Oleh: Sugianto Sulaiman
Foto: Ngasiran
Kita baru saja merayakan hari jadi Majelis Buddhayana Indonesia yang ke-68. Kemudian pada tanggal 15 Juli 2023, bertempat di Prasadha Jinarakkhita, MBI mengadakan acara Tali Kasih dengan Pandita senior yang memperoleh penghargaan berupa Sertifikat serta Tali Kasih Uang Kehormatan. Acara tersebut berlangsung cukup baik, walaupun penulis sendiri terpaksa tidak dapat menghadirinya karena harus menjalani perawatan kesehatan. Dalam acara yang gegap gempita di atas apakah pernah terlintas dalam pikiran kita, Agama Buddha akan Punah di Indonesia?
Dalam podcast Guru Gembul, penulis memang pernah mendengar bahwa 50 tahun dari sekarang, agama-agama akan punah, yaitu bagian sayap Ritual dan Budayanya, sedangkan sayap Spiritualisme akan bertahan. Agama-agama itu tergilas oleh perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan/science serta gaya hidup manusia modern. Sebagai contoh dalam Agama Samawi; agama Yahudi, Kristen, dan Islam dikatakan “Tuhan menciptakan laki-laki terlebih dahulu, yaitu Adam. Kemudian dari rusuknya, Tuhan menciptakan Hawa.” Dalil ini kemudian terbantahkan oleh Science/Ilmu Pengetahuan dan Teknologi karena menurut Dr. Ryu Hasan, “jika laki-laki yang terlahir lebih dulu, maka dapat dipastikan dunia tidak akan ada manusia lagi.” Jadi menurut Ilmu Pengetahuan yang lahir mestinya perempuan terlebih dahulu.
Ketika jumlah wanita sedemikian banyak baru kemudian lahir laki-laki. Fungsi laki-laki di situ ialah untuk membunuh atau mengurangi spesies wanita yang ada agar jumlahnya tidak melebihi kemampuan Bumi untuk menampungnya, memberinya makan, dan menghidupinya. Jadi menurut Dr. Ryu Hasan, laki-laki tercipta dari wanita dan salah satu fungsi laki-laki ialah untuk mengurangi jumlah manusia. Dengan penemuan Iptek di atas atau teori diatas, maka jelas apa yang disampaikan Agama Samawi menjadi terbantahkan dan inilah yang menyebabkan kepercayaan terhadap agama-agama menjadi luntur.
Lalu bagaimana dengan Agama Buddha? Menurut Guru Gembul dalam Episode ke-105 Agama Buddha akan punah di Indonesia dalam waktu singkat. Hal-hal yang menyebabkan punahnya Agama Buddha yaitu karena:
- Agama Buddha tidak punya Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun dalam mazhab Agama Buddha Theravada dikenal berbagai istilah Ketuhanan seperti Sanghyang Adi Buddha, Tiratana atau sebutan-sebutan lainya, namun menurut Guru Gembul itu tidak mencerminkan ke-Esa an Tuhan seperti yang dimaksudkan dalam agama-agama Samawi.
- Dalam Agama Buddha tidak ada Hukum Syariat yang tetap, misalnya kalau Agama Islam kita mengenal Rukun Iman dan Rukun Islam. Di Agama Kristen atau Yahudi bahkan tercermin dalam Kitab Hukum Perdata maupun Pidananya. Tetapi di Agama Buddha hukum-hukum seperti ini tidak dikenal. Yang penting bagi Umat Buddha adalah berbuat baik. Menurut Guru Gembul ini salah satu kelemahan dari Agama Buddha yang dapat menyebabkan kepunahan Agama Buddha, terutama di negara-negara yang memberlakukan Hukum Syariat dengan ketat. Seperti contoh apa yang terjadi di Afghanistan ketika Taliban berkuasa di Afghanistan dan mereka menghancurkan situs-situs Buddhis yang berada di Afghanistan. Peristiwa tersebut dikenal dengan nama Penghancuran Patung Buddha di tebing lembah Bamiyan yang terjadi pada Maret 2001.
- Menurut Guru Gembul, Agama Buddha di Indonesia akan punah karena Agama Buddha jumlah umatnya sedikit dan terkepung dengan berbagai kepentingan Umat Mayoritas, sehingga umatnya lemah dan ragu-ragu jika disudutkan oleh pihak lain. Tampaknya sinyalemen Guru Gembul di atas tidak salah, karena memang hal seperti itulah yang terjadi. Betapa banyaknya Umat Buddha dari wilayah Tangerang yang ber etnis “China Benteng” kemudian diganti agamanya dari Buddha ke agama mayoritas atau mengaku beragama tertentu/mayoritas agar memperoleh Akta Lahir. Tanpa mengaku beragama tertentu ia tidak akan memperoleh KTP, Akta Lahir dan Pelayanan Kelurahan atau Pemerintah Desa.
Kejadian yang sama berlaku hampir di seluruh desa-desa Buddhis termasuk di Wonosobo, Jawa Tengah pada tahun 2015 dimana satu desa ramai-ramai meninggalkan Agama Buddha untuk mendapatkan bantuan sosial dari Aparat Pemerintah Desa atau Kecamatan. Walaupun kadang-kadang ada sejumlah umat Buddha yang masih melaksanakan Puja terhadap Sang Triratna secara diam-diam, namun atribut keagamaannya sudah dihilangkan sama sekali. Misalnya saja Rupang, Tempat Dupa/Hio, atau alat-alat persembahan lainya.
Jadi tekanan terhadap umat Buddha datang dari pedesaan, seperti contoh-contoh di atas, tetapi di perkotaan umat Buddha juga menghadapi tantangan misalnya dari sekolah-sekolah favorit yang tidak menerima anak-anak yang beragama Buddha. Lalu mereka terpaksa menanggalkan agamanya untuk masuk ke sekolah-sekolah tersebut. Perkawinan juga merupakan salah satu gerbang kita kehilangan umat Buddha. Jadi kita terkepung baik di desa maupun di perkotaan. Mungkin perlu pula ditambahkan Ritual dan budaya Buddhis juga terasa ketinggalan jaman atau tidak berkembang dibanding agama-agama lain. Jadi, tidak aneh jika Agama Buddha akan punah dalam waktu yang tidak lama lagi. Apalagi jumlah umatnya menurun setiap kali di sensus. Sensus yang terakhir menunjukan Umat Buddha turun dari 0,80% menjadi 0,75% atau dengan kata lain turun sebanyak 0,5% per sensus 2020. Sampai saat ini tidak ada Majelis atau Organisasi Buddhis bahkan pemerintah pun melalui Dirjen Bimas Buddha tidak memberikan petunjuk maupun arahan apa yang mesti kita lakukan untuk mencegah merosotnya jumlah Umat Buddha.
Punahnya Agama Buddha di Indonesia bukan fenomena baru. Di zaman Sriwijaya Agama Buddha juga punah di Nusantara, padahal kita mempunyai situs sejarah yang sangat besar di Muara Jambi yang membuktikan disinilah berkembang Agama Buddha Nusantara. Di tempat itu juga bermukim Yang Mulia Serlingpa Dharmakirti guru besar Agama Buddha, yang merupakan salah satu rujukan Universitas Nalanda di samping guru-guru besar lainya seperti Guru Besar Atisha, Guru Besar Nagarjuna, guru besar Siang Chan dari Tiongkok, dan sebagainya. Kita cukup bangga, salah satu guru besar Nalanda tersebut ternyata adalah Putra Jambi yang bahkan menjadi rujukan untuk mereka Kuliah ke Nalanda, India. Tak heran banyak Bhikkhu-Bhikkhu besar dari China misalnya I-Tsing dan sejumlah Bhikkhu lainya berkuliah di Muara Jambi, belajar dengan Serlingpa Dharmakirti sebelum berangkat ke Nalanda, India. Namun sekarang kebesaran tersebut lenyap, yang hanya tertinggal di Muara Jambi hanya situs-situs atau bekas-bekas candi, dan artefak-artefak lainya.
Di Jawa, hal yang sama terjadi. Bahkan salah satu keajaiban dunia di bangun di Tanah Jawa, tepatnya di sekitar Magelang yaitu Maha Candi Borobudur. Candi terbesar di dunia dan menyimbolkan keagungan yang luar biasa dari Agama Buddha. Lalu kita mengenal kerajaan-kerajaan Buddha, seperti Kerajaan Wangsa Syailendra dan kemudian dilanjutkan dengan masa Hindu-Buddha. Kerajaan terakhir yang kita kenal adalah Kerajaan Majapahit yang runtuh di abad ke 15 akibat perang Paregreg. Jadi punahnya Agama Buddha di jaman Nusantara dan sekarang di jaman modern di abad 21 bukan sesuatu yang aneh dan tidak pernah terjadi, namun hanya pengulangan belaka. Sayangnya kita umat Buddha tidak pernah belajar dari kehancuran sejarah ini.
u.p Sugianto Sulaiman
Institut Nagarjuna
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara