Lingkungan alam adalah ibu dari setiap makhluk. Tanpa kita sadari kita sangat berhutang budi pada alam dengan berbagai isinya. Air yang kita minum, udara yang kita hirup, makanan yang kita makan, bahkan tempat yang kita pijak dan kita huni semuanya menopang eksistensi kita.
Dapat ditarik kesimpulan mendasar bahwa tanpa alam kita tidak ada. Dalam bahasa yang indah Biksu Thich Nhat Hanh menyatakan bahwa diri kita terbuat dari elemen-elemen bukan diri, termasuk tentu yang dimaksud adalah elemen alam semesta. Untuk memahami hal ini dibutuhkan kejernihan dan hati yang lapang terbuka sehingga tirai yang menutupi sudut pandang kita terhadap alam bisa sedikit terurai.
Bila dari sini kita berpijak maka bentangan cakrawala nalar kita akan memunculkan sebuah rasa penghargaan mendalam terhadap alam semesta. Ada rasa keterhubungan, kekerabatan, persaudaraan dengan semesta raya. Muara dari semua itu adalah kepedulian, kemauan, krenteg untuk merawat, menyembuhkan atau minimal tidak ikut melukai alam sebagai ibu penopang kita.
Realitas lapangan
Prof. Emil Salim dalam bukunya “Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi” yang diterbitkan oleh Kompas menuturkan dengan sangat gamblang betapa kejamnya manusia terhadap tempat bernaungnya.
Eksploitasi alam yang berlebihan dengan brutal dan tidak beradab telah membawa dampak yang sedemikian buruk terhadap semesta. Data-data kerusakan alam sangat mudah diakses di hamparan buku-buku, jurnal, penelitian ilmiah, blog, majalah, koran dan pengamatan langsung terhadap alam.
Kita tentu pernah mendengar cerita Sungai Citarum yang dulu menjadi simbol peradaban luhur, relasi antara manusia dengan alam sekarang menjadi simbol keserakahan manusia, hingga akhirnya sungai yang mengancam kehidupan.
Baca juga: Buddha dan Pohon
Bagi negara-negara maju, tema kerusakan lingkungan hidup menjadi menu utama media dan perbincangan masyarakat, baik masyarakat ilmiah maupun awam. Ada gelombang kesadaran akan realitas yang tengah terjadi. Di Indonesia secara umum tema kerusakan alam sangat jarang disentuh dan tidak laku “dijual” oleh media, tersandera oleh berita politik, tajamnya sentimen perbedaan primordial, dan berbagai berita sejenis yang cukup memabukkan nalar publik.
Kita menjadi terasing dari input pemahaman bahwa tingkat pencemaran air semakin meningkat, hutan lindung semakin menipis, sumber mata air banyak yang surut, populasi flora fauna yang dilindungi kian menuju kepunahan, dan isu-isu lingkungan hidup lainnya. Bahkan dalam skala yang mudah diamati, institusi ataupun komunitas agama Buddha yang setiap hari melantunkan kalimat kasih, sangat jarang yang memiliki kepedulian yang serius terhadap lingkungan hidup.
Kasih seolah-olah terbatasi pada sesuatu yang dianggap hidup saja, sementara penopang utamanya cukup dibiarkan saja. Bila demikian yang terjadi, maka kasih menjadi kasih yang tidak memiliki cakrawala utuh tentang sebab akibat. Ekspresi kasih pada tradisi upacara pembebasan satwa yang unik, formal dan terkesan sangat religius itu dapat ditambahi dengan kegiatan penanaman pohon, pengelolaan sampah, dan lain-lain sehingga dimensinya akan semakin lengkap dan luas.
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap kesakralan upacara keagamaan, penulis berharap suatu saat nanti, bila kesadaran kita sudah matang akan tercipta upacara keagamaan baru berupa ritual sakral pengelolaan sampah secara bijak dan penuh kasih.
Berguru pada hamparan batu candi
Sebagai bangsa yang beradab, nenek moyang Nusantara memiliki kekayaan seni dan spiritual yang tinggi. Di antara peninggalan peradaban luhur tersebut ada candi yang memiliki fungsi sebagai media pembelajaran.
Guratan indah nan halus pada dinding-dinding candi bukan hanya memiliki aspek artistik seni dan budaya, tetapi memiliki kandungan pelajaran hidup yang mendalam. Salah satu guratan yang menarik adalah adanya relief pohon kalpataru atau dikenal juga dengan sebutan kalpawrksa, kalpadruma, devataru di berbagai candi yang bercorak Buddhis seperti Pawon, Mendut, dan Borobudur, serta ditemukan juga di candi bercorak Hindu yaitu Prambanan.
Kalpataru dalam teks-teks kuno dikenal sebagai pohon surgawi, pohon kahyangan yang membawa berkah, pohon yang membawa energi positif dan keseimbangan semesta sehingga ikon Buddhis yang terkait dengan usia panjang dan keberkahan seperti Buddha Amitayus dan Ushnishavijaya sering berhiaskan kalpataru. Dalam teks Pali Maha Vanija Jataka juga dikenal secara singkat cerita tentang pohon ini.
Kalpataru dan tradisi kembar mayang
Dalam berbagai artefak dan teks peninggalan Nusantara dijumpai bahwa kalpataru tertulis pada Prasasti Kutai. Diceritakan bahwa Sang Mulawarman sebagai penguasa Kutai waktu itu memiliki sifat welas asih, kedermawanan, budi pekerti yang sangat agung, pembawa berkah laksana pohon kalpawrksa.
Teks kuno Tantu Panggelaran juga menyebutkan bahwa ada suatu tempat yang bernama Hiranyapura yang dipenuhi kalpataru. Selain itu ditemukan juga dalam teks karya sastra Jawa kuna Arjuna Wiwaha dan Hariwijaya.
Kalpataru sangat kental dalam tradisi upacara Jawa. Terisnpirasi dari cerita Parta Krama, diceritakan bahwa Dewi Supraba mau dijadikan permaisuri Dananjaya dengan syarat mas kawin “Kembar Mayang Kahyangan” berupa Klepu Jayadaru Dewadaru atau Kalpataru karena dianggap mampu membawa berkah keselamatan, kelestarian semesta, dan kebahagiaan. Sebagai simbol pengganti pohon kalpataru, masyarakat Jawa selalu menyertakan ornamen Kembar Mayang dalam upacara sakral pernikahan. Dalam dunia pewayangan, simbol gunungan yang berisi hiasan pohon juga sering dikaitkan dengan pohon hayat kalpataru.
Dari guratan batu candi sampai pada berbagai tradisi Jawa, kalpataru telah menginspirasi pada kita semua tentang pentingnya hakikat keseimbangan alam. Penggambaran kalpataru biasanya memiliki ciri khusus berdaun subur, berbunga indah semerbak, memiliki buah penuh berkah.
Di sekelilingnya dihuni dengan berbagai binatang penjaga kesucian pohon, di dekatnya digambarkan adanya berbagai binatang sebagai penjaga terhadap kesucian pohon, bahkan ada gambaran payung pelindung pohon.
Kesemuanya itu menggambarkan spirit kasih untuk melestarikan flora fauna dan segala isinya, payung pelindung pohon dapat dimaknai sebagai sebuah komitmen bersama untuk menjaga agar pohon sebagai paru-paru bumi tetap lestari.
Baca juga: Menumbuhkan Generasi Peka Sosial dan Lingkungan
Untuk mencapai kesadaran itu, sebenarnya cukup menggunakan akal sehat dan kejernihan batin saja, betapa semesta raya ini adalah penopang kehidupan kita semua tanpa perlu mencari perintah dari sumber primer kitab suci.
Tetapi untuk melengkapi kebutuhan beberapa kalangan yang selalu butuh dalil keagamaan agar lebih merasa mantap kita dapat membuka beberapa teks kitab suci. Dhammapada ayat 49 tersurat larangan terhadap eksploitasi alam yang berlebihan dan merusak. “Bagai seekor lebah yang tidak merusak kuntum bunga, begitulah hendaknya orang bijaksana menjalani hidup di alam ini.”
Lebah tidak pernah merusak bunga, justru ada simbiosis mutualisme atau relasi saling menguntungkan antara lebah dengan bunga. Lebah mendapatkan madu dan membantu bunga dalam penyerbukan. Teks Vanaropa Sutta menyebutkan bahwa “pelestarian taman (aramaropa) maupun hutan (vanaropa) sangat perlu dilakukan karena memiliki nilai kebajikan yang luhur laksana sang penolong.”
Teks ini jelas mengandung unsur perintah untuk aktif terjun dalam pelestarian alam, memperindah indahnya alam memahyu hayuning bhawana. Mari bergandengan tangan, menabur kasih, membentangkan tekad menjaga bumi tetap lestari laksana berseri indahnya Sang Kalpataru!
Pernah bekerja di pusat kerukunan umat beragama Setjen Kemenag RI. Aktif dalam kegiatan konservasi lingkungan hidup.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara