• Saturday, 14 October 2017
  • Hendrick Tanu
  • 0

“Tathagata Sri Wairocana, pemimpin dari pancasugata (lima Buddha). Semua Raja-raja Jawa menghormat di kaki-Mu sampai seterusnya di masa depan, demikian juga di pulau-pulau lain… Karena engkaulah Dharma tunggal (eka) yang Esa (wisesa/ultimate), Kau adalah Kebenaran Tertinggi. Hanyalah diri-Mu, O Bhatara, yang merupakan tempat perlindungan dari ketiga dunia.” ~ (Kakawin Sutasoma, Mpu Tantular)

Nusantara, Tiongkok, Jepang, Vietnam, dan Korea ternyata memiliki satu kesamaan yang cukup menarik mengenai Ke-Tuhanan. Bukan hanya perdagangan ataupun budaya, ternyata Nusantara juga banyak berbagi konsep Ke-Tuhanan dengan Tiongkok. Jika menilik naskah-naskah buddhis dan sejarah buddhis di Nusantara dan Asia Timur, hampir semuanya menyerukan nama Wairocana (arti: bagai cahaya surya) untuk menjuluki Tubuh Kebenaran Absolut atau Dharmakaya dari Buddha Sakyamuni.

Peninggalan rupang Wairocana di Jawa dan Sumatera sangatlah banyak, beliau disebut-sebut di lontar-lontar Jawa, Sunda, dan Bali. Borobudur adalah contoh bagaimana Nusantara mewujudkan mandala dunia dharmadhatu Awatamsaka, Garbhadhatu, dan Bajradhatu dari Wairocana. Ketika memasuki candi, kita akan sadar bahwa mikrokosmos dan makrokosmos saling bertautan erat.

Di dunia ini, tidak ada yang terpisahkan dari-Nya, karena Wairocana adalah tubuh yang mencakup segalanya. Barangkali jika kita ingin memberi julukan untuk kebenaran tertinggi dalam buddhis, kata “Tuhan” bisa diwakili dengan “Wairocana”.

“Tubuh Dharma (Dharmakaya) adalah Buddha yang terus ada selama-lamanya. Buddhis Mahayana menyebut Dharmakaya sebagai Wairocana−yang selalu bersinar menyelimuti pepohonan, burung-burung, dan manusia. Dharmakaya sama artinya dengan realita sesungguhnya, Nirwana, dan benih Kebuddhaan (dalam diri semua makhluk). Dharmakaya sepadan dengan Kerajaan Tuhan. Kerajaan ini ada di sini dan momen ini.”~ (Guru Zen Thich Nhat Hanh)

Ia Yang Melampaui Personal dan Impersonal

Banyak yang sudah tahu bahwa salah satu kisah terbaik untuk menjelaskan konsep ke-Tuhanan Jawa yaitu, “manunggaling kawula gusti”- menyatunya manusia (kawula) dan Tuhan (gusti) ada dalam pewayangan Dewa Ruci. Uniknya di naskah aslinya, Sri Wairocana (Werocana) adalah tokoh penting, mewujud dalam diri Dewa Ruci yang sedang berdiskusi falsafah ajaran spiritual dengan Bhima.

Tidak hanya itu, susastra Kunjarakarna dan Angling Dharma (Aridharma) juga menceritakan bahwa Wairocana bertindak layaknya “Tuhan” yang membimbing umat-Nya. Kita dapat menyaksikan bahwa Buddha Wairocana menjadi figur personal yang mengintervensi langsung para lakon utama dalam kisah-kisah di negeri Nusantara ini.

Di Tiongkok, Jepang, dan Korea, Dharmakaya Wairocana adalah pusat keyakinan sekaligus realisasi yang ingin dicapai, meskipun mereka tidak membuat kisah-kisah interaktif antara Wairocana dan para umat-Nya. Agaknya di negara-negara Asia Timur ini, porsi impersonal Wairocana lebih banyak ditekankan.

Jika Anda bingung bagaimana bisa Nirwana atau Dharmakaya diajarkan dalam wujud personal, Thich Nhat Hanh mungkin bisa menjawabnya untuk Anda;

 “Mengapa membuang waktu Anda untuk berdiskusi tentang apakah Tuhan itu seorang manusia atau bukan, atau apakah Nirwana itu sesuatu yang personal atau impersonal? Apakah Tuhan itu sesosok pribadi atau bukan pribadi, merupakan pertanyaan dari banyak orang. Mengapa kita harus memenjarakan Tuhan ke dalam satu dari dua ide? Dalam pandangan buddhis tak ada garis pemisah antara keduanya.

“Manusia/pribadi mengandung unsur bukan manusia/pribadi dan bukan manusia/pribadi mengandung unsur manusia/pribadi. Nirwana adalah hakikat kita yang sejati seperti air adalah hakikat sejati dari ombak. Kita berlatih untuk menyadari bahwa Nirwana adalah hakikat kita. Tuhan adalah fondasi keberadaan.”


Mahawairocana, Nganjuk, abad 10-11 M. Foto Ist.

“Pencipta” segalanya?

Dalam ajaran Buddha, Dharmakaya adalah dasar dari segala fenomena dan noumena. Konsep ini sejak awal sudah ada dalam kitab Sutra Saddharmapundarika. Dalam kitab itu disebutkan bahwa ada Tubuh Buddha Sakyamuni Abadi yang dijuluki nama Wairocana. Konsep ini kemudian dikembangkan dalam Sutra-sutra Tathagatagarbha seperti Sutra Lankawatara, Sutra Angulimaliya, Sutra Srimaladewi Simhanada, dan Sutra Mahaparinirwana. Secara khusus Wairocana ada di Sutra Brahmajala, Sutra Awatamsaka, Sutra Mahavairocana, dan Sutra Tattwasamgraha.

Di Jawa, lagi-lagi, konsep ini dipersonalkan kembali dalam sebuah mitos penciptaan. Mpu Tantular menulis dalam pembuka kitabnya: “Sri Bajrajnana (Wairocana), perwujudan dari kekosongan (sunyatmaka), terunggul di dunia. Beliau memberikan kehidupan di tanah, udara dan cakrawala.” Lalu kitab Sanghyang Kamahāyanikan melanjutkannya: “Dari ke-Mahatahuan Bhatara Wairocana muncullah Para Dewa yang berkarya aneka rupa yaitu Iswara (Siwa), Brahma, dan Wisnu. Mereka diminta Bhatara Wairocana untuk menyempurnakan ketiga dunia dan isinya. Bhatara begitu dipuja ketika flora dan fauna muncul, surga dipenuhi Para Dewa dan dunia manusia dipenuhi manusia berkat karya Bhatara Iswara, Brahma dan Wisnu. Namun, meskipun karya penciptaan ini dilakukan mereka, sebenarnya semua berasal dari kebajikan dari ke-Mahatahuan Bhatara Sri Wairocana.”

Kitab Tantu Panggelaran menceritakan detil bagaimana Siwa, Brahma, dan Wisnu ini menciptakan tanah Jawa beserta manusianya. Uniknya, mitos penciptaan ini juga tidak terjadi di Jawa saja tapi juga di Tiongkok dan Jepang. Beberapa naskah Taois menyandingkan pencipta tertinggi Langit dan Bumi yaitu Yuanshi Tianzun/Pangu dengan Buddha Wairocana. Fuxi dan Nuwa juga dipandang sebagai perwujudan para bodhisatwa yang lahir dari Wairocana. Dikatakan pula oleh Ryobu Shinto bahwa para pencipta dalam kosmologi Jepang yaitu Izanagi, Izanami, dan Amaterasu Oomikami semuanya lahir dari Mahawairocana Buddha. Adanya persepsi ini membuat Bapa Francis Xavier, ketika datang ke Jepang menyebarkan Kristianitas, awalnya menggunakan nama Mahawairocana (Dainichi) untuk menyebut Tuhan Allah Bapa.

Semuanya ini tidak bertentangan dengan ajaran Buddha. Thich Nhat Hanh mengumpamakannya dua jenis relasi mengenai ombak dan air. Ombak terjadi karena ombak lainnya dan ini adalah level fenomenal, sedangkan ombak juga terjadi karena air, ini adalah level noumenal. “Ketika Anda mengatakan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan, Anda berbicara tentang kaitan antara air dan ombak. Tuhan tidak menciptakan manusia dengan cara yang sama seeprti tukang kayu membuat sebuah meja. Cara Tuhan menciptakan kosmos amatlah berbeda. Anda tidak bisa mencampuradukkan dua dimensi tersebut. Anda tak bisa menganggap Tuhan sebagai sesuatu yang bekerja dalam ranah fenomenal. Sangat sulit berbicara tentang dunia noumenal. Apabila kita tidak menghayati setiap momen dalam hidup kita secara mendalam, tidak mungkin kita mampu menyentuh dimensi tertinggi noumenal. Pertanyaannya apakah anda menyentuh Tuhan?”, ujar Thich Nhat Hanh.


Mahawairocana Prajnaparamita, Jawa Timur, abad 10-11 M. Foto Ist.

Merealisasi Maha (Wairocana)

Mengetahui dan meyakini Wairocana secara konsep tidaklah cukup, kita mesti berpraktik untuk merealisasikannya, seperti halnya para sesepuh meditator buddhis di masa lampau. Ir. Soekarno (Bung Karno), Bapak Bangsa ini, dalam berbagai pidatonya, secara tidak langsung bisa ditafsir mendefinisikan Ke-Tuhanan buddhis dalam wujud praktik/jalan. Thich Nhat Hanh memperjelasnya: “Dharmakaya berarti tubuh ajaran Buddha, jalan pengertian dan cinta. Bawalah Dharmakaya  ke mana pun kau pergi, maka kau membawa praktik bersamamu. Kita dapat berjalan bersama Wairocana.”

Dalam sebuah naskah Dunhuang masa Song, disebutkan bahwa silsilah Chan (Zen) berasal muasal dari Mahawairocana Buddha yang ditransmisikan lewat Buddha Sakyamuni hingga sampai ke Bodhidharma dan Huineng. Para sesepuh Chan dikatakan mencapai bodhisatwa bhumi ke-8 dan merealisasi Mahawairocana), menyentuh dengan sempurna dimensi noumenal itu.

Semua anggota Sangha di Tiongkok, Jepang, Vietnam, dan Korea juga menerima penahbisan bodhisatwa-sila yang berasal dari Mahawairocana yang berasal dari naskah berjudul Sutra Mahayana Brahmajala. Ini hanya ada di Asia Timur. Demikian juga di Tiongkok juga muncul praktik Huayan berdasar Sutra Awatamsaka yang berfokus pada Mahawairocana.

Selain Faxian, para biksu Chan Tiongkok dan Vietnam seperti Yijing, Khuy Xung, Van Ky, Mingyuan, Changmin, Tanrun, Shanxing, Wuxing, dan banyak lainnya juga pernah mengunjungi pulau Jawa dan Sumatera. Biksu Chan Vietnam Van Ky menerima penahbisan dari biksu Jnanabhadra di Jawa (dikenali sebagai Eyang Semar Badranaya). Demikian juga Huining dibantu Jnanabhadra menerjemahkan Sutra Mahaparinirwana yang sangat berpengaruh pada ajaran ‘pencerahan seketika’ dan ‘hakikat Kebuddhaan” di agama Buddha Tiongkok.

Agama Buddha aliran Shingon (Tantra Timur) yang dimulai oleh Kukai, juga berusaha menyentuh dimensi noumenal dari Mahawairocana dengan menjadikannya figur Buddha utama dalam alirannya. Ia memperoleh ajaran ini dari Subhakarasimha lalu Amoghawajra dan Wajrabodhi yang pernah mampir di pulau Jawa ini untuk mentransmisikan ajaran. Kukai juga punya saudara se-Dharma bernama Bianhong yang berasal dari tanah Jawa. Beliau merealisasi Kebuddhaan dalam hidup ini dengan tubuh ini (sokushin jobutsu) – sebuah prinsip yang mirip dengan ‘manunggaling kawula gusti’ :

“Saya adalah dunia Dharma. Saya adalah Dharmakaya. Saya adalah Mahawairocana. Saya adalah Bajrasatwa. Saya adalah semua Buddha, bodhisatwa, pratyekabuddha, dan srawaka. Saya adalah Maheswara, Brahma, Indra. Tubuh ini adalah tubuhku, tubuh Buddha dan tubuh semua makhluk. Mereka berbeda tapi juga identik. Mereka tidak berbeda namun berbeda.”

Membahas ajaran-ajaran aliran di atas tentu rumit dan bakal panjang sekali, tapi Thich Nhat Hanh menyarikannya hingga mudah dipahami, “Di Asia Timur, kita sebut tubuh manusia sebagai jagat kecil, kosmos mini. Kosmos adalah rumah kita, dan kita bisa menyentuhnya dengan memiliki kesadaran akan tubuh kita. Meditasi adalah bagaimana kita hening; duduk hening, berdiri hening dan berjalan dengan keheningan. Meditasi berarti melihat secara mendalam, menyentuh dengan mendalam sehingga kita bisa menyadari bahwa kita sudah berada di rumah. Rumah kita ada di sini saat ini.”

Rileks dan bernapas, kita telah pulang, hadir di rumah. Dharmakaya ada di sini saat ini. Kerajaan Tuhan ada di sini saat ini. Kita bisa menyentuhnya. Kita berlindung pada Dharmakaya  hidup, memasuki Tanah Suci Wairocana–Padmagarbhalokadhatu–mandala Borobudur, di sini saat ini–lewat diri.

Jika Wairocana berbicara pada kita, mungkin beliau akan berkata dengan wajah bercahaya penuh kehangatan: ‘Berjalanlah bersama-Ku.’ (Walk With Me) layaknya cahaya surya yang selalu beserta kita memberikan kehidupan. Ia akan dengan sigap mengangkat tubuh raja-raja di Nusantara yang bersujud pada-Nya, membuat mereka berjalan bersama-Nya

Bambu hijau, bunga kuning bukan fenomena di luar diri. Awan putih, bulan yang terang benderang, semuanya perwujudan Dharmakaya . Mahawairocana Tathagata, Ayahanda matahari. Buddha cahaya dan hidup tanpa batas. Kami bersujud pada-Mu.

*Sumber: Going Home karya Thich Nhat Hanh, tnhaudio.org, Thich Nhat Hanh: Essential Writings, For a Future to be Possible karya Thich Nhat Hanh

 

Hendrick Tanuwidjaja

Penulis dan executive editor majalah Buddhis Sinar Dharma, aktivis komunitas Chan Indonesia, dan co-founder dari Mindful Project. IG: @hendrickhengki

 

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *