Mengenai pengalaman seperti kejadian di Tanjung Balai, telah berkali-kali terjadi di muka bumi tempat kita lahir, hidup, senang, sehat, sakit, tua, mati. Dan tidak hanya menimpa salah satu pihak, tetapi banyak pihak dan selalu dengan dalih salah paham.
Menurut pandangan saya, jika ada peristiwa tidak mengenakkan hati dengan dalih “salah paham”, yang sebenarnya terjadi bukanlah karena salah paham, tetapi karena pahamnya yang salah.
Karena itu, barangsiapa menuduh, menuding, mengamuk, mengutuk, menjarah, menyalahkan pihak lain, sesungguhnya sama dengan mempertontonkan menunjukkan ketidakpahamannya sendiri tentang suatu masalah soal. Maka bagi yang sudah dewasa kencana, cara berpikirnya tidak serta merta mempersoalkan soal yang sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan.
Yang dulu sudah lewat, esok belum terjadi, saat ini yang sudah pasti. Biar usia berkurang, kebajikan harus bertambah. Barangsiapa banyak kebajikan, tidak lama dalam kesulitan; dan lebih sebentar dalam penderitaan.
Semua yang terjadi pasti ada sebab akibatnya. Sebab-sebabnya tidak hanya satu sebab, melainkan banyak sebab, dan banyak akibat di kemudian. Untuk jelasnya, setiap kejadian apa pun yang sudah, sedang, atau masih akan terjadi masing-masing ada ukurannya.
Dalam pandangan para pengamat, setiap momentum itu merupakan persoalan tersendiri. Soal gengsi, untung-rugi, senang-susah, menang-kalah, salah-benar, layak atau tidak, hina atau mulia.
Dari sudut pandang sistem perekonomian, setiap kejadian dihitungnya untung-rugi. Menurut dunia birokrasi, setiap langkah dinilainya salah-benar. Secara matematika politis, diukurnya menang-kalah.
Sedangkan jika secara psikologis ukuran teologis, sebuah perbuatan itu diukurnya baik-buruk, hina-mulia dalam bertindak dari apa yang dilakukan.
Secara Dharma, semua yang terjadi pasti ada hikmahnya. Hanya saja tidak semua pihak cukup memiliki perasaan sabar yang kuat untuk menunggu mendengar hikmah berbuah.
Bila memandang sesuatu dengan kacamata Dharma, frame kesunyataan produk alam, kualitas manusia dapat diukur dari cara menyelesaikan masalah: dengan cara-cara bagus halus diplomatis akademis atau anarkis kasar.
Jika dengan pandangan batin dan pikiran jernih pintar terpelajar membaca menulis lancar, akan dapat menyelesaikan persoalan dengan tidak menyebabkan persoalan baru yang menimbulkan akibat-akibat secara beruntun turun-temurun di kemudian hari.
Dalam sejarah peradaban ketika kaum spiritual ditempatkan tersendiri dan terhormat, menempatkan harga hidup di atas harga diri, menempatkan harga materi di bawahnya lagi, serta memberi garis batas jelas antara sekularitas keduniawian dan spiritualitas keagamaan. Memberlakukan hukum agama juga tersendiri dari hukum negara, artinya hukum agama tidak disejajarkan dengan hukum negara. Patimokkhasila bhikkhu di atas Pancasila upasakha. Pada saat itulah tata kehidupan mudah damai dan tenteram.
Ketika semua serba sebaliknya, masing-masing bergeser posisi dan beralih fungsi, sehingga tidak jelas garis batas antara agamawan-negarawan-usahawan, dan cara menempatkan harga materi paling tinggi, harga hidup paling di bawah. Akibatnya, harga hidup menjadi murah, pembunuhan terjadi di mana-mana, kadang-kadang diatasnamakan agama.
Di saat yang sama, kehadiran seseorang di tengah masyarakat dilihat secara materi, diukur dengan alat-alat teknologi, bukan dari kualitas moralitas. Dampaknya terasa, tata kehidupan mudah guncang, persahabatan rawan dan rapuh mudah putus hubungan. Agama seperti seolah-olah kehilangan daya tangkal yang menenteramkan tempat yang teduh sejuk nyaman bagi umatnya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara