
Jika disabilitas secara umum diartikan sebagai suatu keadaan dari keterbatasan diri baik secara fisik, mental, sensorik, maupun kognisi, entah kita suka atau tak suka sesungguhnya kita semua adalah calon-calon potensial penyandang disabilitas.
Buddhisme mengenal apa yang disebut sebagai Tiga Corak Kehidupan, salah satu ajaran terpenting. Dalam bahasa Indonesia, tiga corak tersebut adalah tanpa inti, ketidakmemuaskan, dan ketidakkekalan. Dengan begitu, menurut Buddhisme, seluruh hal dalam kehidupan yang bersyarat dan berasal dari bentukan akan mengandung tiga ciri tersebut.
Secara akal atau logika belaka, kebanyakan orang mampu memahami tiga ciri itu dan tanpa ragu memberikan persetujuan atasnya. Sebagai contoh tentang ketidakkekalan: siapakah di antara kita yang sanggup membantah bahwa hidup ini fana? Tak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri.
Namun dalam tataran yang lebih tinggi, ketika kita bicara tentang pemahaman secara batiniah yang meresap dalam-dalam hingga sumsum tulang, soalnya menjadi berbeda: hanya sedikit yang sungguh-sungguh meresapi makna tiga corak tersebut dan menjalani kehidupannya dengan selalu sadar bahwa hidup ini tidak berinti, tidak memuaskan, dan tidak kekal.
Mari ambil contoh kasus orang-orang difabel, mereka yang memiliki keterbatasan tertentu seperti kehilangan sebagian anggota badan khususnya tangan atau kaki, keterbelakangan mental, atau kelumpuhan dan ketidakmampuan melihat, mendengar atau berbicara.
Salah satu penyebab mengapa di negara kita masih amat minim kepedulian untuk menyediakan ruang publik dan sarana perkotaan yang nyaman bagi penyandang disabilitas, adalah karena sebagian besar kita yang berfisik “sempurna” ini “lupa” bahwa fisik “sempurna” yang kita kira milik kita statusnya hanyalah hak guna dan tidak kekal. Dengan begitu, cepat atau lambat sangatlah mungkin siapa pun dari kita kini menjadi penyandang disabilitas akibat suatu kecelakaan, penyakit, atau lainnya yang menyebabkan kita kehilangan satu atau lebih anggota badan atau kemampuan diri. Pendeknya, karena hidup ini getas, seperti yang telah disebutkan di awal, kita semua adalah calon potensial penyandang disabilitas.
Begitulah.
Karena tak cukup meresapi kefanaan hidup dan merasa kita memiliki hidup ini, kita mengira para difabel adalah sang liyan, yang lain. Kita menyepelekan disabilitas sebagai persoalan yang tak bersangkut-paut dengan urusan kita yang berfisik “sempurna” ini, bahwa semua anggota tubuh dan kemampuan diri kita akan tetap ada untuk melayani keinginan kita. Dalam kenyataan, seiring waktu berlalu dan umur bertambah, apa yang kini tampak sangat mudah dilakukan menjadi semakin sulit dan merepotkan: ketika kini kita mudah saja berlari secepat mungkin saat dikejar anjing gila, misalnya, maka tatkala umur menua bahkan sekadar berjalan pun harus dibantu dengan tongkat.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara