Perang memberikan banyak pengaruh terhadap keadaan masyarakat, terutama pada negara yang dijajah. Masyarakat di negara terjajah cenderung menderita dan kurang maju.
Sebenarnya, dari penjajah, masyarakat dapat mengadopsi hal-hal baru yang terkadang lebih maju dari kebudayaan setempat, akan tetapi dampak yang terbesar dari penjajahan adalah kemiskinan dan kebodohan.
Penjelasan dalam sejarah memperlihatkan munculnya para tokoh yang berusaha melawan penjajahan atau membebaskan masyarakat dari penjajahan.
Banyak tokoh perempuan muncul dalam berbagai bidang, misalnya Kartini yang sangat dibanggakan oleh kaumnya. Perjuangan Kartini berbeda dari para pahlawan perempuan yang lainnya.
Kartini memperjuangkan kesejahteraan perempuan dari keadaan kaum perempuan yang memiliki derajat sangat rendah dan sebagai pihak yang lemah.
Meskipun gerakan awal yang dilakukannya terlihat sederhana, akan tetapi gagasannya yang pertama menjadi sumber inspirasi dan dasar bagi perkembangan lebih besar selanjutnya, seperti halnya pemantik korek api yang mampu membakar hutan.
Kartini memiliki pandangan bahwa perempuan seharusnya mencapai pendidikan tinggi agar masa depan mereka cerah. Meskipun dipaksa untuk menikah dalam usia yang masih sangat muda, namun hal itu tidak menggoyahkan semangatnya untuk mengangkat derajat perempuan.
Usahanya mendapat banyak dukungan dari pihak-pihak yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan dan peningkatan kualitas manusia. Kartini mengembangkan pengetahuannya melalui berkirim surat kepada teman-temannya yang memiliki pendidikan tinggi dan dengan membaca banyak buku (Gunai, 2004:28).
Tekad
Perjuangan Kartini sekarang dapat dirasakan, dari perempuan yang tidak diperkenankan untuk menimba ilmu pada sekolah formal, hingga akhirnya perempuan mampu berprestasi setara dengan laki-laki.
Sedikit demi sedikit perempuan mulai mengenyam pendidikan dan terus berkembang setelah masa kemerdekaan. Pemerintah mulai memerhatikan masalah pendidikan, hal ini tertuang dalam UUD pasal 31 ayat satu, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan” (UUD 45 dan UU RI No. 10/2004, 2005:21).
Sesuai dengan UU tersebut di atas yang menjelaskan bahwa kesempatan mengenyam pendidikan terbuka untuk laki-laki dan perempuan, namun bagi anak perempuan belum merata. Ada pun faktor yang memengaruhi hal tersebut di antaranya: tradisi, ekonomi, dan pendiidkan itu sendiri.
Tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1208) adalah “Penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.”
Anggapan- anggapan yang berkembang di masyarakat, banyak yang tidak menguntungkan bagi perempuan. Seperti halnya tradisi Jawa yang mendidik perempuan agar memiliki watak dan perilaku yang halus, sehingga perempuan cenderung dipersiapkan sebagai ibu rumah tangga.
Seperti yang dikemukakan dalam majalah Basis yaitu, untuk menjalankan tugas di rumah, anak perempuan diajari memasak, mencuci, menyetrika baju, membersihkan rumah, dan tempat tidur, seta mengasuh adik (Astutik, 200:72).
Perubahan
Pendidikan terhadap perempuan untuk mengerjakan wilayah domestik sejak dini telah menjadi karakter dan kebiasaan kaum perempuan, hingga mereka menganggap kebiasaan tersebut harus diajarkan terus turun-temurun.
Tradisi Jawa merupakan contoh kecil tentang tersisihnya anak perempuan di bidang pendidikan, dan masih banyak tradisi lain yang memiliki pandangan sama.
Kisah Sanem, anak seorang petani di daerah Cirebon, “Saya harus mengalah agar saudara laki-laki saya bisa bersekolah… Katanya anak laki-laki nantinya harus bertanggung jawab terhadap keluarganya, bekal dia harus lebih banyak. Kalau anak perempuan ‘kan nantinya ikut suami.” Dari kasus tersebut memberikan gambaran, selain faktor ekonomi, faktor tradisi berperan sangat kuat.
Dalam dunia pendidikan sendiri, belum banyak terjadi perubahan untuk memberikan pendidikan yang setara dan berkeadilan gender.
Meskipun sudah digaungkan dan disosialisasikan oleh pemerintah, namun kenyataan di lapangan masih sangat minim. Pendidik belum terbiasa untuk memiliki pemahaman tentang keadilan gender sehingga dalam mendidik masih memilah antara untuk anak laki-laki dan anak perempuan.
Ada profesi yang dibedakan, ada yang hanya cocok untuk anak laki-laki dan yang khusus untuk perempuan. Anak perempuan berkaitan dengan hal-hal yang halus, kegiatan domestik sedangkan anak laki-laki dengan kegiatannya yang memiliki tantangan dan kekuatan fisik.
Dalam mengatasi anak yang lebih aktif, apabila itu anak perempuan, dengan tanpa sadar pendidik akan berkomentar, “Anak perempuan kok seperti itu, permainan atau kegiatan itu hanya cocok untuk anak laki-laki, ayo kalau anak perempuan bermain apa, dan seterusnya,” yang intinya masih membedakan berdasarkan tradisi tanpa melihat sejatinya anak tersebut mampu dan memang menyukai kegiatan tersebut.
Seperti disebutkan oleh Astuti (2006:74) bahwa untuk tingkat SD, sebagai pemimpin upacara ditunjuk anak laki-laki, demikian juga untuk menjadi ketua kelas didominasi oleh anak laki-laki. Di sini pendidik berperan penting dalam proses tersebut, dan cukup memberikan gambaran pendidik yang masih bias gender.
Kurang pemahaman, masih kuatnya tradisi dan konsep kodrat, bahkan kurangnya kepedulian terhadap pentingnya mendidik, memberikan dampak cukup besar dalam tercapainya masyarakat yang menjunjung martabat perempuan tanpa meninggalkan beban sebagai penanggung jawab mutlak atas ranah domestik.
Faktor tersebut menghambat kreativitas dan perkembangan alami kaum perempuan. Meskipun demikian, masih terdapat orangtua yang sadar akan hak pendidikan yang setera bagi putra-putrinya, dan ada anak perempuan yang istimewa dan menyadari potensi dirinya dan memperjuangkannya.
Majalah GATRA menuliskan kisah tentang Miriam Budiardjo sebagai perintis ilmu politik modern di Indonesia (Seriawan, 2004:50). Merupakan keahlian luar bisa bahwa perempuan mampu menguasai ilmu politik yang dikatakan sebagi dunia laki-laki.
Contoh lain adalah Nafsiah Mboi yang telah lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1964. Keberhasilan Nafsiah adalah atas dukungan ibunya yang memiliki pandangan bahwa, “Anak laki-laki dan perempuan harus mendapatkan kesempatan pendidikan sesuai dengan kemampuan otaknya.” (Suarjana dan Riyadi, 2004:52).
Dan tentunya masih banyak keberhasilan perempuan yang berkarier di ranah laki-laki, namun masih lebih banyak anak perempuan yang belum mendapatkan kesempatan tersebut.
Alangkah beruntungnya masyarakat yang memiliki ibu seperti halnya ibunda Nafsiah Mboi dan semoga lebih banyak ibu memiliki keyakinan dan kesadaran yang sama.
Bagaimana agama Buddha memandang pendidikan terhadap perempuan?
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara