• Thursday, 13 August 2015
  • Ngasiran
  • 0

Hari Senin, 27 Juli 2015 lalu saya meliput sebuah acara peletakan batu pertama pembangunan Vihara Surya Putra di sebuah desa terpencil di Kaloran, Temanggung, Jawa Tengah. Ketika tulisan saya yang dimuat di BuddhaZine itu saya share di halaman facebook saya, saya agak tergelitik dengan komentar seorang kawan, “Bangun manusianya sudah belum?”

Bukan tanpa alasan kawan saya yang notabene adalah putra Temanggung memberi komentar seperti itu, karena selama ini, vihara di daerah Temanggung, khususnya di daerah Kaloran sangat banyak. Bahkan dalam satu dusun bisa berdiri lebih dari satu vihara, namun tidak diimbangi dengan pembangunan masyarakatnya sehingga nilai-nilai ajaran Buddha belum sepenuhnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Di seluruh Temanggung ada sekitar 90 vihara, dan khusus di Kaloran ada 46 vihara dengan jumlah umat sekitar 8000 jiwa. Temanggung adalah kabupaten yang memiliki populasi umat Buddha terpadat di Indonesia, yang berpusat di Kecamatan Kaloran, serta Kecamatan Jumo.

Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Indonesia’ Centre of Asian Studies (CENAS) pada tahun 2010 yang dilakukan di Temanggung, khususnya di Kaloran menyebutkan bahwa umat Buddha di daerah Kaloran cenderung mengalami penurunan baik secara kualitas maupun kuantitas. Apa penyebabnya?

Melihat sejarah perkembangan agama Buddha di daerah Kaloran memang cukup menarik. Awal tahun 1966 Kaloran merupakan basis agama Buddha di Indonesia, namun setelah masuknya bermacam sekte, agama Buddha di daerah Kaloran semakin menurun drastis.

“Penurunan jumlah pemeluk Buddha di Kaloran lebih banyak disebabkan oleh faktor internal, salah satu persoalan yang paling besar adalah persaingan antar sekte, yang menurut sumber saya, ini menimbulkan kebingungan bagi umat Buddha,” ujar Ngatiyar, salah satu penulis buku Berpeluh, Berselaras: Buddhis Muslim Meniti Harmoni. Buku tersebut mengambil latar masyarakat Kaloran.

“Penurunan populasi Buddhis itu ditandai dengan tidak terawatnya vihara atau cetiya. Bahkan menurut sumber saya, ada beberapa cetiya yang mangkrak,” jelasnya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Uditjatno, tokoh agama Buddha yang merupakan ketua Mejelis Agama Buddha Theravada (MAGABUDHI) Temanggung, “Secara kuantitas memang benar, umat Buddha Kaloran mengalami penurunan.”

Menurut Uditjatno, penurunan populasi umat Buddha dikarenakan beberapa sebab, diantaranya kurangnya kualitas dan saddha (keyakinan) umat dan tokoh Buddhis Kaloran terhadap ajaran Buddha.

“Pada tahun 2000, terjadi perpecahan majelis yang mengakibatkan umat mengalami kebingungan dan banyak yang pindah agama. Para tokoh yang tidak mempunyai keyakinan terhadap ajaran Buddha cenderung ikut andil dalam memecah komunitas Buddhis Kaloran dan ini (sebenarnya) semata-mata hanya faktor ekonomi,” jelasnya.

20150813 Penyebab Jumlah Umat Buddha di Temanggung Berkurang_2

Sementara wawancara khusus saya dengan Ngatiyar yang telah melakuan dua kali penelitian di Kaloran untuk buku Berpeluh Berselaras: Buddhis Muslim Meniti Harmoni dan untuk tesisnya, menyebutkan masyarakat Buddhis di Temanggung mengambil ajaran Buddha pada ranah moral kehidupan. “Temuan menarik saya pada saat melakukan penelitian umat Buddha di Temanggung adalah pada pengetahuan lokal. Pengetahuan lokal itu yang menjadi awal dan sekaligus akhir dari segala aktivitas masyarakat Temanggung. Pengetahuan itu mengarah bagaimana semestinya bertindak. Pengetahuan lokal itu di seputar konsep kerukunan yang mereka bahasakan sebagai naluri pirukunan (harmoni) dan selam (nyesel alam/menyatu dengan alam),” jelasnya.

Menurut Ngatiyar, naluri pirukunan itulah yang melampaui sekte. Pada dasarnya masyarakat dengan naluri pirukunan dan selam itu selalu menginginkan terjadinya integrasi di dalam hidup mereka. Hadirnya sekte-sekte yang diikuti dengan persaingan dan kemudian bersanding dengan ‘lemahnya’ kualitas dan kuantitas guru agama Buddha, menjadikan masyarakat kaget.

Hingga tahun 1980-an, dapat dikatakan masyarakat Buddha di Kaloran belum mencapai kemapanan teologis. Guru-guru agama Buddha juga dapat dikatakan belum banyak. Sementara, mereka berhadapan dengan hadirnya sekte-sekte pada masa berikutnya yang justru cenderung saling ‘berkonfrontasi’ atau bersaing. Hal ini juga yang membuat beberapa orang Buddhis menganggap adanya ketidaksesuaian antara paham mereka (naluri pirukunan dan selam) dengan kehadiran sekte tersebut. Ujung-ujungnya mereka cenderung memilih untuk mencari jalan serupa dengan orang lain yang telah pindah ke agama lain.

Ngatiyar memberikan contoh, “Ada satu keluarga di salah satu dusun di Tlogowungu. Pasangan keluarga ini adalah Muslim dan Buddhis. Sejak sebelum menikah dan hingga mereka memiliki dua anak, sang istri masih Buddhis. Mereka hidup harmonis. Menginjak anaknya SD, kebetulan si anak masuk Islam mengikuti agama bapaknya, tetapi bukan bapaknya yang mendorong masuk Islam, tetapi seorang ustadz di dusun tersebut. Hingga sebelum sekte masuk di sana, rumah keluarga ini dalam hari-hari tertentu tetap melaksanakan tradisi Buddhis. Artinya, pada hari tertentu ada kumpulan ibu-ibu Buddhis dan istri dari rumah tangga itu yang memimpin doa. Namun setelah sekte masuk dan kemudian terjadi ‘pergesekan’, ibu ini memilih untuk masuk Islam. Sekali lagi, menurut pengakuannya, dia masuk Islam bukan karena suaminya, tetapi ingin sama dengan anaknya.”

Kalau diklasifikasikan secara garis besar, ada 3 faktor yang menyebabkan menurunnya populasi umat Buddha di Kaloran, yaitu: (1) Sisi psikologis, yaitu lemahnya keyakinan dan tidak adanya rasa memiliki terhadap agama Buddha, sehingga mudah pindah agama terutama ketika menikah beda agama, (2) Faktor internal Buddha sendiri yang antar-sekte cenderung bersaing dan membuat penganutnya ‘kaget’ bahkan ‘bingung’, dan (3) Faktor eksternal (pengaruh agama lain).

Menurut lulusan magister di bidang Agama dan Resolusi Konflik Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, harus ada langkah-langkah serius untuk merawat agama Buddha di Kaloran.

“Kalau masuk pada ruang historis, Buddha ini kan identitas untuk menyelamatkan dari stigma masa lalu. Sebagai identitas memang akan selalu menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Artinya identitas tidak pernah mapan. Karena itu, perlu dikembangkan gagasan ataupun konsep tentang Buddha Jawa atau Buddha Nusantara. Jika selama ini sekte-sekte itu merujuk pada budaya luar, entah Thailand, Myanmar, Vietnam atau China, belum tentu bersesuaian dengan budaya Jawa sebagai basis utama keberagamaan Buddhis di Kaloran saat ini.

“Kedua, perlu adanya kedewasaan di masing-masing pemimpin sekte untuk membangun konsensus sehingga masing-masing sekte dapat memahami perbedaan sebagai anugerah, dan bukan sumber pemecah belah dan yang tidak kalah pentingnya.

“Dan yang tidak kalah penting, pembangunan pendidikan dan perekonomian berbasis komunitas Buddhis harus di kembangkan,” Ngatiyar memberi saran.

20150813 Penyebab Jumlah Umat Buddha di Temanggung Berkurang_3  20150813 Penyebab Jumlah Umat Buddha di Temanggung Berkurang_4

Peran guru agama dan anggota Sangha juga perlu ditingkatkan. Ngatiyar menyebut, menurunnya jumlah pemeluk agama Buddha juga karena kurangnya pembinaan. “Dalam sistem patron klan seperti pada masyarakat pedusunan di Kaloran yang mengandaikan adanya sosok kharismatik sesuai dengan pandangan Jawa. Kharisma itu diartikan sebagai yang berdekatan dengan dunia kosmos. Nah, bhikkhu dalam hal ini dapat menjadi representasi atas hal itu,” jelas Ngatiyar.

Harapan tersebut juga diapungkan oleh Parlan, pemuka agama Buddha dari Desa Ngadisari, “Saya berharap ke depannya ada bhikkhu yang menetap dan melakukan pembinaan di daerah Kaloran supaya bisa membimbing kami secara langsung.”

Dengan adanya sosok bhikkhu di tengah-tengah mereka, orang Jawa akan menganggapnya dekat dengan kosmologi hidup Jawa yang menjadi pengikat sisi psikologis. Sehingga mencegah pindah agama, minimal sungkan.

“Penurunan populasi Buddhis mungkin saja dipengaruhi oleh tidak adanya bhikkhu yang menetap, walaupun bukan menjadi faktor primer. Sebenarnya agak aneh kalau Kaloran dengan populasi Buddhis yang cukup besar itu tidak ada bhikkhu yang tinggal di sana. Padahal beberapa orang bhikkhu asalnya dari Kaloran,” ujar Ngasiran menutup perbincangan.

Dan bisa jadi fenomena penurunan jumlah umat Buddha di Temanggung ini terjadi juga di daerah lain.

*) Ngasiran, wartawan BuddhaZine tinggal di Temanggung

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *