diri sendiri tidak ingin diperlakukan oleh orang lain, maka orang lain tentu tidak ingin diperlakukan seperti itu juga. Berhati-hati dalam bertindak kepada orang lain, berharap bisa memberikan kenyamanan bagi orang lain, atau setidaknya tidaklah menyusahkannya.
Di dalam Dharma Suci, seseorang mengembangkan sikap eling (sadar) dan waspada terhadap semua bentuk pikiran, persepsi, perasaan, dan kesadaran yang muncul, untuk kemudian menyadari proses timbul tenggelamnya, kait mengaitnya satu sama lain di dalam batin.
Proses penenangan diri ini merupakan usaha mencapai kejernihan dalam mengamati apa yang ada di luar, apa yang di dalam dan yang dari-dalam-keluar, maupun dari-luar-ke-dalam, diperiksa dengan penuh kesadaran menyeluruh, waspada, apakah pikirannya penuh dengan hawa nafsu atau tidak, penuh dengan kebencian atau tidak, menyeleweng atau tidak, sudah tepat atau belum.
Selanjutnya adalah Dharma Agung yaitu menjalani lau tapa di tengah keramaian dunia (tapa ngrame), sebuah bentuk laku yang tidak memberikan jarak antara spiritualitas dan dunia (membumi). Kawasan praktik spiritual masyarakat Nusantara kuno dikenal sebagai kadewaguruan, dipimpin seorang maharsi atau Dewaguru. Dalam melaksanakan tugasnya, Dewaguru dibantu murid-murid senior (ubwan dan manguyu).
Salah satu Kadewaguruan di Jawa. Candi Sukuh, Jawa Tengah. Detik.com
Kadewaguruan merupakan kompleks pertapaan yang dirancang khusus. Tempat tinggal Dewaguru berada di tengah, sedangkan para murid mengelilinginya, disusun berjenjang berdasarkan tingkat pengetahuan mereka. Karena tata letak seperti ini, kompleks perumahan petapa itu disebut mandala (konfigurasi lingkaran).
Menurut Agus Aris Munanadar, tak hanya menjadi pusat keagamaan, kedewaguruan merupakan tempat bagi para Brahmin menuliskan ajaran-ajarannya pada daun lontar. Jalur Sutra darat maupun jalur sutra laut telah menyumbangkan peradaban adi luhung bhinneka tunggal ika, suatu keberagaman yang memperkaya khazanah kedewasaan dan kecerdasan spiritual suatu bangsa.
Sumber inspirasi: Ahmad Sumantho dan Daniel Suchamda.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara