Jejak Pahlawan yang Memeluk Kejawen Kebuddhaan
Hingga kini, banyak umat Buddha yang belum mengetahui, bahwa leluhurnya adalah pahlawan pemberotak Kompeni-Belanda yang gugur mulia di medan perang. Raden Panji Margana adalah pemeluk Kejawen-Kebuddhaan Badra Santi, gugur pada Agustus 1750
Pembelaan pesisir atas artefak Siwa-Buddha
Raden Panji adalah gelar bangsawan Jawa dari para adipati pesisir dan Madura, ketika era Islam. Sebagai bangsawan pesisir, mereka adalah benteng masuknya pengaruh bangsa asing yang berjiwa pemberani. Mereka tetap menghormati nilai-nilai tinggalan nenek moyangnya yang memeluk Siwa-Buddha.
Beberapa candi Siwa-Buddha masih dilestarikan penduduk Lasem dan sekitarnya. Sampai ketika artefak Siwa-Buddha diusik oleh Kompeni-Belanda dengan antek-anteknya, para Raden Panji berontak mempertahankan harga diri.
Satu di antara candi yang dihancurkan adalah Candi Samudrawela, simbol kejayaan bangsa maritim bangsa Jawa yang dihancurkan Belanda melalui kaki tangannya, Adipati Suro Adimenggolo III. Kemudian kita ketahui setelahnya, bangsawan Mataram yang agraris, berhubungan pasang-surut dengan Kompeni-Belanda. Kadang mesra, kadang berseberangan.
Tertulis dalam Sastra Badra Santi, bahwa putra Raden Panji Sumilir yang bernama RP Suryakusuma dan RP Suryadilaga yang menjadi sesepuh penduduk Desa Lowah dan semua saudaranya, bersumpah di Pundhen Candi Maladresmi, candi abu jasad leluhurnya yang sudah dihancurkan tentara Belanda atas perintah Bupati Suro Adimenggolo III, serta diganti dengan dongeng yang mengadu-domba entitas agama dan suku. Mereka bersumpah akan membalas dan menghancurkan Bupati Suro Adimenggolo III, serta menumpas Kompeni-Belanda.
Sumpah setia Jawara Lowah tadi berkumandang sampai ke mana-mana, menjalar seperti terbakarnya rumput ilalang, mengobarkan semangat orang-orang se-Lasem dan daerah sekitarnya. Terlebih bagi orang-orang yang pernah dirugikan, buku-buku dan pustaka-pustaka suci dibakar oleh Bupati Suro Adimenggolo III, serta disiksa dianggap bersekutu dengan brandhal.
Altar rupang Raden Panji Margana di Klenteng Babagan, Lasem
Perang di bulan Badrapada
Pada Agustus 1750, jawara-jawara brandhal Lasem yang sudah tua-tua itu, mulai tumbuh keberaniannya lagi untuk berperang menghadapi Kompeni-Belanda dan antek-anteknya. Melihat tekad kakek-kakek dan embah-embah yang sangat berani itu, para pemuda ikut terbakar semangatnya.
Raden Panji Margana yang sangat dicintai dan dihormati orang-orang Jawa dan orang-orang Tionghoa se-Lasem, begitu mendengar kalau Banteng Argasoka mulai berani memberontak lagi, tiba-tiba semangatnya menyala kembali, mengobarkan semangat orang-orang yang tidak suka diperintah dan dikuasai oleh “Kebo Bule yang bersabuk rantai dari Ngatasangin Maghribi.”
Suatu hari para penduduk berkumpul berjejal di alun-alun depan Masjid Lasem, bersumpah setia kepada Raden Panji Margana: “Bersedia mati menyerahkan jiwa raga menyerang menyirnakan Kompeni-Belanda di tanah Jawa.”
Di waktu itu kebetulan hari Jumat saat santri-santri sembahyang Jumat yang diimami oleh Kyai Badawi dari Purikawak. Kyai ulama Islam yang tampan wajahnya, tinggi besar, gagah perkasa itu, masih cucu wareng dari Pangeran Tejakusuma I, kyai keturunan Mpu Santi Badra yang masih memegang pesan serta nasihat leluhurnya dan menjunjung tinggi Kejawen-nya.
Setelah kemarin mendapat perintah dari RP Margana, begitu selesai sembahyang Jumat, Kyai Ali Badawi kemudian mengabarkan kepada umat Islam untuk diajak berperang menyirnakan Kompeni-Belanda dan bala tentaranya di Rembang. Orang-orang di masjid siap sedia dengan ikhlas, bersahutan setuju perang Sabil bersama-sama dengan brandhal-brandhal yang sudah menunggu di alun-alun.
Strategi pengepungan
Sebelum perang dimulai, para pimpinan brandhal bertemu untuk mengatur strategi perang. Mereka berbagi tugas untuk menyerang markas Belanda di Rembang dari arah yang berbeda-beda.
Raden Panji Mlayakusuma Banteng-banteng di Gada, darah Pangeran Santiyoga yaa Kyai Ageng Gada keturunan Pangeran Santi Badra, juga ikut menyiapkan brandhal-brandhal di Gada, Kasareman, Badheg, serta dari Ngadhem; mengepung dan menyerang kota Rembang dari sisi selatan.
Brandhal dari Sedhan dan Pamotan yang dipimpin Nayagimbal, sudah mendahului berperang melawan Belanda sebelum tiba waktunya. Hal ini karena secara tak terduga, kehadiran mereka dihadang Belanda di lapangan Desa Tireman. Akibatnya, payung pusaka kesaktian mereka terkena meriam Belanda, hancur terbakar menjadi abu.
Nasib sial yang dialami Ki Nayagimbal itu karena ditipu dan dikhianati oleh anak buahnya yang membelot ikut Belanda, karena ingin mendapat imbalan menjadi pejabat tentara Belanda, strategi pengepungan Nayagimbal dibocorkan.
Sementara, orang-orang Tionghoa yang sakit hatinya belum sirna, ketika mendengar kabar pemberontakan lagi yang dilakukan oleh orang-orang Jawa Lasem dan sekitarnya, kemudian menyetujui ikut bergabung, ikut berperang dengan dipimpin oleh Babah Mayor Oey Ing Kiat yang sudah setia sampai mati, membela saudaranya Sian Sing Babah Tan Ke Wi yang sudah gugur hilang di laut Mandhalika.
Kurang dari dua minggu brandhal-brandhal tadi mau menyerang Belanda di Rembang, Kompeni-Belanda dan Bupati Suro Adimenggolo III sudah mendapat laporan dari mata-mata, kalau orang-orang Lasem akan memberontak menyerang Kota Rembang.
Kompeni-Belanda dengan cepat mengungsikan keluarganya ke benteng Jepara dan Semarang lewat laut; serta meminta bantuan tentara dari benteng tersebut, dan meminta bantuan prajurit dari Bupati-Bupati yang sudah tunduk kepada Belanda. Makanya Kompeni-Belanda bisa mendahului menyerang Brandhal Nayagimbal, yang sudah menyerang sampai daerah Tireman.
Muda-mudi Buddhis dari Temanggung, Kab. Semarang, Kendal, Kota Semarang, Jepara, Pati, dan Lasem, saat pujabhakti di depan altar rupam Raden Panji Margana di klenteng Gi Yong Bio, Babagan, Lasem (foto: koleksi pribadi).
Suasana Perang Lasem
Pasukan Kompeni Belanda mendapatkan bantuan prajurit Jawa dari Bupati Tuban dipimpin oleh Tumenggung Citrasoma. Ia mendaratkan prajuritnya di Bonang dan Leran; lalu bertempur melawan Brandhal Argasoka yang dipimpin RP Suryakusuma bersaudara di daerah Ngendhen, yang kemudian merambah ke barat sampai lapangan Karangpace dan bumi Sambong yang banyak pohon tal, yang penyadap aren-nya sekalian mengawasi kalau ada bahaya dari Rembang.
Saat itu, Kompeni-Belanda dari Jepara dan prajurit Tumenggung Citrasoma menyusup sampai di daerah Layur. Kemudian berpapasan dengan Brandhal orang-orang Tionghoa yang dipimpin oleh Babah Mayor Oey Ing Kiat. Sontak perang pun pecah mengerikan. Senjata api bertemu dengan senjata api, karena Brandhal Tionghoa sudah banyak yang memiliki senapan dan meriam yang disimpan di dalam terowongan tembok di pinggir sungai.
Penyerangan brandhal yang menuju medan pertempuran Layur lewat tepi Sungai Paturen yang ada di seberang barat jalan adalah brandhal Tionghoa, sedang yang berada di sebelah timur jalan adalah Bala Sabil yang dipimpin Kyai Ali Badawi. Bala Sabil banyak yang menggunakan ilmu kekebalan japamantra, yang tidak mempan oleh senjata dan bayonetnya tentara, serta tombaknya prajurit-prajurit Jawa yang menjadi antek-antek Belanda.
Perang sengit antara prajurit Tumenggung Citrasoma yang dibantu meriam Belanda bermusuhan dengan Bala Sabil santri Lasem, bergantian adu kesaktian. Tetapi malang bagi Bala Sabil yang ada di barisan belakang, mereka jatuh tersungkur terkena meriam Belanda yang ditembakkan dari pinggir laut.
Medan pertempuran di sebelah barat kota Lasem kelihatan berdebu karena saking banyaknya brandhal yang dipimpin RP Margana yang bertemu dengan prajurit Kompeni Belanda di lapangan Karangpace, memanjang ke utara sampai ke tepi laut, dan memanjang ke selatan sampai rawa Narukan.
Perang fisik berhadap-hadapan langsung, adu keberanian, ketangkasan, dan kecekatan; siapa terlena pasti tewas. Senjata api sudah tidak bisa dipakai karena sudah tidak sempat mengisi peluru, karena perang sudah rapat adu dada, dan adu dengkul. Pedang melawan golok, tombak melawan keris.
Raden Panji Margana gugur
Lapangan Karangpace ibarat banjir darah, banyak jasad manusia tergolek. Wilayah bumi Tal karena adanya Bebaya (bahaya) yang gugur tak terhitung jumlahnya. Nantinya untuk pengingat bagi anak cucu, yaa… di situlah Talbaya tempat akhir bagi Sang Wirengsudra-Pahlawan pengayom rakyat jelata, RP Margana. Beliaulah Pangeran Talbaya yang gugur membela bumi Lasem dengan mengorbankan jiwa raganya, terkena sabetan pedang di lambung sebelah kiri.
RP Margana ditarik-dibawa mundur oleh Ki Mursada, dengan cekatan dibawa Ki Galiya-digendong, dibawa lari. Ki Mursada mengayunkan senjatanya ke sana-kemari untuk menjaga dan melindungi agar tidak ada musuh yang mengejar-mendekat. Musuh yang melukai RP Margana kurang waspada, Ki Mursada membalikkan badan, senjatanya disabetkan ke kepala musuh sehingga pecah dan tewas.
Setelah larinya Ki Galiya menggendong sudah sampai di tempat yang sepi, yaitu di rerimbunan semak, sebelah utara bumi Sambong, Ki Galiya dan Ki Mursada berhenti di situ. Luka RP Margana yang selalu mengeluarkan darah, dirawat Ki Mursada dibalut sobekan sarung. Namun karena banyaknya darah yang keluar, dan usus yang terburai keluar, akhirnya RP Margana menjadi lemas.
Sebelum wafat Beliau berpesan kepada Ki Mursada dan Ki Galiya:
1). Jasadnya supaya dimakamkan di bawah sebelah utara pohon Trenggulun di semak Sambong itu. Tanah makamnya supaya diratakan saja dan tidak perlu diberi nisan, tapi justru ditanam pohon berduri dan daun kering, supaya tidak diketahui musuh; serta dirahasiakan. Silakan diberitakan nanti kalau sudah waktunya, saat sirnanya penguasa Belanda dari tanah Jawa, dan “Bunga Teratai (simbol Buddha Dharma), rimbunnya pohon beringin (Bodhi) di setiap desa”;
2). Putranya yang bungsu yang masih bayi bernama RP Witana dan istrinya, agar diungsikan ke Narukan; dengan menyamar menjadi petani, karena pasti rumahnya di kota Lasem akan segera diduduki Kompeni;
3). Pustaka-pustaka suci dan pustaka sabda Badra Santi agar segera diungsikan dan dititipkan Mbah Bekel Criwik, Ki Badraguna, putra pertama RP Suryakusuma;
4). Tembang Sinom karangannya ketika sakit, kecapean pulang dari medan pertempuran di Juwana, supaya untuk dikidungkan bagi orang yang suka kidung, terutama bagi Ki Dalang dan Ni Pasindhen. Begini tembangnya:
Sinom
Mumpung anom memerdiya, mardaweng budaya seni,
Trap susila tatakrama, kapribaden bangsa Jawi.
Den pundhi pinepetri, kang neng lenging Trengga-ulun,
Panji Lasem Talbaya, klayu ngesthi Badra-Santi
Labuh ladi mrih mrajak tunjung Mandira.
Betekiro labuh bangsa, sanadyan den anggep musrik
Nanging empaning panjangka, tansah muji mangastuti
Mrih anjraha sri-adi, buddha budi budaya-gung
Ing sakadar mawreta, swawi ngreksa myang memetri
Ngleksanana sabdane Yang Santibadra
Setelah wafat, jenazah RP Margana kemudian dirawat Ki Mursada dan kerabatnya (Bersambung).
Tulisan ini disadur dari hasil terjemahan Buku Badra Santi 1985 yang terbit atas usaha Pandita Raden Panji T. Hadidarsana dengan dukungan penerbitan dari Bhikkhu Khemasarano Mahathera.
Dhammateja Wahyudi Agus R | Wakil Ketua PC Magabudhi, Semarang. Memperoleh Penghargaan sebagai upacarika padana dari PP Magabudhi pada tahun 2014.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara