
Oleh: Sugianto Sulaiman
Foto: Ngasiran
Baru beberapa waktu yang lalu kita membahas adanya kemudahan untuk melakukan Perkawinan Beda Agama, yaitu tulisan kami yang berjudul “Perkawinan Beda Agama” dan “Perkawinan Beda Agama 2” (Selengkapnya silahkan baca di website Kusala Nitisena kusalanitisena.co.id). Namun tiba-tiba kemudahan tersebut menjadi mampet karena adanya Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2023 tentang Larangan Perkawinan Beda Agama (link: https://kemenag.go.id/kolom/larangan-hakim-menetapkan-perkawinan-beda-agama-beSC4). Dengan adanya Surat Edaran tersebut maka pupuslah harapan bagi mereka yang hendak melakukan Perkawinan Beda Agama, berdasarkan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang mengijinkan pencatatan Perkawinan Beda Agama berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri vide Pasal 34 UU di atas. Dengan dilarangnya penetapan Perkawinan Beda Agama oleh Mahkamah Agung RI, berdasarkan Surat Edaran di atas maka satu-satu nya cara untuk melakukan Perkawinan Beda Agama adalah melakukan perkawinan di luar negeri, yang kemudian dicatatkan di Indonesia di Kantor Catatan Sipil setempat.
Anehnya salah satu alasan terbitnya Surat Edaran di atas ialah pertimbangan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa semua agama di Indonesia bukan hanya Islam namun juga termasuk agama Buddha melarang Perkawinan Beda Agama. Sebagai umat Buddha dan pengurus Majelis Agama Buddha saya tidak tahu pertimbangan apa yang digunakan Mahkamah Agung dalam menerbitkan Surat Edaran di atas, apa lagi menggunakan pertimbangan bahwa Agama Buddha melarang Perkawinan Beda Agama. Setahu saya tidak ada larangan tersebut yang dapat dijadikan rujukan yang jelas.
Secara hukum, Surat Edaran tingkatannya berada di bawah UU. Artinya Surat Edaran Mahkamah Agung aquo bertentangan dengan UU No. 23 tahun 2006 tentang Adminduk. Bagi mahasiswa Fakultas Hukum tingkat awal pun dapat dimengerti bahwa hal tersebut berarti produk hukum yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan produk hukum yang tingkatannya lebih tinggi (Asas lex superior derogate legi inferiori). Atau dengan kata lain Surat Edaran Mahkamah Agung RI itu mestinya dianggap batal demi hukum atau null and void. Lalu apa masalahnya? Kalau Surat Edaran itu batal demi hukum. Masalahnya, Surat Edaran aquo adalah Surat Edaran yang berasal dari Mahkamah Agung RI yaitu badan peradilan yang tertinggi yang tidak mungkin ditolak kebijakannya oleh peradilan yang lebih rendah, mau itu Peradilan Negeri atau Peradilan Tinggi se-Indonesia. Jadi walaupun Surat Edaran itu batal demi hukum namun jika permohonannya diajukan ke Pengadilan Negeri di seluruh wilayah Indonesia, maka dapat dipastikan permohonan pencatatan Perkawinan Beda Agama tersebut pasti ditolak dan akibatnya pasangan beda agama tersebut tidak dapat mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil setempat.
Sekali lagi perbuatan Mahkamah Agung RI ini mencoreng nama baik Indonesia di fora internasional, karena larangan Perkawinan Beda Agama bertentangan dengan Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatakan bahwa terdapat setidaknya ada 60 hak sipil warga negara yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun, termasuk tentang pemilihan pasangan, menikah, berkeluarga, dan memiliki keturunan. Sungguh saya tidak mengerti apa maksud penerbitan Surat Edaran di atas dalam keadaan tingkat peradilan Indonesia yang semakin merosot atau makin korup dari peringkat 38 melorot ke angka 34, semakin kecil angkanya semakin korup negaranya. Untuk menutupi korupsi di dunia peradilan maka Mahkamah Agung mencari dukungan dari pemuka-pemuka agama yang konservatif dan radikal. Bukankah akhir-akhir ini tahun 2023 Sekjen Mahkamah Agung RI Hasbi Hasan ditahan oleh KPK karena dugaan kasus suap pengurusan perkara di MA. Sebelumnya pada tahun 2020 Nurhadi sekretaris MA juga tersandung kasus korupsi dan ditangani oleh KPK. Bahkan Hakim-Hakim Agung MA-pun tidak steril atau dengan kata lain terlibat dalam kasus korupsi. Pada tahun 2023 dalam kasus yang sama yang melibatkan 17 tersangka, yang terdiri dari 2 Hakim Agung yakni Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh, 3 Hakim Yustistial yakni Prasetyo Nugroho, Edy Wibowo dan Elly Pangestu, serta 10 orang lainya KPK menangkap para Hakim Agung yang kita muliakan tersebut, karena dianggap terlibat kasus suap Penanganan Perkara. Surat Edaran aquo yang dikeluarkan Mahkamah Agung RI tidak akan membuat citra Mahkamah Agung RI menjadi lebih baik. Dengan berbagai kasus korupsi di atas, justru citra MA sebagai peradilan tertinggi di negara ini menjadi lebih terpuruk, dan sekarang dianggap pula melanggar Hak Asasi Manusia khususnya UU No. 39 tahun 1999.
Larangan Perkawinan Beda Agama tidak menyelesaikan masalah karena sebagaimana tulisan kami sebelumnya, orang yang berbeda agama dapat kawin di luar negeri lalu perkawinannya dicatatkan kembali di Indonesia. Cara kedua yang umumnya ditempuh karena efisien atau murah adalah salah satu pihak menerima pemberkatan perkawinan sesuai agama pasangannya. Setelah kawin ia dapat ikut agama pasangannya atau kembali ke agama aslinya. Jadi larangan Perkawinan Beda Agama khususnya di agama non muslim menjadi tidak efektif. Memang untuk agama Islam berlaku hukum Syariah atau Konspirasi Hukum Islam (KHI), tetapi untuk agama-agama lain berlaku hukum nasional yaitu KUHPer dalam kehidupan sehari-hari.
Mengerasnya sikap Mahkamah Agung RI dalam melarang Perkawinan Beda Agama menambah keyakinan kita bahwa perlakuan yang tidak adil oleh pihak mayoritas terhadap minoritas dalam hal ini umat Buddha makin hari makin nyata. Mudah-mudahan kita dapat belajar sesuatu yang membuat kita makin baik, bukankah dalam doa pelimpahan jasa Ettavata kita selalu mendoakan agar pemerintah bertindak lurus atau adil atau dalam bahasa pali Rājā bhavatu dhamiko. Dengan pemerintahan yang adil, termasuk dalam hal ini aparat hukum, kita umat Buddha berharap memperoleh perlindungan hukum termasuk dalam pengurusan pencatatan perkawinan.
Tergelitik atas pertimbangan Mahkamah Agung RI di atas, mari kita mencari tahu apa benar Agama Buddha melarang Perkawinan Beda Agama. Lihat tulisan penulis sebelumnya yang berjudul “Beda Agama Boleh Kawin 2” terdapat kata-kata “Kesamaan Saddha (keyakinan) tidak berarti harus sama agama, namun tentu saja kesamaan Saddha lebih banyak terjadi jika pasangan tersebut mempunyai intelektualitas dan perilaku yang baik dalam kehidupan mereka. Walaupun sama-sama beragama Buddha, tidak menjamin kedua orang tersebut mempunyai Saddha (keyakinan) yang sama. Sebagai contoh, seorang yang beragama Buddha kawin dengan seorang yang tidak beragama Buddha namun mereka mempunyai keyakinan yang sama yaitu dalam hal murah hati maka jika pasangannya melaksanakan dana terhadap suatu kegiatan sosial seperti menolong korban bencana alam, melakukan donor darah dan macam-macam kegiatan sosial lainya maka pasangannya yang tidak beragama Buddha akan mendukung.”
Dari apa yang kami sampaikan di atas, terbukti Agama Buddha tidak melarang terjadinya Perkawinan Beda Agama. Jadi, pertimbangan Mahkamah Agung RI di atas yang menyatakan Perkawinan Beda Agama dilarang dalam Agama Buddha adalah pertimbangan keliru serta tidak berdasar. Kami sebagai rakyat tentu tidak dapat menentang pertimbangan Mahkamah Agung RI di atas, tetapi kami tetap mengharap pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo dan para pemegang kebijakan lainya (para Stakeholders) dapat mengambil keputusan yang bijaksana tentang Perkawinan Beda Agama, sehingga negara kita tidak dituduh telah melanggar Hak Asasi Manusia yang sudah kita ratifikasi menjadi Undang-Undang Nasional yaitu UU No. 39 tahun 1999.
Bagi umat Buddha, larangan Perkawinan Beda Agama pada satu sisi bisa membantu mengurangi menurunnya jumlah umat, karena umat Buddha hanya dapat kawin dengan umat Buddha. Akan tetapi di sisi lain larangan tersebut juga dapat mengakibatkan perpindahan umat Buddha ke umat Agama lain. Berlakunya aturan yang sebentar boleh sebentar tidak, seperti aliran listrik saja, sebentar nyala sebentar mati, BYAR PET. Rencana itu perlu disikapi secara bijaksana.
Mettacittena
UP Sugianto Institut Nagarjuna
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara