• Friday, 26 August 2016
  • Budiman Goh
  • 0

Beberapa waktu lalu, ada seorang rekan yang rajin membaca tulisan saya mengenai “Memimpin dengan Eling”. Dia menyukainya, hanya rekan saya ini mengatakan sepertinya sulit untuk diterapkan di dunia bisnis, terutama pada posisinya yang sering diuber target, diuber deadline.

“Bang, cocoknya mungkin untuk rumah ibadah saja ya ilmu eling ini.”

Sejenak kemudian kami terlibat percakapan yang lebih dalam mengenai bagaimana ilmu memimpin dengan eling ini diterapkan di dalam pekerjaan, terutama yang kaitannya dengan pekerjaan uber-menguber target, deadline, dan suasana di bawah tekanan. Juga yang tak kalah penting yang membuat banyak orang stres adalah politik kantor.

Memulai percakapan, saya memberikan analogi demikian. Umpama jam tangan Anda jatuh ke kolam, dan kolam tersebut airnya keruh. Apa yang akan Anda lakukan? Mereka yang biasa bekerja dengan spontan, cepat tanpa berpikir pasti akan memasukkan tangannya ke kolam. Mengambil apa saja dan mengeluarkannya. Ada batu, ada lumpur, ada mungkin kotoran lain, binatang kecil, ikan, belut, mungkin Anda akan memegang ular dan dipatuk ular. Ya, dengan kemujuran Anda mungkin akan mendapatkan jam tangan Anda kembali. Meskipun peluang tersebut terbilang kecil. Insting Anda mengatakan ambil semua secepatnya, sebab lingkungan Anda membentuk Anda untuk melakukan hal tersebut.

Terbentuk, barangkali sejak Anda kecil. Rebutan makanan, rebutan mainan, rebutan apa saja. Indera Anda menyerap itu semua, memasukkannya ke memori Anda, dan otak reptilian Anda memanggilnya secara refleks tanpa bisa Anda cegah.

“Akan tetapi, semua orang melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan. Kalau aku diam saja, mungkin aku dikira gila,” demikian rekan saya membela diri.

Gila. Tidak salah memang. Di zaman gila ini, yang gak ikut gila memang dipandang jadi aneh. Tapi falsafah kuno negeri kita mengatakan selalu lebih baik eling dan waspada. Tidak perlu mengikuti orang-orang menjadi gila.

Dunia ini dibentuk oleh persepsi, oleh bentukan indera kita yang memakan segalanya. Lewat mulut, lewat mata, lewat sentuhan, lewat pencerapan, lewat perasaan, dan lewat telinga. Semua berbaur menjadi satu, membentuk sang aku saat ini. Rumitnya, persepsi ini seringkali lebih banyak salahnya daripada benarnya.

Lihatlah secara sederhana bagaimana iklan shampo membentuk citra wanita cantik. Selalu harus panjang hitam berkilap mengurai. Dibombardir sedemikian rupa dengan iklan televisi, billboard, dan semua media lainnya. Perempuan yang tidak dikaruniai rambut panjang mengurai, sibuk melakukan rebonding untuk meluruskan rambut ikalnya. Hanya agar terlihat cantik. Suatu definisi yang dibuat bukan oleh sang pencipta, tapi oleh iklan yang kita makan setiap hari. Bila Anda ingin mengambil contoh lain, sungguh banyak, tak sulit menemukannya.

Kembali kepada soal mengambil jam tangan tadi. Praktisi eling melakukannya dengan cara yang berbeda. Jauh lebih cepat, lebih akurat, dan terhindar dari bahaya. Praktisi eling menunggu air keruh tersebut mengendap, kemudian ketika kotoran telah mengendap, kita dapat melihat benda-benda di dalamnya dengan transparan. Tidak perlu merogoh batu, kerikil, sampah, ikan, belut, dan lain-lain. Sekali ambil Anda akan dapat mengeluarkan jam tangan Anda. Lebih cepat, lebih akurat dan less risky.

Seringkali, pikiran reaktif kita begitu mendominasi sehingga kita seperti mengemudi tanpa rem. Rem blong. Gas pooll, akhirnya masuk jurang. Pikiran reaktif ini bekerja seperti refleks. Sedikit atasan tidak setuju dengan ide Anda, langsung ngambek. Sama seperti Anda ngambek ketika dulu tidak disetujui membeli mainan. Sedikit anak buah salah, kebun binatang bertebaran di seisi ruangan. Persis ketika di lingkungan Anda, Anda melihat bagaimana para orangtua memarahi anak-anaknya. Hanya ilmu eling yang dapat meredam pikiran reaktif ini. Pikiran reaktif ini seperti monyet yang liar, melompat terus-menerus, dari satu pohon ke pohon lain. Dari satu objek ke objek lain.

Dasarnya kebodohan, keserakahan, kebencian, dan angkara murka. Ada satu perumpamaan bagaimana menjerat monyet di hutan. Tanamlah toples berisi kacang di dalam tanah. Lihat bagaimana monyet memasukkan tangan ke dalam toples, meraup sebanyak-banyaknya kacang tersebut dan meronta-ronta untuk menarik kepalan tangannya agar bisa keluar dari mulut toples. Ia tidak ingin melepaskan genggaman kacang dari toples tapi ia ingin mengeluarkan tangannya dari toples. Itu perlambang pikiran reaktif kita. Ketika keserakahan datang, kebodohan ikut menemani. Setelah itu angkara murka menampakkan diri. Monyet akan teriak meraung-raung berjuang mengeluarkan kepalan tangannya, sambil marah, sambil ngomel. Alangkah sedihnya.

Seandainya dia tahu, hanya dengan eling dia dapat mengambil semua isi toples, mengeluarkan satu per satu kacang tanpa perlu mengeluarkan banyak tenaga, tanpa amarah. Oh, seandainya kita juga tidak seperti monyet tersebut, alangkah bahagianya. Namun, hidup di dunia yang berpacu dengan penumpukan materi ini membuat orang menjadi buas. Sikut kanan, sikut kiri, berkomplot di sana sini, partisan sana sini. Kantor pun jadi ajang politik. Ada yang suka atasan A, ada yang suka atasan B. Saling menjatuhkan pun terjadi. Jilat-menjilat pun terjadi. Upeti pun bertebaran. Mirip saweran organ tunggal kalau sudah semakin malam di Pantura. Lagunya dari kasidahan berubah menjadi “Buka titik josss!” Bagaimana kita bisa memulai sesuatu yang benar dengan cara yang salah. Bersyukurlah nenek moyang kita masih punya warisan ilmu eling ini. Ilmu yang mengingatkan kita untuk kembali kepada yang punya hidup.

Saya mencoba menginventarisir apa saja yang akan Anda peroleh bila praktik memimpin dengan eling ini Anda terapkan dalam bisnis atau pekerjaan Anda.

Pertama, letih akan berkurang. Praktisi eling selalu tidak terburu-buru, jantung tidak deg-degan selalu. Napas tidak seperti kuda pacuan. Mereka yang rush akan cepat letih sebab napas tidak terkendali, makan pun seperti balapan Formula 1.

Ada kesalahan persepsi soal kecepatan dalam hal ini. Cepat tidak selalu menjadi baik. Cepat haruslah juga akurat/tepat. Biarkan pikiran kreatif Anda bekerja untuk memberikan hasil yang lebih baik daripada menggergaji terus tanpa pernah mengasah gergaji Anda. Hasilnya tidak akan lebih baik. Gergaji yang tidak pernah diam diasah tidak akan menjadi tajam, produktivitas pasti menjadi rendah. Dengan berlatih bernapas secara eling, tubuh akan lebih rileks, pikiran lebih jernih. Ketegangan otot, saraf akan mengendur, dan Anda lebih siap untuk melakukan segala sesuatu dengan lebih baik.

Kedua, problem solving atau pemecahan masalah. Analogi jam tangan yang jatuh di kolam tersebut dapat memberikan insight kepada Anda bagaimana eling dapat membantu Anda menyelesaikan masalah jauh lebih cepat dan akurat. Dengan Anda dapat menahan diri, tenang dalam menghadapi masalah, Anda akan beroleh keuntungan karena dapat melihat masalah dengan lebih jernih. Semakin Anda piawai mempraktikkan hal ini, Anda akan mampu menyelesaikan banyak masalah dengan lebih baik. Banyak orang berpikir multi tasking itu sangat baik dan cepat dalam menyelesaikan masalah, ilmu eling mengatakan, single tasking lebih baik dan lebih cepat menyelesaikan masalah. Fokus pada satu masalah dan selesaikan. Jangan campur adukkan semua masalah dan membuat Anda panik, jengkel, marah, dan tidak bisa jernih mengatasinya.

Ketiga, lebih jarang frustrasi. Biasanya profesional dan pebisnis seringkali jatuh pada tindakan frustrasi menyalahkan diri dan orang lain. Praktisi eling melihatnya dengan kaca mata yang berbeda. Praktisi eling tidak akan menghakimi diri sendiri dan orang lain atas peristiwa negatif. Semua kegagalan, hambatan, tantangan dilihat secara objektif. Bahwa kegagalan adalah bagian dari keberhasilan. Bahwa hambatan adalah bagian dari peluang, bahwa kesulitan adalah bagian dari jalan keluar. Praktisi eling selalu ingat: tidak ada kanan tanpa kiri, tidak ada bahagia tanpa derita. Tidak ada teratai tanpa lumpur.

Sahabatku, paling tidak ada tiga hal tersebut yang akan kita peroleh ketika berlatih memimpin dengan eling. Semua memang masih dalam tataran pengetahuan, ubahlah menjadi keterampilan, dan jadikanlah memimpin dengan eling menjadi kebiasaan. Semoga Anda akan memperoleh manfaat dari latihan tersebut.

Akhir kata, dunia dibentuk persepsi. Kita termakan persepsi. Yang gila dianggap waras, yang waras dianggap gila. Tak heran seorang bijak mengatakan jangan percaya dan mengikuti sesuatu hanya dikarenakan orang banyak melakukannya, orangtua mengajarkannya, teman-teman mengajak atau karena atasan mengatakannya. Periksalah dengan eling, dengan demikian kita akan terbebas dari belenggu subjektivitas dan menjadi manusia yang selalu objektif memandang segala hal. Tidak mudah terjebak pada ekstrim kanan ataupun ekstrim kiri. Selalu melihat dengan jernih.

*) Budiman Goh, bisa diikuti blognya di https://leadershipmindful.wordpress.com

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *